Peluang AS
Mengacaukan Situasi Kawasan Laut Tiongkok Selatan Diragukan Berhasil
Tempo.Co, Jakarta pada 18 Mei
2016, memberitakan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmanto menyiapkan berbagai
cara mengantisipasi kemungkinan terburuk akibat ketegangan di wilayah Laut
Tiongkok Selatan.
Dalam menanggapi konflik Laut
Tiongkok Selatan, Gatot menekankan TNI berpedoman pada kebijakan politik luar
negeri pemerintah Indonesia. “Pemerintah R.I. sudah menghimbau agar semua
negara mewujudkan situasi aman di Laut Tiongkok Selatan dan tidak memicu
instabilitas karena itu urat nadi ekonomi dunia.”
Memang jika dilihat dari situasi
sejak April 2016, telah terjadi serangkaian perkembangan positif berkenaan
dengan isu tentang persengketaan di Laut Tiongkok Selatan ini. Rusia, India dan
Tiongkok, demikian juga dengan Brunei, Laos, dan Kamboja telah mencapai
konsensus dengan Tiongkok untuk isu Laut Tiongkok Selatan, dan sepakat untuk
semua sengketa yang terkait harus diselesaikan melalui negosiasi dan konsultasi
bagi negara yang terlibat.
Tampaknya makin banyak
negara-negara yang memilih untuk bersikap lebih mengedepan konsultasi dan
negosiasi untuk issue Laut Tiongkok Selatan, apa pertimbangan mereka dibalik
ini? Marilah kita coba bahas bersama.
Pada 28 April 2016, Kemenlu Sudan
membuat pernyataan resmi tentang Laut Tiongkok Selatan, yang menyerukan
negara-negara yang terlibat untuk mematuhi “Deklarasi Perilaku Para Pihak di
Laut Tiongkok Selatan” (“Declaration the Conduct of the Parties in the South
China Sea” ) dan menyelesaian dengan damai sengketa teritorial dan maritim
melalui konsultasi dan negosiasi ramah dan damai.
Sudan bukan satu-satunya negara
yang secara terbuka mengambil sikap mendukung sikap Tiongkok untuk isu-isu Laut
Tiongkok Selatan.
Indonesia juga bersikap sama,
Menko Polhukam Luhut B. Pandjaitan dalam Ecovention Ecopark, Ancol, Jakarta
(12/11/2015 Liputan6.com, Jakarta): “ Sikap kita jelas, tidak berpihak ke
mana-mana. Jangan gelar latihan di situ.”
Luhut menegaskan, dari awal sikap
Indonesia tidak berpihak ke nagara manapun yang berkonflik di Laut Tiongkok
Selatan, ketimbang harus angkat senjata lebih baik konflik di sana diselesaikan
dengan cara-cara diplomasi.
Indonesia-Tiongkok sepakat menandatangani kesepakatan Kemitraan Strategis pada 25 April 2005, yang
kemudian ditingkatkan menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif pada Oktober
2013. Sejak itu hubungan politik, pertahanan, keamanan, ekonomi, dan
sosial-budaya kedua negara terus meningkat.
Makin eratnya hubungan Indonesia-Tiongkok juga
ditunjukkan kedua pihak pada forum internasional, semisal dalam penetapan
Declaration of Conduct of Parties in The South China Sea (DoC) pada 2002,
termasuk dalam "Guidelines for The Implementation of DoC" pada 2011.
Pada 18 April 2106, Menlu
Tiongkok Wang Yi melakukan kunjungan ke Moskow untuk menghadiri Pertemuan Menteri
Luar Negeri yang ke-14. Antara Rusia-Tiongkok-India.
Pada akhir pertemuan, tiga
menteri luar negeri ini merilis “Komunike Bersama” yang menunjukkan ketiga
negara telah mencapai sikap yang sama mengenai isu-isu Laut Tiongkok Selatan.
