Thursday 2 June 2016

Peluang AS Mengacaukan Situasi Kawasan Laut Tiongkok Selatan Diragukan Berhasil

Tempo.Co, Jakarta pada 18 Mei 2016, memberitakan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmanto menyiapkan berbagai cara mengantisipasi kemungkinan terburuk akibat ketegangan di wilayah Laut Tiongkok Selatan.

Dalam menanggapi konflik Laut Tiongkok Selatan, Gatot menekankan TNI berpedoman pada kebijakan politik luar negeri pemerintah Indonesia. “Pemerintah R.I. sudah menghimbau agar semua negara mewujudkan situasi aman di Laut Tiongkok Selatan dan tidak memicu instabilitas karena itu urat nadi ekonomi dunia.”

Memang jika dilihat dari situasi sejak April 2016, telah terjadi serangkaian perkembangan positif berkenaan dengan isu tentang persengketaan di Laut Tiongkok Selatan ini. Rusia, India dan Tiongkok, demikian juga dengan Brunei, Laos, dan Kamboja telah mencapai konsensus dengan Tiongkok untuk isu Laut Tiongkok Selatan, dan sepakat untuk semua sengketa yang terkait harus diselesaikan melalui negosiasi dan konsultasi bagi negara yang terlibat.

Tampaknya makin banyak negara-negara yang memilih untuk bersikap lebih mengedepan konsultasi dan negosiasi untuk issue Laut Tiongkok Selatan, apa pertimbangan mereka dibalik ini? Marilah kita coba bahas bersama.

Pada 28 April 2016, Kemenlu Sudan membuat pernyataan resmi tentang Laut Tiongkok Selatan, yang menyerukan negara-negara yang terlibat untuk mematuhi “Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut Tiongkok Selatan” (“Declaration the Conduct of the Parties in the South China Sea” ) dan menyelesaian dengan damai sengketa teritorial dan maritim melalui konsultasi dan negosiasi ramah dan damai.

Sudan bukan satu-satunya negara yang secara terbuka mengambil sikap mendukung sikap Tiongkok untuk isu-isu Laut Tiongkok Selatan.

Indonesia juga bersikap sama, Menko Polhukam Luhut B. Pandjaitan dalam Ecovention Ecopark, Ancol, Jakarta (12/11/2015 Liputan6.com, Jakarta): “ Sikap kita jelas, tidak berpihak ke mana-mana. Jangan gelar latihan di situ.”

Luhut menegaskan, dari awal sikap Indonesia tidak berpihak ke nagara manapun yang berkonflik di Laut Tiongkok Selatan, ketimbang harus angkat senjata lebih baik konflik di sana diselesaikan dengan cara-cara diplomasi.

Indonesia-Tiongkok sepakat menandatangani kesepakatan Kemitraan Strategis pada 25 April 2005, yang kemudian ditingkatkan menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif pada Oktober 2013. Sejak itu hubungan politik, pertahanan, keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya kedua negara terus meningkat.

Makin eratnya hubungan Indonesia-Tiongkok juga ditunjukkan kedua pihak pada forum internasional, semisal dalam penetapan Declaration of Conduct of Parties in The South China Sea (DoC) pada 2002, termasuk dalam "Guidelines for The Implementation of DoC" pada 2011.

Pada 18 April 2106, Menlu Tiongkok Wang Yi melakukan kunjungan ke Moskow untuk menghadiri Pertemuan Menteri Luar Negeri yang ke-14. Antara Rusia-Tiongkok-India.

Pada akhir pertemuan, tiga menteri luar negeri ini merilis “Komunike Bersama” yang menunjukkan ketiga negara telah mencapai sikap yang sama mengenai isu-isu Laut Tiongkok Selatan.

Juru bicara KemEnlu Tiongkok Hua Chunying mengatakan; Tiongkok, Rusia dan India berjanji untuk menjaga ketertiban hukum maritim berdasarkan hukum internasional. Pesan ini bisa dilihat dengan jelas dalam “Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang menyatakan semua perselisihan terkait harus diselesaikan oleh negara-negara yang terlibat melalui negosiasi dan konsultasi. Para Menteri Luar Negeri diserukan untuk mematuhi secara komprehensif kepada “UNCLOS,” yang dinyatakan dalam “Deklarasi tentang Perilaku Para Pihak di Laut Tiongkok Selatan,” dan tindak lanjut pedoman operasional untuk menerapkan “Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut Tiongkok Selatan.”

Komunike ini menyatakan sikap umum tentang situasi Laut Tiongkok Selatan saat ini meningkat, dan menekankan bahwa Rusia, Tiongkok dan India semua memandang ke depan untuk menyelesaikan sengketa melalui negosiasi dan konsultasi.

Tapi media Barat terkesan mengutuk Tiongkok dengan mengatakan Tiongkoki telah terisolasi untuk masalah Laut Tiongkok Selatan, namun Tiongkok menganggap ini suatu serangan balik yang effektif yang membantu Tiongkok mendengar lebih banyak tentang isu-isu Laut Tiongkok Selatan dan dapat mengungkapkan suaranya dan konsep-konsepnya mengenai isu-isu Laut Tiongkok Selatan kepada masyarakat internasional, untuk memenangkan lebih banyak dukungan dalam komunitas internasional untuk sikapnya terhadap isu-isu Laut Tiongkok Selatan.

Pada 20 April 2016, Menlu Tiongkok Wang Yi mengunjungi Brunei, Komboja dan Laos, dan berhasil mencapai konsensus 4 butir mengenai isu Laut Tiongkok Selatan dengan negara-negara ini. Mereka percaya Tiongkok dan negara-negara ASEAN memiliki kemampuan untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Tiongkok Selatan melalui kerjasama, dan negara-negara diluar kawasan harus memainkan peran konstruktif, dan bukan sebaliknya.

Pada 28 April 2016, di pertemuan reguler ke-5 Menlu CICA (Conference on Interaction and Confidence-Building Measures in Asia) yang diadakan di Beijing Tiongkok. Sebelum pertemuan ini, Menlu Tiongkok Wang YI bertemu denggan banyak Menlu dari negara-negara lain.

