Sepak Terjang AS Untuk “Menyeimbangkan” Kembali Asia-Pasifik
Sudah dalam waktu lama, kawasan Asia-Pasifik
telah sangat penting dalam strategi global AS. Militer AS mempercepat laju
penyebarannya di Asia-Pasifik, dengan mengerahkan militernya menggeser ke arah
timur.
Strategi tata letak baru AS di Asia-Pasifik
telah mengalami transisi dari tahap aslinya “kembali ke kawasan Asia-Paifik” ke tahap “Membentuk kawasan Asia-Pasifik.”
Dalam beberapa tahun terakhir ini, tampaknya
aksi militer AS semakin memusuhi Tiongkok di Asia Timur Laut dan Laut Tiongkok
Selatan, hal ini mudah bisa terlihat AS terus mempromosikan strategi “Menyeimbangkan Kembali Asia-Pasifik,” dengan ingin memperoleh kekuasaan sebagai
pemimpin yang dapat mengendalikan urusan Asia-Pasifik.
Sepak terjangnya dapat dilihat dengan
diadakannya serangkaian latihan militer bersama dengan beberapa sekutunya di
kawasan ini. Pada 7 Maret 2016, melakukan latihan militer bersama berskala
besar dengan Korea Selatan yang berkodekan “Key Resolve” (Kunci Penyelesaian) dan “Foal Eagle” (Rajawali) yang secara resmi diadakan untuk
seluruh Korsel. Ini merupakan latihan militer bersama skala besar antara AS dan
Korsel yang diselenggarakan di Semenanjung Korea.
15 ribu tentara AS dan lebih dari 300 ribu
tentara Korsel mengambil bagian dalam latihan militer ini, dengan jumlah total
keseluruhannya yang ikut peran serta menjadi 650 ribu orang dari pihak Korsel.
Melibatkan kapal induk bertenaga nuklir, kapal selam bertenaga nuklir, dan korp
marinir AS yang tergabung secara penuh, dan yang lebih berbahaya melakukan
latihan yang seolah-olah AS dan Korsel menerobos melakukan serangan “mengambil alih”
ibukota Korut “Pyongyang” dan menyingkirkan kepala negara Korut.
Republik Demokratik Rakyat Korea (Korut) menanggapi
dengan melakukan “perlawanan”, Panglima Tertinggi Korut memerintahkan
militer Korut untuk mempersiapkan rudal nuklir untuk setiap waktu diluncurkan.
Kim Hung-hyun panglima gabungan angkatan
bersenjata Korsel mengatakan, latihan militer bersama “Key resolve” dan “Foal Eagle” tahunan itu akan menjadi yang terbesar dalam
sejarah, dengan melibatkan peralatan militer canggih. Selain itu sumber daya
strategis AS juga dikerahkan ke Semenanjung Korea.
Setelah Korut melakukan uji coba nuklir yang
ke-4, AS segera mengirim pesawat pembom strategis yang mampu membawa bom nuklir
B-52 ke Semenanjung Korea, lebih satu bulan kemudian mengirim kapal selam dan
kapal induk bertenaga nuklir dan bersenjata “nuklir”.
Anthony H. Cordesman, seorang ahli dari CSIS
(AS) mengatakan, upaya Korea Utara untuk
memiliki senjata nuklir, dan mengancam akan
menggunakannya, melakukan uji coba rudal, yang melewati wilayah negara-negara
Asia yang telah dilakukan pada masa-masa lalu. Hal ini jelas tidak akan diabaikan
oleh AS atau Korsel atas tindakan Korut tersebut. Maka tidak saja AS-Korsel
melakukan laithan militer bersama secara besar-besaran, mereka juga secara aktif
mempromosikan mengerahan sistim pertahanan rudal THAAD di Korsel.
THAAD sistem pertahanan rudal kependekkan
dari “Terminal High Attitude
Area Defense” dijuluki “Perisai Super”(Super Aegis) di altitude tinggi, merupakan
komponen penting dari rencana pertahanan rudal AS. Yang secara aktif dapat
mencegat rudal jarak menengah yang meluncur keluar angkasa, dengan melakukan intersepsi
di ketinggian 40 hingga 150 km.