Juru bicara KemEnlu Tiongkok Hua
Chunying mengatakan; Tiongkok, Rusia dan India berjanji untuk menjaga
ketertiban hukum maritim berdasarkan hukum internasional. Pesan ini bisa
dilihat dengan jelas dalam “Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang
menyatakan semua perselisihan terkait harus diselesaikan oleh negara-negara
yang terlibat melalui negosiasi dan konsultasi. Para Menteri Luar Negeri
diserukan untuk mematuhi secara komprehensif kepada “UNCLOS,” yang dinyatakan
dalam “Deklarasi tentang Perilaku Para Pihak di Laut Tiongkok Selatan,” dan
tindak lanjut pedoman operasional untuk menerapkan “Deklarasi Perilaku Para
Pihak di Laut Tiongkok Selatan.”
Komunike ini menyatakan sikap
umum tentang situasi Laut Tiongkok Selatan saat ini meningkat, dan menekankan
bahwa Rusia, Tiongkok dan India semua memandang ke depan untuk menyelesaikan
sengketa melalui negosiasi dan konsultasi.
Tapi media Barat terkesan
mengutuk Tiongkok dengan mengatakan Tiongkoki telah terisolasi untuk masalah
Laut Tiongkok Selatan, namun Tiongkok menganggap ini suatu serangan balik yang effektif
yang membantu Tiongkok mendengar lebih banyak tentang isu-isu Laut Tiongkok
Selatan dan dapat mengungkapkan suaranya dan konsep-konsepnya mengenai isu-isu
Laut Tiongkok Selatan kepada masyarakat internasional, untuk memenangkan lebih
banyak dukungan dalam komunitas internasional untuk sikapnya terhadap isu-isu
Laut Tiongkok Selatan.
Pada 20 April 2016, Menlu
Tiongkok Wang Yi mengunjungi Brunei, Komboja dan Laos, dan berhasil mencapai
konsensus 4 butir mengenai isu Laut Tiongkok Selatan dengan negara-negara ini.
Mereka percaya Tiongkok dan negara-negara ASEAN memiliki kemampuan untuk
menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Tiongkok Selatan melalui kerjasama,
dan negara-negara diluar kawasan harus memainkan peran konstruktif, dan bukan
sebaliknya.
Pada 28 April 2016, di pertemuan
reguler ke-5 Menlu CICA (Conference on Interaction and Confidence-Building
Measures in Asia) yang diadakan di Beijing Tiongkok. Sebelum pertemuan ini,
Menlu Tiongkok Wang YI bertemu denggan banyak Menlu dari negara-negara lain.
Dalam hal isu Laut Tiongkok
Selatan, Pakistan, Banglades, Belarus dan Kyegyztan semua mengemukakan
pengertiannya dan memberi dukungan atas posisi Tiongkok. Selama ini ada 13
negara yang menyatakan dukungannya pada sikap Tiongkok, pada 13 April 2016,
Menlu Fiji mengunjungi Tiongkok juga mendukung sikap Tiongkok pada isu-isu Laut
Tiongkok Selatan, termasuk Sudan.
Di ASEAN hanya Filipina yang terkecualian,
memang sudah lama AS telah menggunakan kekuatan komprehensif, suara dan
kemampuannya untuk mengatur agenda mengendalikan arah opini publik mengenai
Laut Tiongkok Selatan, dan menciptakan lingkungan opini publik yang tidak adil.
Dengan akan diputuskannya “kasus
arbitrase Laut Tiongkok Selatan” yang diajukan Filipina ke Mahkamah
Internasional, AS telah terus-menerus melakukan penyesuaian dan mengubah
kebijakannya tanpa kenal lelah dengan Filipina dan juga dengan negara-negara
lain untuk membangkitkan masalah terkait dengan Laut Tiongkok Selatan, untuk
membuat sengketa kawasan ini menjadi “tetap panas.”.