Dalam hal isu Laut Tiongkok Selatan, Pakistan, Banglades, Belarus dan Kyegyztan semua mengemukakan pengertiannya dan memberi dukungan atas posisi Tiongkok. Selama ini ada 13 negara yang menyatakan dukungannya pada sikap Tiongkok, pada 13 April 2016, Menlu Fiji mengunjungi Tiongkok juga mendukung sikap Tiongkok pada isu-isu Laut Tiongkok Selatan, termasuk Sudan.

Di ASEAN hanya Filipina yang terkecualian, memang sudah lama AS telah menggunakan kekuatan komprehensif, suara dan kemampuannya untuk mengatur agenda mengendalikan arah opini publik mengenai Laut Tiongkok Selatan, dan menciptakan lingkungan opini publik yang tidak adil.

Dengan akan diputuskannya “kasus arbitrase Laut Tiongkok Selatan” yang diajukan Filipina ke Mahkamah Internasional, AS telah terus-menerus melakukan penyesuaian dan mengubah kebijakannya tanpa kenal lelah dengan Filipina dan juga dengan negara-negara lain untuk membangkitkan masalah terkait dengan Laut Tiongkok Selatan, untuk membuat sengketa kawasan ini menjadi “tetap panas.”.

Pada 22 April 2016, Komado Pasifik AS (USPACOM) sebuah situs resmi AS, merilis pernyataan yang mengatakan bahwa empat pesawat penyerang AU-AS -- A-10C Thunderbolt II dan dua HH-60G Pave Hawk Special Operations helicopters  melakukan misi penerbangan dekat Pulau Huangyan pada tanggal 19 April 2016.

Ini menjadi yang pertama kalinya sebuah pesawat pengintai dan pengenalan situasional maritim melakukan misinya. Hanya dalam 10 hari saja, militer AS telah mengerahkan pesawat militer ke wilayah dekat Pulau Huangyan tiga kali, sehingga sekali lagi pulau ini menjadi fokus opini publik.

Memang sejak akan diputuskannya kasus arbitrase Laut Tiongkok Selatan, isu Laut Tiongkok Selatan menjadi topik hangat. Sehingga AS menggunakan berbagai cara untuk membuat tampaknya masalah Laut Tiongkok Selatan menjadi titik fokus untuk semua orang.

Provokasi AS

Saat ini AS takut jika di Laut Tiongkok Selatan tidak ada gangguan. Seperti diketahui AS adalah contoh klasik dari negara ekstra-regional, tapi sekarang situasi telah berubah yang tadinya bertiundak dari balik layar,  kini secara terbuka tampil di atas panggung membuat gelombang dan keonaran di Laut Tiongkok Selatan.

Beberapa analis percaya perilaku AS utamanya untuk mengarah ke militerisasi Luat Tiongkok Selatan, AS melakukan pengitaian pada titik kosong (bakn point) di sekitar pulau dan beting/atol di sekitar pulau dengan mengatas namakan “kebebasan navigasi.” Melaksanakan pengintaian di titik-kosong ini sebenarnya sangat provokatif.

Selama tahun-tahun lalu, metode AS menggunakan campur tangan militer dalam masalah Laut Tiongkok Selatan telah muncul semakin jelas. Pada Mei tahun lalu, sebuah pesawat patroli anti-kapal selam AS, P-8A melakukan pengintaian pada altitude rendah yang sangat dekat dengan pulau dan atol dengan pulau-pulau sekitar Kepulauan Nansha Tiongkok.

Pada bulan Juli tahun lalu juga, AS mengirim P-8A lain dan membawa Panglima Armada Pasifik Scott Swift melakukan 7 jam pengintaian diatas Laut Tiongkok Selatan. Dan pada bulan Oktober, kapal perusak AS, USS Larsen masuk dekat dengan Kepulauan Nansha.

Dan Januari 2016, Curtis Wilbur kapal rudal perusak berlayar dalam 12 mil laut di Pulau Zhonglian di Kepulauan Xisha Tiongkok. Pada bulan Maret 2016, armada kapal induk USS John C. Stennis memasuki wilayah “perairan sengketa” di Laut Tiongkok Selatan. Pada 15 April lalu, setelah enam bulan, Menhan AS Ashton Carter sekali lagi menumpang kapal induk AS berlayar melalui “perairan yang disengketakan” di Laut Tiongkok Selatan. 

Pengamat melihat AS meperlihatkan kekuatannya di Laut Tiongkok Selatan memiliki niat yang sangat jelas, dengan terus memamerkan dan menghadirkan kapal induk dan pesawat militer untuk menunjukkan seakan-akan ada ketegangan di Laut Tiongkok Selatan dan diperlukan untuk kehadirannya, berpartisipasi dan perlu terus untuk memperkuatan kekuatan militernya.

Dengan kelakuan AS ini, kita bisa melihat situasi Laut Tiongkok Selatan terus-menerus meningkat baru-baru ini. Fakta ini membuat orang mencurgai AS tidak menginginkan adanya perdamaian dan stabilitas di kawasan ini.

AS ingin mengganggu kawasan ini dan sengaja membuat agar terjadi irisan antara Tiongkok dan negara-negara sekitarnya yang terlibat. Untuk tujuan ini, Filipina menjadi pilihan yang terbaik untuk melakukan irisan tersebut.

Pada 4 April 2016, secara resmi AS dan Filipina mulai melakukan latihan militer tahunan bersama yang diberi kode “Balikatan” (Bahu-membahu).

Laporan menyatakan, latihan tahun ini termasuk latihan merebut pulau, operasi tempur khusus dan banyak lagi. AS mengerahkan 55 pesawat militer untuk mengambil bagian dalam latihan, dan Filipina mengerahkan pesawat barunya FA-50 jet tempur yang baru dibeli dari Korsel.

Dalam latihan bersama ini, AS mengerahkan HIMARS/High Mobility Artilery Rocket Systems (Sistem Artileri Rudal Mobiltas Tinggi) yang ditempatkan di Pulau Palawan, Filipina dekat Pulau Nansha- Tiongkok, dengan melakukan penembak menggunakan peluru hidup untuk pertama kalinya.