Menurut media Korsel, sistem ini dilengkapi
dengan radar X-band, dan bisa dengan cepat mendeteksi rudal balistik yang baru
diluncurkan dari jarak jauh. Jangkauan deteksinya bisa mencapai lebih 1.000
km, yang berarti tidak hanya dapat mendeteksi seluruh rudal Korut, juga bisa
mendeteksi rudal di Beijing Tiongkok dan wilayah timur laut dan timur jauh
Rusia.
Media Korsel menyatakan jika THAAD dikerahkan
di Korsel, itu akan menjadi sistem pertahanan anti-rudal penting.
Sistem radar ini dapat melihat jauh beberapa
ribu km sehingga mencakup jauh dari daratan Tiongkok. Sistem ini masih belum
dikerahkan di Jepang, tapi jika dikerahkan di Korsel, mungkin bisa membuat
kegiatan militer Tiongkok di pusat timur Tiongkok dari Wuhan menjadi
transparen.
Maka dari itu jelas sangat tidak
menguntungkan bagi Tiongkok, jadi tidak heran Tiongkok sangat menentang dengan
penempatkan THAAD di Korsel.
Selain itu, karena jangkauan rudal dari
sistem ini akan mencakup jauh melebihi kebutuhan pertahanan dari Semenanjung
Korea, yang akan membentang hingga ke jantung wilyah Asia, yang dengan
sendirinya merusak kepentingan strategi keamanan Tiongkok dan Rusia, jadi itu
yang menjadi subyek keraguan luas bagi masyarakat internasional.
Hong Lie juru bicara Kementerian Luar Negeri
Tiongkok berulang kali menyatakan negaranya menentang keras negara manapun
untuk menggunakan isu nuklir Semenanjung Korea dengan menyerang hak hukum dan
kepentingan Tiongkok.
Pada 12 Pebruari 2016, Menteri Luar Negeri
Tiongkok Wang Yi selama wawancara khusus di Munich, Jerman, Tiongkok dengan
tegas menentang THAAD digunakan dan dikerahkan (di-deploy) di Korel, dan AS
harus bertindak hati-hati.
Dengan mengutip pepatah Tiongkok kuno yang
mengatakan : “Xiang Zhuang
melakukan pertunjukkan pedang untuk mengelabuhi percobaan pembunuhan terhadap
Liu Bang.”(项庄舞剑, 意在沛公) Jadi menjadi pertanyaan besar kami
(Tiongkok) untuk siapa penyebaran sistem pertahanan rudal THAAD AS ini
ditujukan.
(项庄舞剑 意在沛公: cerita klasik sejarah Tiongkok kuno pada
208 SM, ketika Xiang Zhuang melakukan tarian pedang menutupi usahanya untuk
membunuh Liu Bang, yang bertindak dengan motif tersembunyi.)
Wang Yi selanjutnya mengatakan, AS harus
membuat jelas niatnya. Tapi saya dapat memberitahu Anda dengan sangat terang,
bahwa kita (Tiongkok) tidak perlu ahli untuk menilai ini, masyarakat umumpun
tahu jika sistem THAAD dikerahkan, itu dengan pasti tidak akan dilakukan hanya
untuk pertahanan Korsel, tetapi untuk tujuan obyektif yang lebih besar, dan
bahkan mungkin diarahkan pada Tiongkok. Dan ini sangat gamblang bagi semua
orang.
Para analis “plot” pertahanan rudal di Asia-Pasifik AS ini
tampaknya sudah mrrencanakan untuk waktu yang sudah lama. Dari tahun 1993, ketika
mereka secara resmi mengusulkan ““Theater Missile
Defense Plan” untuk saat
ini, AS telah meletakkan tiga pola garis pertahanan rudal yang disinkronkan
dengan penempatan pasukan militer di Asia-Pasifik.
Garis pertama pada lingkaran dalam dan
sekitar Jepang, garis kedua di Alaska dan Pearl Harbor, Hawaii, dan garis
ketiga di sepanjang barat AS. Sistem pertahanan rudal AS di Asia-Pasifik
terutama terdiri dari tiga “sub-sistem.”
Yang pertama, sistem intersepsi, terutama
mencakup sistem berbasis darat pada intersepsi jarak mengengah, sistem Aegis,
dan sistem THAAD. Sistem berbasis laut termasuk kapal perusak serie Aegis “Standard” dengan serangkaian rudal anti-udara, rudal
darat-intersepsi jarak menengah, THAAD, dan rudal Patriot-3 sebagai kekuatan
(workhorses) utama.