Pada 22 April 2016, Komado
Pasifik AS (USPACOM) sebuah situs resmi AS, merilis pernyataan yang mengatakan
bahwa empat pesawat penyerang AU-AS -- A-10C Thunderbolt II dan dua HH-60G
Pave Hawk Special Operations helicopters melakukan
misi penerbangan dekat Pulau Huangyan pada tanggal 19 April 2016.
Ini menjadi yang pertama kalinya
sebuah pesawat pengintai dan pengenalan situasional maritim melakukan misinya.
Hanya dalam 10 hari saja, militer AS telah mengerahkan pesawat militer ke
wilayah dekat Pulau Huangyan tiga kali, sehingga sekali lagi pulau ini menjadi
fokus opini publik.
Memang sejak akan diputuskannya
kasus arbitrase Laut Tiongkok Selatan, isu Laut Tiongkok Selatan menjadi topik
hangat. Sehingga AS menggunakan berbagai cara untuk membuat tampaknya masalah
Laut Tiongkok Selatan menjadi titik fokus untuk semua orang.
Provokasi
AS
Saat ini AS takut jika di Laut
Tiongkok Selatan tidak ada gangguan. Seperti diketahui AS adalah contoh klasik
dari negara ekstra-regional, tapi sekarang situasi telah berubah yang tadinya
bertiundak dari balik layar, kini secara
terbuka tampil di atas panggung membuat gelombang dan keonaran di Laut Tiongkok
Selatan.
Beberapa analis percaya perilaku
AS utamanya untuk mengarah ke militerisasi Luat Tiongkok Selatan, AS melakukan
pengitaian pada titik kosong (bakn point) di sekitar pulau dan beting/atol di
sekitar pulau dengan mengatas namakan “kebebasan navigasi.” Melaksanakan
pengintaian di titik-kosong ini sebenarnya sangat provokatif.
Selama tahun-tahun lalu, metode
AS menggunakan campur tangan militer dalam masalah Laut Tiongkok Selatan telah
muncul semakin jelas. Pada Mei tahun lalu, sebuah pesawat patroli anti-kapal
selam AS, P-8A melakukan pengintaian pada altitude rendah yang sangat dekat
dengan pulau dan atol dengan pulau-pulau sekitar Kepulauan Nansha Tiongkok.
Pada bulan Juli tahun lalu juga,
AS mengirim P-8A lain dan membawa Panglima Armada Pasifik Scott Swift melakukan
7 jam pengintaian diatas Laut Tiongkok Selatan. Dan pada bulan Oktober, kapal
perusak AS, USS Larsen masuk dekat dengan Kepulauan Nansha.
Dan Januari 2016, Curtis Wilbur
kapal rudal perusak berlayar dalam 12 mil laut di Pulau Zhonglian di Kepulauan
Xisha Tiongkok. Pada bulan Maret 2016, armada kapal induk USS John C. Stennis
memasuki wilayah “perairan sengketa” di Laut Tiongkok Selatan. Pada 15 April
lalu, setelah enam bulan, Menhan AS Ashton Carter sekali lagi menumpang kapal
induk AS berlayar melalui “perairan yang disengketakan” di Laut Tiongkok
Selatan.
Pengamat melihat AS meperlihatkan
kekuatannya di Laut Tiongkok Selatan memiliki niat yang sangat jelas, dengan
terus memamerkan dan menghadirkan kapal induk dan pesawat militer untuk
menunjukkan seakan-akan ada ketegangan di Laut Tiongkok Selatan dan diperlukan
untuk kehadirannya, berpartisipasi dan perlu terus untuk memperkuatan kekuatan
militernya.
Dengan
kelakuan AS ini, kita bisa melihat situasi Laut Tiongkok Selatan terus-menerus
meningkat baru-baru ini. Fakta ini membuat orang mencurgai AS tidak
menginginkan adanya perdamaian dan stabilitas di kawasan ini.