Analis melihat dalam beberapa tahun terkahir ini, AS dan Filipina telah memperkuat kerjasama militer, dan Latma “Balikatan” merupakan lingkup dari perkembangan ini. Lokasi latihan telah berkembang lebih dekat ke daerah sensitif, dan kontensnya telah menjadi sangat provokatif bagi Tiongkok.

Memang pada kenyataannya, AS dan Filipina merupakan aliansi tradisional, dan Latma “Balikatan” merupakan latihan tradisi.  Tapi secara tradisional sebelumnya lebih berfokus pada kontraterorisme, dan perlindungan untuk kedaulatan wilayah Filipina.

Tapi latihan militer “Balikatan” kali ini berubah ke suatu tingkatan baru. Dengan kata lain latihan “Balikatan” beberapa tahun terakhir ini telah termasuk latihan untuk merebut pulau, sehingga dianggap tujuan latihan ini telah dianggap memberi sinyal bahaya bagi Tiongkok.

Pada 13 April 2016, Menhan AS, Ashton Carter mengunjungi Filipina untuk memperkuat aliansi AS dengan Filipina, dalam kunjungan ini dia mengatakan, “Kita terus membuat aliansi lebih kuat dan lebih kuat lagi. Upaya kami untuk berbuat lebih banyak bersama-sama ini menunjukkan komitmen Amerika yang tidak bisa dipecahkan untuk membela bangsa ini (Filipina), untuk stabiltas, dan keamanan Asia-Pasifik, serta prinsip-prinsip yang telah membantu begitu baynyak kawasan ini untuk meningkatkan kemakmuran.”

Dalam hal ini “The New York Times” berkomentar, aliansi AS dan Filipina telah diperkuat dengan mata ditujukan kepada Tiongkok. Kunjjungan Carter ke Filipina menunjukkan hubungan erat kedua negara, yang akan ditampilkan dalam serangkaian operasi militer yang signifikan.

Memang benar pada 14 April 2016, setelah Carter bertemu dengan Presiden Filipina, Benigno Aquino III, pada akhir latihan “Balakatan,”  275 personil militer AS akan sementara ditempatkan di Filipina. Selain itu, lima helikopter A-10 C Thunder Bolt akan tetap berada di Filipina sampai akhir April 2016. Pesawat ini akan ditempatkan di Pangkalan Udara Clark untuk membantu dalam latihan militer Filipina, dalam meningkatkan kemampuan AL dan AU dalam operasi gabungan dari kedua militer ini.

AS Memberi Bantuan Militer Filipina

Pada saat yang sama, Filipina juga akan mendapatkan 42 juta USD untuk  “Southeast Asia Maritime Security Initiative,” yang baru didirikan, dalam rangka meningkatkan dalam berbagi intelijen, pengintaian dan patroli maritim.

Dan menambahkan 79 juta USD untuk bantuan militer tahunan, sehingga militer Filipina akan menerima 120 juta USD bantuan militer untuk tahun ini. Menjadi bantuan militer terbesar sejak AS kembali ke Filipian pada tahun 2000. Carter mengatakan bahwa bantuan ini akan mendorong aliansi AS-Filipina ke “tingkat yang baru.”

Analis Tiongkok mengamati sikap AS dari masa lalu terhadap masalah Laut Tiongkok Selatan selalu mau ikut campur tangan, tapi tidak mau terlalu dalam dalam keterlibatannya. Tapi kini berubah dengan sangat terlibat, dan tampil sangat menyolok untuk isu-isu Laut Tiongkok Selatan. Hal ini bisa dilihat dengan tampilan kerjasama yang lebih mendalam antara AS dan Filipina untuk isu tersebut.

Sebagai imbalan dari bantuan AS untuk militer Filipina, patroli AS-Filipina di Laut Tiongkok Selatan akan mejadi normal (sering dilakukan).

Selain itu, berdasarkan perjanjian keamanan yang telah ditanda-tangani kedua negara ini, militer AS akan menggunakan lima pangkalan militer yang terletak di beberapa daerah berbeda di Filipina dengan garnisun yang dirotasi. Salah satunya di Pulau Palawan yang dekat dengan Pulau Huangyan di Kepulauan Nansaha, Tiongkok yang hanya berjarak 330 km.

Aston Carter mengatakan, “Akan menjadi rutin kehadiran pasukan AS disini, di semua lima situs EDCA (pangkalan militer), ditambah saya harus mengatakan tentu saja kita juga membahas situs tambahan lainnya.”

Tampak situasi ini layaknya setelah lebih dari 20 tahun sejak militer AS meninggalkan Filipina, militer AS sekali lagi akan menggunakan pangkalan militer Filipana untuk angkatan darat, laut dan udara.

Namun dalam kenyataanya, kekuatan militer Filipina lemah dan banyak kesulitan, sehingga yang bisa dilakukan adalah melakukan hal-hal seperti membuka pangkalan militernya, dan menggunakan cara-cara lain untuk membawa AS masuk. Atau dengan kata lain Filipina telah mengorbankan kedaulatan dan kemerdekaannya untuk mendapat dukungan dari AS.

Analis melihat tindakan AS yang mendukung Filipina ini, seakan menggunakan Filipina sebagai pion dan sebagai pijakan, atau batu loncatan untuk memasuki Laut Tiongkok Selatan.

Tapi di Filipina opini publik mengatakan bahwa hal itu seperti mengundang srigala ke rumah mereka. Kembali pada tahun 1990an, Filipina mencoba untuk memaksa AS untuk meninggalkan Filipina. Mereka  berharap untuk menjaga sendiri kedaulatan dan kemerdekaannya. Namun sekarang mengundang AS untuk masuk kembali, sehingga mereka menganggap ini sekali lagi merugikan dan merusak “kedaulatan dan kemerdekaan” Filipina. Bahkan ada suara-suara yang mengeritik pemerintah yang makin dekat dengan AS ini sebagai kontra produktif.

Tampaknya presiden berikutnya akan berniat coba menjaga jarak dengan AS untuk isu Laut Tiongkok Selatan.