Yang kedua, peringatan dini dan sistem
deteksi awal, yang jangkauannya dengan sistem rudal satelit peringatan dini,
dengan beberapa jenis sistem radar dan berbagai sensor.
Dan THAAD, suatu intersepsi subsistem, yang
dengan cepat akan dikerahkan ke Korsel, dengan alasan adanya peningkatan
ketegangan tentang masalah nuklir di Semananjung Korea.
Para analis percaya jika sistem THAAD ditempatkan
di Korsel, AS akan memiliki pertahanan rudal yang sangat komplit di kawasan
timur laut Asia, yaitu dengan dengan “Patriot” sebagai sistem pertahanan menengah atau
ketinggian rendah, dan THAAD untuk terminal pertahanan rudal altitude tinggi,
dan sistem “Aegis” untuk intersepsi jarak menegah berbasis laut.
Dengan sistem pencegatan rudal jarak menengah
yang dikerahkan di AS, maka sistem petahanan rudal multi-rentang (multi-range)
AS telah terbangun pertahanannya di Asia-Pasifik menjadi lebih ketat. Maka
pengerahan THAAD selalu menjadi salah satu impian dan keinginan AS. Tapi kini
tampaknya menjadi lebih realistik dari sebelumnya.
Para analis melihat jika benar sistem THAAD
jadi dikerahkan, itu akan tidak baik bagi perdamaian di Asia Timur Laut, karena
apa yang terjadi sejauh ini jelas Rusia dan Tiongkok telah gigih menentangnya.
Karena mereka percaya pengerahan THAAD ke kawasan ini tidak terkait dengan
ancaman rudal DPRK atau Korut untuk Korsel. Sebagian rudal Korut adalah rudal
jarak pendek dan terbang pada ketinggian rendah. Kepemilikkan rudal mereka juga
tidak banyak dan rudal mereka tergolong rudal jarak menengah dan terbangnya
tidak tinggi.
Sedang sistem pertahanan rudal THAAD adalah
untuk rudal yang lebih dari 3.500 km. Dan Korut tidak menyerang Korsel dengan
rudal semacam itu, jika 3.500 km berarti sudah melewatinya.
Jadi menurut kenyataan THAAD dipandang para
analis tidak memiliki kebutuhan pertahanan yang wajar. Dan merupakan kebutuhan
yang berlebihan dan tidak masuk akal, pasti ada rencana lain dibalik itu.
Mereka berpandangan AS akan megerahkan THAAD untuk mempertahankan terhadap
ancaman rudal dari Rusia dan Tiongkok, dengan menggunakan pertahanan rudal ini
untuk menurunkan daya ampuh rudal Rusia dan Tiongkok jika terjadi perang. Jadi
hal ini dianggap menjadi ancaman besar bagi mereka.
Opini publik percaya bahwa AS akan
menggunakan alasan menekan Korut untuk mempercepat pengerahannya di kawasan
Asia-Pasifik, dan ini akan memperumit situasi keamananan di kawasan tersebut.
Banyak yang mengira dengan tindakan-tindakan
militer AS di Semenanjung Korea tidak bisa tidak membuat orang berpikir dari
ekspansi yang dipimpin AS ke arah timur dari NATO.
Pada tahun 1991, ketika Uni Soviet bubar,
banyak negara NATO yang mengusulkan pada satu pertemuan di London satu wacana “Dengan perjanjian Warsawa berakhir, apakah
NATO masih perlu ada?”
Namun atas petunjuk AS menegaskan bahwa NATO
tidak akan dibubarkan, dan akan menjadi satu organisasi militer murni dan organisasi
keamanan untuk Barat, yang juga mulai menerapkan Program “Kemitraan Untuk Perdamaian.”
Setelah itu, AS sepenuhnya me-reformasi
pertahanan militer dan pertahanan nasional Eropa Timur, dan
mempersilahkan/membimbing negara-negara Eropa Timur untuk bergabung dengan NATO
dan Uni Eropa, dengan mereka terus berkembang ke arah timur.
Selain itu, AS juga mengerahkan sistem
pertahanan rudal balistik di Eropa. Ketika pasukan AS mendekati ambang pintu
Rusia di Ukraina, Vladimir Putin tidak bisa tinggal diam terus menonton, dia dengan tegas mengirim pasukan
untuk merebut kembali Crimea.