AS ingin mengganggu kawasan ini
dan sengaja membuat agar terjadi irisan antara Tiongkok dan negara-negara
sekitarnya yang terlibat. Untuk tujuan ini, Filipina menjadi pilihan yang
terbaik untuk melakukan irisan tersebut.
Pada 4 April 2016, secara resmi
AS dan Filipina mulai melakukan latihan militer tahunan bersama yang diberi
kode “Balikatan” (Bahu-membahu).
Laporan menyatakan, latihan tahun
ini termasuk latihan merebut pulau, operasi tempur khusus dan banyak lagi. AS
mengerahkan 55 pesawat militer untuk mengambil bagian dalam latihan, dan
Filipina mengerahkan pesawat barunya FA-50 jet tempur yang baru dibeli dari
Korsel.
Dalam latihan bersama ini, AS
mengerahkan HIMARS/High Mobility Artilery Rocket Systems (Sistem Artileri Rudal
Mobiltas Tinggi) yang ditempatkan di Pulau Palawan, Filipina dekat Pulau
Nansha- Tiongkok, dengan melakukan penembak menggunakan peluru hidup untuk
pertama kalinya.
Analis melihat dalam beberapa
tahun terkahir ini, AS dan Filipina telah memperkuat kerjasama militer, dan Latma
“Balikatan” merupakan lingkup dari perkembangan ini. Lokasi latihan telah
berkembang lebih dekat ke daerah sensitif, dan kontensnya telah menjadi sangat
provokatif bagi Tiongkok.
Memang pada kenyataannya, AS dan
Filipina merupakan aliansi tradisional, dan Latma “Balikatan” merupakan latihan
tradisi. Tapi secara tradisional sebelumnya
lebih berfokus pada kontraterorisme, dan perlindungan untuk kedaulatan wilayah
Filipina.
Tapi latihan militer “Balikatan”
kali ini berubah ke suatu tingkatan baru. Dengan kata lain latihan “Balikatan”
beberapa tahun terakhir ini telah termasuk latihan untuk merebut pulau,
sehingga dianggap tujuan latihan ini telah dianggap memberi sinyal bahaya bagi
Tiongkok.
Pada 13 April 2016, Menhan AS,
Ashton Carter mengunjungi Filipina untuk memperkuat aliansi AS dengan Filipina,
dalam kunjungan ini dia mengatakan, “Kita terus membuat aliansi lebih kuat dan
lebih kuat lagi. Upaya kami untuk berbuat lebih banyak bersama-sama ini
menunjukkan komitmen Amerika yang tidak bisa dipecahkan untuk membela bangsa
ini (Filipina), untuk stabiltas, dan keamanan Asia-Pasifik, serta
prinsip-prinsip yang telah membantu begitu baynyak kawasan ini untuk
meningkatkan kemakmuran.”
Dalam hal ini “The New York
Times” berkomentar, aliansi AS dan Filipina telah diperkuat dengan mata
ditujukan kepada Tiongkok. Kunjjungan Carter ke Filipina menunjukkan hubungan
erat kedua negara, yang akan ditampilkan dalam serangkaian operasi militer yang
signifikan.
Memang benar pada 14 April 2016,
setelah Carter bertemu dengan Presiden Filipina, Benigno Aquino III, pada akhir
latihan “Balakatan,” 275 personil
militer AS akan sementara ditempatkan di Filipina. Selain itu, lima helikopter
A-10 C Thunder Bolt akan tetap berada di Filipina sampai akhir April 2016.
Pesawat ini akan ditempatkan di Pangkalan Udara Clark untuk membantu dalam latihan
militer Filipina, dalam meningkatkan kemampuan AL dan AU dalam operasi gabungan
dari kedua militer ini.
AS
Memberi Bantuan Militer Filipina
Pada saat yang sama, Filipina
juga akan mendapatkan 42 juta USD untuk “Southeast Asia Maritime Security Initiative,”
yang baru didirikan, dalam rangka meningkatkan dalam berbagi intelijen,
pengintaian dan patroli maritim.