Kini presiden terpilih Rodrigo Duarte yang akan dilantik bulan Juni yang akan datang, untuk isu Laut Tiongkok Selatan, dia mengatakan : “Jika saya menjadi presiden tidak akan melakukan kunjungan kenegaraan dengan cuaca dingin. “

Pada 9 Mei 2016 lalu, mengindikasikan tidak ortodok, ia mengatakan akan mencari pembicaraan multilateral untuk menyelesaikan sengketa di Laut Tiongkok Selatan. Hal ini pasti tidak akan di diterima oleh Tiongkok.

Tapi menurut tabloid “Global Times” mengatakan bahwa Beijing tidak akan cukup naif untuk percaya bahwa presiden baru akan membawa solusi untuk sengketa Laut Tiongkok Selatan. “Hanya waktu yang akan memberitahu pemimpin baru, baik itu Duarte atau tidak, akan pergi ke arah memulihkan hubungan bilateral.”


Seperti diketahui tindakan AS dalam menghasut dalam konflik ini, jelas tidak bermanfaat bagi resolusi sengketa.

Tapi menurut pengamatan, semakin banyak negara telah secara bertahap memahami sifat dasar dari ekskalasi masalah Luat Tionkok Selatan, dan semua pihak berusaha membentuk kesamaan untuk menuju penyelesaikan perbedaan.

Tidak lama setelah Menhan AS Carter menaiki kapal induk dan berlayar melalui perairan Luat Tiongkok Selatan yang dipersengketakan, pada 18 April 2016 lalu. Menlu Rusia, Sergey Lavrov, dan Menlu India Sushma Swarajmet pada Pertemuan tahunan para Menlu yang ke-14 antara Tiongkok-Rusia –India merilis “Komunike Bersama” setelah pertemuan tersebut.

Sikap Rusia Terhadap Masalah Laut Tiongkok Selatan

Tiongkok, Rusia, India berjanji akan menjaga tantanan hukum maritim berdasarkan hukum internasional, dan menyata mereka percaya semua perselisihan terkait harus diselesaikan oleh pihak-pihak yang terlibat melalui negosiasi dan konsultasi.

Ada pengamat yang melihat dengan tiga Menlu negara utama ini bertemu, dengan Rusia dan India secara terbuka menyatakan mereka mendukung Tiongkok dalam masalah Laut Tiongkok Selatan, ini menggambarkan bagaimana opini publik internasional tidak memnyembunyikan kebenaran dari publik umum, tidak seperti AS dan Barat. Karena dalam kenyataan negara-negara ini semua independen dan memiliki pendapat sendiri.

Pada 29 April 2016, Lavrov sekali lagi dengan jelas menyatakan Rusia akan langsung terlibat dan mendukung dalam penyelesaian damai kedaulatan dan sengketa maritim melalui konsultasi dan negosiasi, dan menentang internasionalisasi masalah Laut Tiongkok Selatan.

Menurut analis sikap sangat jelas Rusia ini berdasarkan dengan dua alasan penting. Salah satu alasan, Rusia percaya bahwa provokasi AS di Laut Tiongkok Selatan tidak menguntungkan perdamaian dan stabilitas di Laut Tiobngkok Selatan dan daerah sekitarnya, dan bahkan kawasan Asia-Pasifik itu sendiri. Karena Rusia memiliki kekhawatiran besar terhadap AS atas “Menyeimbangkan Kembali” Asia-Pasifik, terutama AS yang menggunakan krisis Semenanjung Korea dijadikan alasan untuk mengelar Sistem Pertahanan Udara THAAD.

Rusai juga percaya dengan penggelaran Sistem THAAD akan merusak keamanan strategis Rusia dan daerah sekitarnya.

Alasan kedua, Rusia telah mengalami tekanan dari Barat, terutama setelah krisis Ukraina. Barat telah menjatuhkan sanksi dan melakukan blokade putaran kedua terhadap Rusia.

Pada 12 April 2016, Menhan AS, Ashton Cater mengunjungi India dalam pidatonya menyatakan : “Pada hari ini, kami telah sepakat pada prinsipnya untuk berbagi dan melakukan pertukaran logistik seperti yang dicatat dimana akan memungkinkan kita melakukan lebih banyak lagi. Kita juga sudah  sepakat segera untuk menyimpulkan pelayaran komersial untuk membantu angkatan laut kami dalam bekerja sama untuk membela negara kami dan mempromosikan dan melindungi perdagangan global.”

Menhan India, Manohar Pasrikar dalam pidatonya mengatakan : “Kerjasama pertahanan adalah pilar utama dari hubungan multi-facet (beranek segi) India dengan AS. Sebuah kemitraan yang lebih kuat antara AS-India akan dipromosikan untuk perdamaian, stabilitas dan kemajuan di kawasan kita dan dunia.”

Untuk isu Laut Tiongkok Selatan, AS selalu coba mencari dukungan dari India. Pada tahun 2014 PM India, Narendra Modi mengunjungi AS dan setelah itu, dalam sebuah pernyataan bersama India-AS telah disebutkan secara khusus untuk Laut Tiongkok Selatan.

Pada saat itu, analis percaya bahwa sikap India mendukung solusi yang diusulkan AS untuk Laut Tiongkok Selatan. Dan India pada prinsipnya setuju untuk menandatangani “Perjanjian Dukungan Logistik”(LSA) dengan AS. Aksi tersebut diyakini oleh dunia luar berarti India akan mengambil bagian dalam tindakan AS untuk menekan Tiongkok.

Namun apa yang diperkirakan banyak pihak, setelah Carter meninggalkan India, Menhan India Manohar Parrikar mengunjungi Tiongkok pada 16 April 2106, pada saat yang sama Menlu India Sushma Swaraj mengunjungi Moskow dan bertemu dengan Menlu Tiongkok, Wang Yi pada 18 April 2016.

Setelah itu, Penasehat Keamanan India Ajit Doval mengunjungi Beijing. Tapi yang menjadi perhatian besar dari AS dari semua peristiwa ini adalah “Komunike Bersama” yang dikeluarkan oleh India, Tiongkok dan Rusia pada 18 April 2016.