Dengan tindakan Putin ini, Rusia sementara
dapat menekan laju ekspansi NATO ke timur, dan menjadikan hubungan Rusia dengan
negara-negara Eropa juga menjadi buruk kerena peristiwa ini, dan ekonomi
nasional terus menurun sementara keamanan lingkungan sekitarnya juga mengalami
pukulan yang besar.
Pada kenyataannya, niat strategis AS di
Semenanjung Korea tampaknya akan menjadi patrun (potongan kain) yang sama dengan
ekspansi NATO ke timur. Hal ini merupakan niat AS untuk memperburuk dan
meningkatkan ketegangan di kawasan tersebut. Sehingga bisa mempunyai alasan AS
untuk mempercepat pengerahan pasukannya di Asia-Pasifik untuk menciptakan
sebuah “NATO Asia versi
baru”.
Memang ketika AS menciptakan sebuah sistem
aliansi di Eropa, sebenarnya sudah terpikir untuk menciptakan satu sistem yang
mirip dengan NATO di kawasan Asia-Pasifik, dan sudah coba berupaya dengan keras
di Asia Tenggara. Misalnya pernah mencoba membentuk SEATO (Southeast Asia
Treaty Organization) tapi tidak berhasil.
Strategi AS
kembali Ke Asia-Pasifik
Pada 10 Maret 2016, Komando Strategis AS
(USSTRATCOM) merilis informasi yang menyatakan AS sudah mengirim tiga B-2s pembom
siluman ke Diego Gracia, ke sebuah pulau pangkalan AS di Samudra Hindia.
Terbitan
AS “Air Force Times” merilis sebuah artikel pada 9 Maret yang
mengatakan mobilisasi B-2s terkait dengan situasi di Laut Tiongkok Selatan.
Dari sini analis melihat jika situasi di
Semenanjung Korea dan Laut Tiongkok Selatan dikaitan seperti ini, mudah
terlihat bahwa di satu sisi AS mengingatkan dunia bahwa AS masih tetap
merupakan kekuatan militer dunia, dan di sisi lain ingin menyampaikan pesan
bahwa AS tidak takut dengan Tiongkok, dan terlihat “buru-buru ikut dalam kobaran api” untuk membantu sekutunya. Dan semua ini
sebenarnya AS terus memperdalam dan mengisi strateginya untuk “menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik.”
Jadi pengerahan THAAD di Korsel tidak membantu
meringankan situasi di Asia Timur Laut, sebaliknya itu benar-benar akan
membangkitkan dan merusak strategis kemitraan yang telah muncul antara Tiongkok
dan Korsel.
Pada saat yang sama, itu akan menyebabkan
ketegangan regional antara negara-negara yang terlibat dalam isu Laut Tiongkok
Selatan, jika terjadi demikian maka yang akan paling dikorbankan adalah
negara-negara dan rakyat yang berada di kawasan tersebut.
Semua ini berasal dari sepak terjang AS untuk
“menyeimbangkan
kembali Asia-Pasifik.” AS juga menggunakan strategi ini untuk mempertahankan
kehadiran militernya yang paling kuat di kawasan Asia-Pasifik.
Bagi AS “Menyeimbangkan” hanyalah sebuah rencana strategis AS yang
dimilikinya untuk Asia-Pasifik, tapi apa efek dari keamanan dan stabilitas
kawasan masa depan dari strategi AS untuk “menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik”?
Upaya Obama
Untuk Masuk Asia-Fasifik
Pada saat Barack Obama duduk mejadi presiden
ke-44 AS pada 4 Nopember 2008, segera dia menghadapi masalah sulit. Karena
strategi kontraterorisme selama pemerintahan George W. Bush sangat berlebihan
dan dengan adanya tekanan depresi ekonomi yang meningkat sejak 2008, selama
tahun pertama Obama menjabat, aksi pertama Obama terutama unutk menyesuaikan
strategi diplomatik AS, yang melibatkan bagaimana untuk menghidupkan kembali
ekonomi dan bagaimana untuk menarik pasukannya dari dua pertempuran “perang melawan teror” di Afganistan dan Irak.