Dan menambahkan 79 juta USD untuk
bantuan militer tahunan, sehingga militer Filipina akan menerima 120 juta USD
bantuan militer untuk tahun ini. Menjadi bantuan militer terbesar sejak AS
kembali ke Filipian pada tahun 2000. Carter mengatakan bahwa bantuan ini akan
mendorong aliansi AS-Filipina ke “tingkat yang baru.”
Analis Tiongkok mengamati sikap
AS dari masa lalu terhadap masalah Laut Tiongkok Selatan selalu mau ikut campur
tangan, tapi tidak mau terlalu dalam dalam keterlibatannya. Tapi kini berubah dengan
sangat terlibat, dan tampil sangat menyolok untuk isu-isu Laut Tiongkok
Selatan. Hal ini bisa dilihat dengan tampilan kerjasama yang lebih mendalam
antara AS dan Filipina untuk isu tersebut.
Sebagai
imbalan dari bantuan AS untuk militer Filipina, patroli AS-Filipina di Laut
Tiongkok Selatan akan mejadi normal (sering dilakukan).
Selain itu, berdasarkan
perjanjian keamanan yang telah ditanda-tangani kedua negara ini, militer AS
akan menggunakan lima pangkalan militer yang terletak di beberapa daerah
berbeda di Filipina dengan garnisun yang dirotasi. Salah satunya di Pulau
Palawan yang dekat dengan Pulau Huangyan di Kepulauan Nansaha, Tiongkok yang
hanya berjarak 330 km.
Aston
Carter mengatakan, “Akan menjadi rutin kehadiran pasukan AS disini, di semua
lima situs EDCA (pangkalan militer), ditambah saya harus mengatakan tentu saja
kita juga membahas situs tambahan lainnya.”
Tampak situasi
ini layaknya setelah lebih dari 20 tahun sejak militer AS meninggalkan
Filipina, militer AS sekali lagi akan menggunakan pangkalan militer Filipana
untuk angkatan darat, laut dan udara.
Namun
dalam kenyataanya, kekuatan militer Filipina lemah dan banyak kesulitan, sehingga
yang bisa dilakukan adalah melakukan hal-hal seperti membuka pangkalan
militernya, dan menggunakan cara-cara lain untuk membawa AS masuk. Atau dengan
kata lain Filipina telah mengorbankan kedaulatan dan kemerdekaannya untuk
mendapat dukungan dari AS.
Analis melihat tindakan AS yang
mendukung Filipina ini, seakan menggunakan Filipina sebagai pion dan sebagai
pijakan, atau batu loncatan untuk memasuki Laut Tiongkok Selatan.
Tapi di Filipina opini publik
mengatakan bahwa hal itu seperti mengundang srigala ke rumah mereka. Kembali
pada tahun 1990an, Filipina mencoba untuk memaksa AS untuk meninggalkan
Filipina. Mereka berharap untuk menjaga
sendiri kedaulatan dan kemerdekaannya. Namun sekarang mengundang AS untuk masuk
kembali, sehingga mereka menganggap ini sekali lagi merugikan dan merusak
“kedaulatan dan kemerdekaan” Filipina. Bahkan ada suara-suara yang mengeritik
pemerintah yang makin dekat dengan AS ini sebagai kontra produktif.
Tampaknya presiden berikutnya
akan berniat coba menjaga jarak dengan AS untuk isu Laut Tiongkok Selatan.
Kini presiden terpilih Rodrigo
Duarte yang akan dilantik bulan Juni yang akan datang, untuk isu Laut Tiongkok
Selatan, dia mengatakan : “Jika saya menjadi presiden tidak akan melakukan
kunjungan kenegaraan dengan cuaca dingin. “
Pada 9 Mei 2016 lalu,
mengindikasikan tidak ortodok, ia mengatakan akan mencari pembicaraan
multilateral untuk menyelesaikan sengketa di Laut Tiongkok Selatan. Hal ini
pasti tidak akan di diterima oleh Tiongkok.