Analis melihat bahwa India jelas bukan merupakan salah satu pihak dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan, India adalah kekuatan utama yang berada di luar isu Laut Tiongkok Selatan, namun sampai batas tertentu, India telah menyesuaikan kebijakan untuk Laut Tiongkok Selatan tersebut.

Carter mengunjungi India berharap India mau mengintervensi untuk urusan Laut Tiongkok Selatan, tapi India sebenarnya telah memikirkan banyak tentang ini. Karena dengan menentang Tiongkok untuk masalah Laut Tiongkok Selatan akan merugikan kepentingan Tiongkok adalah tidak bermanfaat bagi pembangunan untuk dirinya sendiri. Untuk masalah ini India akan lebih mempertimbangkan keuntungan untuk dirinya sendiri.

Pada kenyataan, India selalu mempertahankan kewaspadaan yang cukup tinggi dan menjaga jarak tertentu dalam hubungannya dengan AS.

Pada 10 Pebruari 2016, Reuters Inggris mengungkapkan dari seorang pejabat Departemen Pertahanan AS yang ingin tetap anonim mengatakan, AS dan India telah mengadakan pertemuan dan kemungkinan dua negara ini akan melakukan patroli angkatan laut bersama di Laut Tiongkok Selatan. Kedua negara ini telah membahas patroli dan operasi bersama yang dapat dimulai tahun ini.

Tapi, satu minggu kemudian pada 17 Pebruari 2016, Kemenlu India mengatakan, bahwa mereka tidak akan mengambil bagian dalam patroli bersama di Laut Tiongkok Selatan dengan AS. Dalam hal ini keomentator militer India mengemukakan: “India tidak akan menjadi subordinasi dan bawahan yang hanya mengejar untuk kepentingan AS. Hal itu harus dilakukan untuk membangun hubungan dengan semua negara untuk menyeimbangkan kekuatan Asia.”

Sekarang, India telah sekali lagi secara terbuka menyatakan sikap mendukung Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan. Analis percaya alasan penting ini karena India berharap dapat mempertahankan sifat yang santai untuk Tiongkok maupun AS.

Untuk masalah Laut Tiongkok Selatan, India ingin mempertahankan sikap yang cukup terpisah atau netral. Dan barang tentu sikap ini sangat disambut oleh Tiongkok, karena pertama-tama, India sebagai negara dan bangsa utama, strategi luar negeri India merupakan salah satu dari otonomi strategis. Dengan kata lain, itu menekankan kemandirian dan otonomi. Dalam hal ini tidak akan bergantung pada negara utama, terutama negara seperti AS. Hal ini sangat penting sepanjang menyangkut kepentingan strategisnya.

Yang kedua, yang telah dilakukan secara terbuka menyatakan India mendukung sikap Tiongkok untuk isu-isu Laut Tiongkok Selatan. Jadi India mempunyai perhitungan, pertimbangan dan pertimbangannya sendiri. Karena secara hipotesis, jika India mengambil bagian dalam patroli di Laut Tioongkok Selatan, itu akan menjadi pisau bermata dua untuk India, karena India perduli banyak dengan kegiatan negara-negara lain di Samudra Hindia.

Salah satu contoh, apabila India melakukan patroli untuk kebebasan navigasi di Laut Tiongkok Sxelatan dengan AS, di kemudian hari, bisa saja negara-negara lainnya juga akan ke Samudra Hindia dan menggunakan alasan yang sama ‘kebebasan nevigasi’ untuk lakukan navigasi atau patroli di Laut India, jika ini terjadi apa yang bisa India lakukan?

Jadi pertimbangan kekuatan politik dan suara yang gigih di India yang menentang pemerintah yang datang dari para pejabat India, maka bersanding dengan AS untuk hal ini sama sekali tidak menguntungkan bagi India.

Beberapa analis percaya interaksi India baru-baru ini dengan tingkat tinggi Tiongkok menunjukkan bahwa India tidak akan menjadi garda depan AS untuk masuk Asia-Pasifik untuk menekan Tiongkok. Meskipun India ada persaingan dengan Tiongkok, selama ini kebijakan luar negeri India adalah independen, bebas dan otonom, maka India memutus untuk tidak akan berpihak pada AS.

Signh, seorang professor dari Universitas Jawaharalal Nehru untuk India School of International Studies, mengatakan, Tiongkok dan India melihat perkembangan ekonomi sebagai tujuan utama mereka, perang tradisional bukanlah sesuatu yang menjadi salah satu pilihan mereka..

Nilai-nilai hubungan India-Tiongkok sekarang, terutama karena pemerintahan Modi dimulai dengan menekankan kerjasama antara Tiongkok dan India,  sejauh untuk hubungan ekonomi dan perdagangan, India telah melakukan sikap yang sangat prakmatis, merdeka, tidak ingin isu-isu lain mengganggu dan mempengaruhi hubungan antara India dan Tiongkok. Dalam hal ini bisa dibaca di tulisan penulis : Kunjungan PM India Narendra Modi Ke Tiongkok Menjadi Perhatian Dunia (1) http://www.kompasiana.com/makenyok/kunjungan-pm-india-narendra-modi-ke-tiongkok-menjadi-perhatian-dunia-1_55710414307a616f02532c13

 

Analis percaya bahwa isu Laut Tiongkok Selatan meningkat saat ini, Tiongkok-Rusia-India merilis pernyataan bersama untuk menanamkan “kekuatan positif” untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Tiongkok Selatan. Dan pernyataan ini tampaknya agar didengar dalam masalah Laut Tiongkok Selatan, yang bermanfaat untuk memperkuat keadilan, sikap obyektif dalam opini publik internsional tentang isu Laut Tiongkok Selatan. Hal ini akan berefek positif dalam diplomatik terutama untuk negara-negara tertentu seperti AS, Filipina dan bahkan untuk negara-negara lainnya.

Selain India dan Filipina, AS selalu berusaha untuk mendapatkan ASEAN berada di sisinya. Mengharapkan ASEAN akan bertindak secara keseluruhan dan mengambil tindakan bulat mengenai masalah Laut Tiongkok Selatan, sehingga dapat membentuk “satu suara” dengan AS mengenai masalah ini.