Pada bulan Juli 2009, mantan Menlu AS,
Hillary Clinton pernah mengumumkan di panggung Forum Regional ASEAN (ARF)
dengan lantang menyatakan “Kami kembali/We
are back!” dan juga
menandatangani “Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama di Asia
Tenggara”(Treaty of
Amity and Cooperation in the Southeast Asia,) menandai pejabat AS siap “kembali ke Asia.”
Segera setelah itu, pada 14 Nopember 2009,
Presiden Barack Obama yang sedang mengunjungi Jepang, memberi pidato di
Tokyo mengenai kebijakan pemerintah AS
untuk Asia mengatakan “ AS juga negara
Pasifik dan kita sangat erat terhubung di laut ini.” Dengan mengumumkan AS akan memperkuat
hubungannya dengan negara-negara Asia dan akan memainkan peran utama.
Analis ada yang melihat dengan PDB Tiongkok
melampaui Jepang pada 2010 yang dikonfirmasi oleh IMF dan World Bank, maka
Tiongkok dinyatakan menjadi kedua tertinggi di dunia. Dengan keadaan ini elite
AS menjadi nervous, karena sejak 1968 Jepang selalu nomor dua. Tapi AS tidak
khawatir dengan Jepang, namun setelah Tiongkok menggantikan Jepang, itu dianggap
suatu peringatan bagi AS, dan sejak tahun itu index-index lain telah terjadi.
Sebagian besar populasi umum tidak
memperhatikan demkian juga media, namun kaum strategis sangat memperhatikan,
yaitu ketika total agregat industri manufaktur Tiongkok melampaui AS dan
menjadi nomor satu di dunia.
Pada tahun 2010, Tiongkok juga menghasilkan
daya saing yang melebihi AS. Hal ini sesuatu yang sebelumnya tidak pernah
dialami AS atas tiga pesaingnya untuk masa lalu. Seperti kita ketahui pada abad
ke-20, AS memiliki tiga pesaing : Jerman, Uni Soviet dan Jepang.
Pada saat-saat di masa kondisi paling tinggi
mereka, industri manufaktur mereka hanya bisa mencapai 70% dari AS dan mereka
tidak pernah mengalami peningkatan lebih tinggi dari AS. Dan seperti kita
mengetahui peradaban modern sekarang disebut peradaban industri manufaktur.
Jika kita memiliki industri manufaktur yang
kuat dan kekuatan militer pada tingkat tertentu, maka kita diakui memiliki
daya saing untuk memimpin dunia. Jadi dalam hal ini dengan menggabungkan
PDB yang tertinggi kedua di dunia, dan
salah satu agregat total industri manufaktur yang tertinggi di dunia, hal itu
yang menyebabkan elite AS menjadi nervous di tahun 2010. Karena itu mereka
membuat macam-macam respon.
Pada bulan Nopember 2011, Presiden Barack Obama mengatakan dalam pidatonya di
Parlemen Australia, bahwa AS akan mengalihkan poros militernya dari Timur
Tengah ke Asia, dan mengatur perluasan militer di kawasan Asia-Pasifik sebagai “agenda perioritas tertinggi.”
Selama ARF (Asian Region Forum) tahunan di
Hanoi, Vietnam, Hillary Clinton Menlu AS saat itu, telah menyebutkan strategi
terkenal untuk kembali ke Asia. Dan ini merupakan asal dari strategi yang
dilontarkan itu. Dan setelah benar-benar strategi ini digulirkan di AS terjadi
polemik dan menuduhnya sebagai kontroversi, karena itu ex. pemerintahan Bush
sebelumnya sangat marah. Mereka merasa strategi untuk “kembali ke Asia” adalah indikasi bahwa pemerintahan Bush
meninggalkan Asia, sehinggga mereka menjadi sangat marah.
Pengamat menilai bahwa pemerintah AS telah membawa kebijakan luar negeri
ke dalam kebijakan dalam negeri, dan menganggap itu tidak baik. Karena ketika mereka
datang kembali menggunakan istilah lain yang berbeda, yaitu dengan ide seperti yang
dilontarkan Hillary Clinton, Kurt Cambell yang merupakan “poros.” Mereka menyebutnya sebagai fokus poros
strategi global AS, poros dari Eropa ke Asia, dari Samudra Atlantik ke Samudra
Pasifik.