Tapi menurut tabloid “Global Times”
mengatakan bahwa Beijing tidak akan cukup naif untuk percaya bahwa presiden
baru akan membawa solusi untuk sengketa Laut Tiongkok Selatan. “Hanya waktu
yang akan memberitahu pemimpin baru, baik itu Duarte atau tidak, akan pergi ke
arah memulihkan hubungan bilateral.”
Seperti diketahui tindakan AS dalam
menghasut dalam konflik ini, jelas tidak bermanfaat bagi resolusi sengketa.
Tapi menurut
pengamatan, semakin banyak negara telah secara bertahap memahami sifat dasar
dari ekskalasi masalah Luat Tionkok Selatan, dan semua pihak berusaha membentuk
kesamaan untuk menuju penyelesaikan perbedaan.
Tidak lama setelah Menhan AS
Carter menaiki kapal induk dan berlayar melalui perairan Luat Tiongkok Selatan
yang dipersengketakan, pada 18 April 2016 lalu. Menlu Rusia, Sergey Lavrov, dan
Menlu India Sushma Swarajmet pada Pertemuan tahunan para Menlu yang ke-14 antara Tiongkok-Rusia
–India merilis “Komunike
Bersama” setelah pertemuan tersebut.
Sikap
Rusia Terhadap Masalah Laut Tiongkok Selatan
Tiongkok, Rusia, India berjanji
akan menjaga tantanan hukum maritim berdasarkan hukum internasional, dan
menyata mereka percaya semua perselisihan terkait harus diselesaikan oleh
pihak-pihak yang terlibat melalui negosiasi dan konsultasi.
Ada pengamat yang melihat dengan
tiga Menlu negara utama ini bertemu, dengan Rusia dan India secara terbuka
menyatakan mereka mendukung Tiongkok dalam masalah Laut Tiongkok Selatan, ini
menggambarkan bagaimana opini publik internasional tidak memnyembunyikan
kebenaran dari publik umum, tidak seperti AS dan Barat. Karena dalam kenyataan
negara-negara ini semua independen dan memiliki pendapat sendiri.
Pada 29 April 2016, Lavrov sekali
lagi dengan jelas menyatakan Rusia akan langsung terlibat dan mendukung dalam
penyelesaian damai kedaulatan dan sengketa maritim melalui konsultasi dan
negosiasi, dan menentang internasionalisasi masalah Laut Tiongkok Selatan.
Menurut analis sikap sangat jelas
Rusia ini berdasarkan dengan dua alasan penting. Salah satu alasan, Rusia percaya
bahwa provokasi AS di Laut Tiongkok Selatan tidak menguntungkan perdamaian dan
stabilitas di Laut Tiobngkok Selatan dan daerah sekitarnya, dan bahkan kawasan
Asia-Pasifik itu sendiri. Karena Rusia memiliki kekhawatiran besar terhadap AS
atas “Menyeimbangkan Kembali” Asia-Pasifik, terutama AS yang menggunakan krisis
Semenanjung Korea dijadikan alasan untuk mengelar Sistem Pertahanan Udara
THAAD.
Rusai juga percaya dengan
penggelaran Sistem THAAD akan merusak keamanan strategis Rusia dan daerah
sekitarnya.
Alasan kedua, Rusia telah
mengalami tekanan dari Barat, terutama setelah krisis Ukraina. Barat telah
menjatuhkan sanksi dan melakukan blokade putaran kedua terhadap Rusia.