Tapi kini Presiden Filipina yang baru terpilih Rodrigo Duterte, mempunyai pandangan lain untuk masalah isu Laut Tiongkok Selatan dengan Tiongkok. Duterte lebih menghndakin bernegosiasi dengan Tiongkok dan bersedia untuk mengemsampingkan isu perdebatan kedaulatan dalam pertukaran untuk konsesi ekonomi Tiongkok. Ia menentang untuk berperang dengan Tiongkok dan tidak mengajurkan penggunaan jalan hukum untuk menegakkan klaim Filipina. Sebaliknya, lebih suka melakukan pendekatan multilatheral yang akan membawa rival pengaduan saingan dan bahkan kekuatan ekstra-regional ke meja perundingan. Pandangan ini meskipun bukan baru, tampaknya memberi sinyal perubahan radikal dalam hubungan Filipian-Tiongkok.

Namun, dalam kenyataanya sebagian besar negara-negara ASEAN tidak ingin suaranya dikendalikan AS, dan tidak bersedia mengambil pada satu sisi untuk masalah AS-Tiongkok. ASEAN mempunyai kemampuan dan kepercayaan diri untuk mengatasi urusan internal, dan tidak perlu kekuatan luar memaksa dan mengatur mereka.

Dari 20 s/d 24 April 2016, Menlu Tiongkok, Wang Yi menerima undangan untuk berkunjung ke Brunei, Kamboja, dan Laos. Selama kunjungan ini mengadakan pertukaran pendapat dengan tiga negara ini untuk situasi Laut Tiongkok Selatan saat ini, dan mencapai empat point konsensus.

Point pertama, Tiongkok dan tiga negara ini percaya bahwa pluau-pulau Nansha tidak ada masalah antara Tiongkok dan ASEAN, juga tidak mempengaruhi hubungan mereka.

Point kedua, Tiongkok dan tiga negara ini semua menghormati hak dari masing-masing negara untuk memilih cara mereka sendiri untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan hukum internasional, dan tidak menyetujui secara sepihak/unilateral memaksa metode atau cara tertentu.

Selain itu, Tiongkok dan tiga negara ini semua percaya dengan Pasal 4 dari “Declaration on the code of Conduct on the South China Sea,”, dimana pihak-pihak yang secara langsung terlibat harus melakukan dialogue dan konsultasi untuk kepentigannya menyelesaikan perselisihan territorial dan maritim.

Tiongkok dan tiga negara ini semua percaya bahwa Tiongkok dan negara-negara ASEAN memiliki kemampuan untuk bekerjasama dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Tiongkok Selatan.

Analis dan pengamat melihat bahwa kebanyakan negara ASEAN tidak menyetujui cara-cara seperti yang dilakukan Filipina, dimana mereka mengambil sikap sengketa bilateral dengan Tiongkok, dengan menjadikan multilateral, selain itu  juga coba mengaitkan dengan ASEAN.

Tampaknya negara-negara ASEAN lain juga menentang perilaku ini, jadi tidak mengherankan jika ketiga negara ini semua mencapai konsensus dengan Tiongkok, yang menghendaki isu Laut Tiongkok Selatan seperti yang dikehendaki sudah menuju arah yang tepat, obyektif, dan perubahan yang terkontrol. 

Dengan kata lain mereka tidak menghendaki yang dilakukan Filipina dan AS untuk masalah Laut Tiongkok Selatan ini. Yang mencoba menarik ASEAN yang menjadi kekuatan strategis di kawasan Asia-Pasifik ini. AS memang berusaha menjadikan sengketa teritorial di Laut Tiongkok dijadikan “masalah ASEAN” dan menggunakan ASEAN untuk sama-sama menentang Tiongkok.

Pada 15 Pebruari 2016, AS mengadakan pertemuan informal dengan para pemimpin ASEAN di California, AS. Peserta ASEAN dalam pertemuan mengungkapkan bahwa AS dalam membuat pernyataan berusaha untuk menyebutkan Tiongkok dan Laut Tiongkok Selatan dalam sebuah pernyataan bersama dalam pertemuan, dan menuliskan serangkaian “aturan” dan “prinsip-prinsip” bahwa AS telah merencanakan ke dalam dokumen, untuk menciptakan pengaruh politik besar.

Menurut analisis BBC Inggris menyatakan, meskipun Gedung Putih terus-menerus membantah itu, tapi tujuannya adalah untuk menciptakan sebuah “aliansi anti-Tiongkok” atau membentuk “kelompok untuk menekan Tiongkok,” , disamping itu AS telah berusaha bersamaan mempromosikan menyingkirkan Tiongkok dari zona perdagangan bebas TPP, dan mendorong ASEAN untuk mengambil “tindakan kolektif” dalam isu-isu Laut Tiongkok Selatan. Namun ASEAN tidak ada yang mau “mengikuti” rencana AS.

Hubungan ASEAN-Tiongkok

Hal ini disebabkan kebijakan luar negeri ASEAN sudah sangat jelas untuk melakukan keseimbangan antara negara-negara besar. Meskipun AS mencoba untuk menarik ASEAN pada sisinya dalam isu Laut Tiongkok Selatan dan coba untuk mengikat semua negara ASEAN pada kuda perang di Laut Tiongkok Selatan, sampai batas tertentu hal ini tidak sesuai dengan kepentingan nasional ASEAN secara secara keseluruhan.

Jadi meskipun AS mengundang para pemimpin negara ASEAN dalam pertemuan informal  di California, untuk berdiskusi menganai isu Laut Tiongkok Selatan, namun setidaknya dalam pernyataan publik tidak menyebutkan hal itu.

Ini tampknya suatu pertanda baik bagi negara-negara ASEAN, karena mereka tidak menginginkan melukai hubungan mereka dengan Tiongkok.

Dalam beberapa tahun terkahir ini memang ada peningkatan kepercayaan politik bersama antara Tiongkok dan ASEAN. FTA (Free Trade Agreement) ASEAN-Tiongkok telah di perkuat, integrasi ekonomi telah diperdalam, ekonomi bilateral dan perdagangan telah dicapai hasil yang bagus.