Setelah strategi ini digulirkan dan menjadi
isu besar, memancing perlawanan dari sekutu Eropa, Eropa mengatakan “Kita sudah ikut Anda selama 70 tahun, dan
sekarang Anda akan meninggalkan kita?” karena Eropa menganggap AS adalah sekutu
sejati. Dan AS merasa itu sepertinya agak pasif, dan ada sedikit masalah dengan
strateginya, sehingga setelah itu istilah ketiga untuk itu diganti dengan “menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik” dan yang digunakan hingga kini.
Pada bulan Juni 2012, Menhan AS (saat itu) Leon
Panetta memaparkan “strategi untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik” di Shangri-La Dialogue di Singapura, dan
mengusulkan sebelum 2020, AL-AS akan mengubah distribusinya yang tadinya
masing-masing 50% kapal perang di Atlantik dan di Pasifik, akan menjadi 60% di
Pasifik dan 40% di Atlantik.
Anthony H Cordeman seorang ahli dari CSIS-AS mengatakan "Ini berarti AL-AS akan mengerahkan mayoritas dari kapal penjelejah, kapal perusak, kapal selam dan LCSs ke Samudra Pasifik. Saya pikir yang perlu dilihat latar belakang sejarahnya. Pada 2012, AS kembali memeriksa kebijakan kekuatan global. Pada saat itu di Timteng masih tidak memiliki masalah dengan yang diciptakan Rusia di Ukraina, jadi karena itu diperlukan AS untuk mengerahkan kekuatan lebih ke Pasifik.
Setelah strategi Asia-Pasifik pemerintahan
Obama strategi ini telah mengalami penyesuaian dengan menyebutkan “kembali ke Asia-Pasifik,” dan kemudian “poros strategis untuk Asia-Pasifik” dan akhirnya menetapkan sebuah “strategi untuk menyeimbangkan kembali
Asia-Pasifik.”
Ada analis yang percaya perubahan istilah ini
diakui untuk menghindari kontroversi yang dapat memberikan kesan rencana untuk
menekan Tiongkok, tapi dibandingkan dengan istilah sebelumnya “menyeimbangkan kembali/rebalancing” bisa lebih baik menggambarkan situasi
hubungan internasional di Asia-Pasifik, serta niat strategi AS di kawasan ini.
Strategi untuk menyeimbangkan kembali
Asia-pasifik, sejauh ini inti tujuannya ingin memastikan posisi penting AS di
kawasan Asia-Pasifik, terutama untuk menghadapi kebangkitan Tiongkok, namun
tidak hanya berurusan dengan kebangkitan Tiongkok saja, di mata AS juga melihat
blok geografis yang luas di Asia, Samudra Hindia. Tiongkok juga adalah negara yang realistik
merupakan ancaman besar untuk itu, karena kebangkitan Tiongkok adalah tercepat
dan yang paling kuat.
Jadi dalam hal ini hanya ada satu hal bagi AS
untuk dapat dilakukan, yaitu memperkuat kehadirannya diseluruh kawasan ini,
dari Samudra Pasifik hingga ke daerah-daerah pedalaman Asia. Setelah memperkuat
pasukannya di kawasan ini, pada tahun 2020 atau 2025, begitu merasa sudah kuat
pasukannya, maka akan yakin bahwa itu dapat menggunakan kekuatan-kekuatan yang
sama untuk menghadapi kebangkitan Tiongkok.
Dalam hal ini juga akan bisa digunakan untuk
membendung Jepang, dan juga menekan
India. Jadi sebenarnya memiliki posisi sebagai pengendali regional.
Pertimbangan ini dilakukan untuk memastikan bahwa hal itu dapat mendukung
bidang yang lebih luas dari visi global di kawasan ini.
Namun, strategi untuk “menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik” tidak selalu searah dengan strategi yang
diinginkan AS.
Setelah Perang Dingin berakhitr, secara
ekonomi AS tidak secara aktif mendorong pembentukan regioanilisme yang mirip
dengan integrasi Eropa. Sejauh untuk urusan keamanan juga tidak membuat seperti
itu dengan pembentukan NATO.
Sebaliknya, AS menciptakan dua pilar jaringan
aliansi bilateral yang berpusat di Washington, perekonomian dan keamanan dibuat
jaringan yang sangat bergantung pada AS, jaringan ini termasuk Jepang. Korsel,
Thailand, Australia, Selandia Baru, dan Taiwan.