Pada 12 April 2016, Menhan AS,
Ashton Cater mengunjungi India dalam pidatonya menyatakan : “Pada hari ini,
kami telah sepakat pada prinsipnya untuk berbagi dan melakukan pertukaran
logistik seperti yang dicatat dimana akan memungkinkan kita melakukan lebih
banyak lagi. Kita juga sudah sepakat
segera untuk menyimpulkan pelayaran komersial untuk membantu angkatan laut kami
dalam bekerja sama untuk membela negara kami dan mempromosikan dan melindungi
perdagangan global.”
Menhan India, Manohar Pasrikar
dalam pidatonya mengatakan : “Kerjasama pertahanan adalah pilar utama dari
hubungan multi-facet (beranek segi) India dengan AS. Sebuah kemitraan yang
lebih kuat antara AS-India akan dipromosikan untuk perdamaian, stabilitas dan
kemajuan di kawasan kita dan dunia.”
Untuk isu Laut Tiongkok Selatan,
AS selalu coba mencari dukungan dari India. Pada tahun 2014 PM India, Narendra
Modi mengunjungi AS dan setelah itu, dalam sebuah pernyataan bersama India-AS
telah disebutkan secara khusus untuk Laut Tiongkok Selatan.
Pada saat itu, analis percaya
bahwa sikap India mendukung solusi yang diusulkan AS untuk Laut Tiongkok
Selatan. Dan India pada prinsipnya setuju untuk menandatangani “Perjanjian
Dukungan Logistik”(LSA) dengan AS. Aksi tersebut diyakini oleh dunia luar berarti
India akan mengambil bagian dalam tindakan AS untuk menekan Tiongkok.
Namun apa yang diperkirakan
banyak pihak, setelah Carter meninggalkan India, Menhan India Manohar Parrikar
mengunjungi Tiongkok pada 16 April 2106, pada saat yang sama Menlu India Sushma
Swaraj mengunjungi Moskow dan bertemu dengan Menlu Tiongkok, Wang Yi pada 18
April 2016.
Setelah itu, Penasehat Keamanan
India Ajit Doval mengunjungi Beijing. Tapi yang menjadi perhatian besar dari AS
dari semua peristiwa ini adalah “Komunike Bersama” yang dikeluarkan oleh India,
Tiongkok dan Rusia pada 18 April 2016.
Analis melihat bahwa India jelas
bukan merupakan salah satu pihak dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan, India
adalah kekuatan utama yang berada di luar isu Laut Tiongkok Selatan, namun
sampai batas tertentu, India telah menyesuaikan kebijakan untuk Laut Tiongkok
Selatan tersebut.
Carter mengunjungi India berharap
India mau mengintervensi untuk urusan Laut Tiongkok Selatan, tapi India
sebenarnya telah memikirkan banyak tentang ini. Karena dengan menentang
Tiongkok untuk masalah Laut Tiongkok Selatan akan merugikan kepentingan
Tiongkok adalah tidak bermanfaat bagi pembangunan untuk dirinya sendiri. Untuk
masalah ini India akan lebih mempertimbangkan keuntungan untuk dirinya sendiri.
Pada kenyataan, India selalu
mempertahankan kewaspadaan yang cukup tinggi dan menjaga jarak tertentu dalam
hubungannya dengan AS.
Pada 10 Pebruari 2016, Reuters
Inggris mengungkapkan dari seorang pejabat Departemen Pertahanan AS yang ingin
tetap anonim mengatakan, AS dan India telah mengadakan pertemuan dan
kemungkinan dua negara ini akan melakukan patroli angkatan laut bersama di Laut
Tiongkok Selatan. Kedua negara ini telah membahas patroli dan operasi bersama
yang dapat dimulai tahun ini.
Tapi, satu minggu kemudian pada
17 Pebruari 2016, Kemenlu India mengatakan, bahwa mereka tidak akan mengambil
bagian dalam patroli bersama di Laut Tiongkok Selatan dengan AS. Dalam hal ini
keomentator militer India mengemukakan: “India tidak akan menjadi subordinasi
dan bawahan yang hanya mengejar untuk kepentingan AS. Hal itu harus dilakukan
untuk membangun hubungan dengan semua negara untuk menyeimbangkan kekuatan
Asia.”