Perdagangan bilateral pada tahun 2015, antara Tiongkok dan ASEAN total 480,4 milyar USD, dan Tiongkok menjadi mitra dagang utama ASEAN berturut-turut selama 4 tahun, dan ASEAN menjadi ketiga terbesar mitra dagang Tiongkok dan ke-4 terbesar pasar ekspor, dan kedua terbesar pasar impor.

Memang harus diakui, perkembangan cepat pembangunan ekonomi Tiongkok secara teoritis dan praktis telah mendorong pembangunan ekonomi negara-negara ASEAN. Selain itu Tiongkok telah menjadi negara yang ekonominya masif, dengan kekuatan ekonomi demikian, dan polulasi yang besar, pasaran yang besar ini mau tidak mau harus menjadi pertimbangan bagi negara-negara disekitar kawasan ini.

Jadi saling menguntungkan antara ASEAN dan Tiongkok bagaimanapun akan menjadi gambaran besar, isu Laut Tiongkok Selatan  tidak boleh disandera oleh negara-negara tertentu dan menjadi fakrtor yang mengganggu pembangunan ekonomi. Konsensus seperti ini yang banyak dicapai oleh banyak negara yang jumlahnya terus meningkat.

Banyak negara ASEAN yang menyadari mereka tidak ingin Filipina menjadi garis depan bagi AS yang memainkan peran di belakang layar dan menjadi irisan dengan Tiongkok yang didorong oleh AS.

Tampaknya lebih banyak negara ASEAN yang berharap untuk memanfaatkan Tiongkok, termasuk usulan tentang Belt dan Road Initiative (Sabuk Jalan Inisiatif), karena saat ini ekonomi global sedang menghadapi ancaman tekanan penurunan, sehingga tujuan yang paling penting dari semua negara adalah bagaimana meningkatkan perekonomian dan menciptakan pertumbuhan perekonomian.

Selain itu, Tiongkok juga telah mengusulkan banyak pelaksanaan kerjasama, yang kebetulan juga menawarkan tujuan jangka panjang : seperti bagaimana untuk lebih meningkatkan infrastruktur; bagaimana memperkuat kerjasama praktis dalam semua aspek; serta bagaimana menciptakan landasan bagi perkembangan pesat Asia untuk masa yang akan datang.

Tampaknya banyak negara yang telah meliaht hal ini, namun masih merasa tidak nyaman bagi mereka untuk secara terbuka membuat pernyataan pada saat ini.

Saat ini, AS dan Jepang dengan ikut intervensi di Laut Tiongkok Selatan, dan tindakan yang sering dilakukan Filipina mengakibatkan situasi Laut Tiongkok Selatan terus meningkat, tetapi Brunei, Kamboja dan Laos telah mencapai konsensus dengan Tiongkok mengenai isu-isu Laut Tiongkok Selatan.

Analis dan pengamat melihat ini memiliki makna demontratif, dan dapat membantu mempromosikan  resolusi damai untuk isu-isu Laut Tiongkok Selatan.

Brunei dan Laos melihat cara menyelesaikan masalah ini dengan negoasiasi bagi para pihak yang terlibat langsung yang paling cocok. Dan ini sangat penting mengingat Laos adalah ketua ASEAN pada putaran kali ini, dan ketua putaran ini memiliki peran khusus untuk menempatkan desain agenda dan isu-isu  terkait dalam memimpin.

Misalnya kini telah menekankan efek dari: “Deklarasi Kode Etik di Laut Tiongkok Selatan” tidak bisa diabaikan, dan pada kenyataan ini bisa berupa pelajaran/kuliah bagi Filipina atas pengajuan banding unilateral.

Padahal Kamboja dan Laos juga memiliki klaim di Laut Tiongkok Selatan, mereka mempunyai sudut pandang yang sangat kuat. Tapi mereka berharap masalah ini dapat diselesaikan secara damai melalui negosiasi dan konsultasi. Mereka tampaknya sangat jelas untuk hal ini dan tidak mau diperlatan dan dijadikan sanderaan.

Mereka juga menginginkan agar kekuatan ekstra-regional (AS) harus memainkan peran yang kostruktif, tapi sebaliknya tampaknya kekuatan ekstra-regional mengkhawatirkan suasana Laut Tiongkok Selatan tidak kacau, sehingga mereka perlu datang untuk mengganggu.

Jadi analis dan pengamat menganggap tercapainya konsensus yang luas antara tiga negara tersebut memiliki makna penting, signikfikansi praktis.

Isu Laut Tiongkok Selatan mempunyai sejarah panjang. Apakah itu Tiongkok, negara-negara di kawasan ini, atau Rusia, India atau negara-negara utama di luar kawasan ini, konflik di Laut Tiongkok Selatan jalas akan merupakan sesuatu yang tidak seorangpun ingin melihatnya.

Tampaknya Tiongkok menginginkan konflik Laut Tiongkok Selatan dicari solusi baru seperti apa yang banyak dinyatakan oleh pihak resmi pemerintahannya. Diharapkan semua pihak bisa berdampingan dalam laut biru yang luas dari Laut Tiongkok Selatan ini bisa ditemukan perkembangan umum.

Pemikiran Dua Jalur Untuk Isu Laut Tiongkok Selatan
Pada 28 Apriul 2106, pada upacara pembukaan pertemuan rutin ke-5 para menteri luar negeri CICA, Presiden Tiongkok, Xi Jinping kembali mengulangi tentang “dua jalur pemiukiran” untuk isu Laut Tiongkok Selatan, dan menyerukan negara-negara terkait untuk bersama-sama dengan Tiongkok untuk beriktiar menjaga perdamaian.

Dalam pidato Xi Jinping mengatakan; “Sudah cukup lama untuk beberapa waktu ini, semua pihak telah khawatir tentang isu-isu Laut Tiongkok Selatan. Saya ingin menekankan bahwa Tiongkok selalu berdedikasi untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Tiongkok Selatan, dan dengan tegas mempertahankan kedaulatan sendiri dan kepentingan terkait di Laut Tiongkok Selatan.” Lebih lanjut mengatakan.