Sekarang, India telah sekali lagi
secara terbuka menyatakan sikap mendukung Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.
Analis percaya alasan penting ini karena India berharap dapat mempertahankan
sifat yang santai untuk Tiongkok maupun AS.
Untuk masalah Laut Tiongkok
Selatan, India ingin mempertahankan sikap yang cukup terpisah atau netral. Dan
barang tentu sikap ini sangat disambut oleh Tiongkok, karena pertama-tama,
India sebagai negara dan bangsa utama, strategi luar negeri India merupakan
salah satu dari otonomi strategis. Dengan kata lain, itu menekankan kemandirian
dan otonomi. Dalam hal ini tidak akan bergantung pada negara utama, terutama
negara seperti AS. Hal ini sangat penting sepanjang menyangkut kepentingan
strategisnya.
Yang kedua, yang telah dilakukan
secara terbuka menyatakan India mendukung sikap Tiongkok untuk isu-isu Laut
Tiongkok Selatan. Jadi India mempunyai perhitungan, pertimbangan dan
pertimbangannya sendiri. Karena secara hipotesis, jika India mengambil bagian
dalam patroli di Laut Tioongkok Selatan, itu akan menjadi pisau bermata dua
untuk India, karena India perduli banyak dengan kegiatan negara-negara lain di
Samudra Hindia.
Salah satu contoh, apabila India
melakukan patroli untuk kebebasan navigasi di Laut Tiongkok Sxelatan dengan AS,
di kemudian hari, bisa saja negara-negara lainnya juga akan ke Samudra Hindia
dan menggunakan alasan yang sama ‘kebebasan nevigasi’ untuk lakukan navigasi
atau patroli di Laut India, jika ini terjadi apa yang bisa India lakukan?
Jadi pertimbangan kekuatan
politik dan suara yang gigih di India yang menentang pemerintah yang datang
dari para pejabat India, maka bersanding dengan AS untuk hal ini sama sekali
tidak menguntungkan bagi India.
Beberapa analis percaya interaksi
India baru-baru ini dengan tingkat tinggi Tiongkok menunjukkan bahwa India
tidak akan menjadi garda depan AS untuk masuk Asia-Pasifik untuk menekan
Tiongkok. Meskipun India ada persaingan dengan Tiongkok, selama ini kebijakan luar
negeri India adalah independen, bebas dan otonom, maka India memutus untuk
tidak akan berpihak pada AS.
Signh, seorang professor dari
Universitas Jawaharalal Nehru untuk India School of International Studies,
mengatakan, Tiongkok dan India melihat perkembangan ekonomi sebagai tujuan
utama mereka, perang tradisional bukanlah sesuatu yang menjadi salah satu
pilihan mereka..
Nilai-nilai hubungan
India-Tiongkok sekarang, terutama karena pemerintahan Modi dimulai dengan
menekankan kerjasama antara Tiongkok dan India,
sejauh untuk hubungan ekonomi dan perdagangan, India telah melakukan
sikap yang sangat prakmatis, merdeka, tidak ingin isu-isu lain mengganggu dan
mempengaruhi hubungan antara India dan Tiongkok. Dalam hal ini bisa dibaca di
tulisan penulis : Kunjungan PM India Narendra Modi Ke Tiongkok Menjadi
Perhatian Dunia (1) http://www.kompasiana.com/makenyok/kunjungan-pm-india-narendra-modi-ke-tiongkok-menjadi-perhatian-dunia-1_55710414307a616f02532c13
Makin eratnya hubungan Indonesia-Tiongkok juga ditunjukkan kedua pihak pada forum internasional, semisal dalam penetapan Declaration of Conduct of Parties in The South China Sea (DoC) pada 2002, termasuk dalam "Guidelines for The Implementation of DoC" pada 2011.
No comments:
Post a Comment