“Kita akan tegas bertahan dalam damai untuk meneyelesaikan sengketa melalui konsultasi ramah dan negosiasi dengan pihak langsung yang terlibat. Tiongkok bersedia untuk bekerjasama dengan negara-negara ASEAN untuk membangun Laut Tiongkok Selatan sebagai laut perdamaian, persahabatan dan kerjasama.”

Dua jalur pemikiran ini merujuk pada pihak-pihak yang terlibat langsung dalam sengketa untuk mencari resolusi damai melalui konsultasi ramah dan negosiasi, serta perdamaian dan stabilitas untuk Laut Tiongkok Selatan ini yang sedang saling dikelola oleh Tiongkok dan negara-negara ASEAN.

Pada bulan Agustus 2014, Menlu Tiongkok, Wang Yi selama dalam pertemuan para Menlu Tiongkok-ASEAN (10+1) di Naypidaw, ibukota Myanmar, Tiongkok menyetujui apa yang dianjurkan untuk ”pemikiran dua jalur.” (two-track thingking).

Setelah itu, istilah “pemikian dua jlaur” ini menjadi sikap utama Tiongkok untuk mengangani siu-isu Laut Tiongkok Selatan.

Usulan dan pemikiran “pemikiran dua jalur” ini sebanarnya pertama kali diusulkan oleh Brunei, dan Tiongkok menganggap pemikiran ini adalah ide yang yang baik, dan sesuai baik kepada Tiongkok maupun semua pihak yang terlibat saat ini untuk menyelesaikan masalah Laut Tionkok Selatan, sehingga Tiongkok dengan aktif mendukung usulan ini.

Tampaknya Tiongkok melihat ini pemikiran terbaik untuk bagaimana menyelesaikan masalah Laut Tiognkok Selatan, yang menurut pernyataan resminya selalu mengusulkan dan aktif mendorong untuk damai dalam menyelesaikan sengketa teritorial dan maritim melalui konsultasi dan negosiasi.

Secara resmi pihak resmi Tiongkok menyatakan, sejak RRT berdiri telah menanda-tangani perjanjian perbatasan dengan 12 dari 14 tetangga setelah melalui konsultasi dan negosiasi. Menggunakan konsultasi dan negosiasi bilateral langsung untuk menyelesaikan sengketa perbatasan dan maritim, ternyata telah menghasilkan penyelesaian dengan unik dan sesuai dengan hukum serta praktek-praktek internasional.

Tiongkok beranggapan dengan pengalaman yang sudah dilakukan ini, praktik internasional terkait ini, hasil yang dicapai melalui konsultasi dan negosiasi merupakan yang paling mudah diterima oleh pihak-pihak pemerintah yang terlibat dan rakyatnya. Yang menyebabkan timbul sedikit gangguan dan memiliki vitalitas paling abadi.

Situasi Laut Tiongkok Selatan ini terlihat rumit dan peka, Tiongkok tampaknya menyatakan tulus dengan mengusulkan “pemikiran dua jalur” untuk menyelesaikan masalah Luat Tiongkok Selatan, dengan menampilkan sikap proaktif dalam menyelesaikan masalah ini, dan menggambarkan akan menentang negara esktra-regional untuk intervensi dalam masalah laut Tiongkok Selatan yang akan menggunakan berbagai alasan, dan dengan acara-acara internasional.

Pada kenyataannya, banyak pihak di kawasan ini menginginkan stabiltas di laut Tiongkok Selatan, menghendaki tidak adanya intervensi internasional dalam sengketa teritorial, dan diselesaikan secara bilateral bagi pihak langsung yang terlibat. Karena selama 30 tahun terakhir ini, bantuan internasional tidak membantu menyelesaikan masalah  untuk masalah ini.

Karena ternyata dengan adanya intervensi ekstra-regional, kompleksitas masalah Laut Tiongkok Selatan penyelesaian sengketa melalui proses damai harus menjadi proses yang panjang. Maka diharapkan semua pihak harus berupaya menjaga situasi dengan tidak menjadi lebih buruk, dan meringankan ketegangan kawasan Laut Tiongkok Selatan ini.

Dengan menggunakan metode yang dapat diterima semua pihak di bawah kerangka kerjasama tertentu, untuk secara bertahap menyelesaikan masalah adalah pilihan yang diperlukan.

Tampaknya isu Laut Tiongkok Selatan telah menjadi suatu jenis entertaiment atau pertunjukan hiburan yang cendrung menjadi bubble dan gelombang, dan menjadi lebih komplek dan internasionalisasi.

Jadi kita harus mencegah semua perubahan ini jangan sampai terjadi. Sehingga isu-isu Laut Tiongkok Selatan ini dapat kembali ke masalah asli mereka, terutama dengan masalah Filipian dengan Laut Tiongkok Selatan yang mengajukan perkara ke arbitrase, dimana keputusannya yang makin dekat. Sehingga banyak pihak yang menekankan pada isu-isu ini melalui metode politik, hukum dan militer, yang sebanrnya dapat menyebabkan masalah ini menjadi lebih komplek, dan pada akhirnya justru melayani kepentingan kekuatan ekstra-regional tertentu (yang kini terlihat adalah AS).

Kiranya ini akan merusak kepentingan negara-nagara di sekitar Laut Tiongkok Selatan termasuk kita. Jadi kita sangat menyetujui usulan pemerintahan Jokowi dan Menlu Tiongkok Wang Yi yang mencoba dan menghendaki menciptakan mekanisme kerjasama bagi negara-negara sekitar kawasan ini.

Dengan melalui kerjasama semua pihak maka akan menemukan “common denominator” terbesar untuk menyelesaikan masalah Laut Tiongkok Selatan, dan semua pihak dapat memperoleh kepentingannya yang terbesar dalam isu-isu Laut Tiongkok Selatan.

Tapi jika terjadi sebaliknya dimana persaingan menjadi zero-sum, itu hanya akan berakhir dalam situasi dimana kedua belah pihak akan sama-sama kehilangan dan tidak bermanfat untuk pembangunan kawasan.
Sucahya   Tjoa
29 Mei 2016


Sumber : Media TV dan Dalam dan Luar Negeri

No comments:

Post a Comment