Namun, sejak akhir 1970an, jaringan ini telah
mengalami perubahan besar. Secara militer, dengan dimulainya hubungan
diplomatik antara Tiongkok dan AS tahun 1979, dan ditarik mundurnya pasukan AS
dari Taiwan, maka aliansi AS dan Taiwan berakhir.
Pada tahun 1980an dikarenakan ketidak
setujuan Selandia Baru atas isu kapal Selam nuklir AS memasuki wilayahnya, maka
persekutuan AS- Selandia Baru boleh bilang mati.
Selama awal 1990an, dengan munculnya sentimen
nasionalis di Filipina, Kongres Filipina meloloskan resolusi untuk menolak
terus menempatkan pasukan AS di pangkalan Subic. Sementara Thailand juga menolak
untuk mengizinkan AS menggelar pasukan dan memiliki pangkalan militer di
Thailand setelah masalah Kamboja selesai.
Dalam bidang ekonomi, selain Filipina yang di
masa lalu merupakan sekutu AS dan mitra dagang terbesarnya, kini telah berubah
dan digantikan dengan Tiongkok. Sehingga Pilar ekonomi dan jaringan aliansi
bilateral AS sudah goyah.
Pada thaun 2001, setelah George W. Bush
terpilih sebagai presiden AS, dia segera mengusulkan dengan melihat Tiongkok
sebagai pesaing strategis, dan secara terbuka mengatakan bahwa AS akan
melindungi Taiwan tidak peduli berapapun biayanya.
Pada 1 April 2001, terjadi insiden tabrakan
udara antara pesawat Tiongkok dan AS, Bush mengancam bahwa AS akan menggandakan
jumlah kapal induk bersenjata nuklir untuk ditujukan ke Tiongkok.
Jadi sebenarnya, AS dalam mengusulkan untuk
menekan dan mencegah Tiongkok, telah dilakukan sebelum strategi untuk
menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik dirumuskan, kebijakan AS di Asia-Pasifik
pada dasarnya terdiri dari dua bagian.
Salah satu bagian adalah akan mengerahkan
pasukan di garis depan melalui aliansi
keamanan, dan semacam hubungan seperti dengan Korsel, Jepang dan Filipina.
Mereka menginginkan kehadiran militer dengan dikerahkan ke garis depan.
Bagian penting lainnya adalah hubungan dengan
Tiongkok. Meskipun telah dilakukan penyesuaian berkali-kali di tahun-tahun
sejak dilakukan hubungan diplomatik dengan Tiongkok, tapi pada dasarnya
kebijakannya tetap sama, hal yang sama digunakan dengan satu pihak tetap
menjaga kontak dengan Tiongkok, sementara juga melakukan penekanan juga. Kedua
monuver ini digunakan bersama-sama.
Beberapa ahli percaya bahwa ini merupakan
hasil dari penyesuai terus AS dan eksalasi atas kebijakan AS terhadap Tiongkok.
Sebelum AS melancarkan strategi untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik, Asia
telah secara alami membentuk model pembangunan ekonomi yang didorong oleh perkembangan
pembangunan Tiongkok.
Pertukaran ekonomi antara Tiongkok dan
negara-negara tetangganya di Asia telah tumbuh menjadi lebih dekat, dan ekonomi
Asia mengambil pola pembangunan yang
proposional dari perkembangan Tiongkok. Negara-negara Asia mempertahankan
hubungan pola perkembangan yang relatif seimbang dan damai di antara mereka.
Para analis mengkhawatirkan jika AS
menerapkan strategi untuk menyeimbangkan Asia-Pasifik, pola pembangunan yang
relatif seimbang dan damai di Asia akan terganggu dalam waktu singkat.
Pengamat melihat awalnya hal itu bukan
dipusatkan di sekitar Tiongkok, di masa lalu itu dipusatkan di sekitar AS
sendiri. Di masa lalu AS masih percaya berada di posisi terdepan di kawasan ini
yang masih sangat stabil dan itu masih berpusat di sekitar AS.
Kala itu AS masih meremehkan memandang rendah
Tiongkok. Karena seringkali AS menyatakan “engaging China”(keterlibatan Tiongkok) yang merupakan
kebijakan dalam kontak dengan Tiongkok. AS berpikir bahwa pengaruhnya sangat
kuat, dan bekerjasama dengan Tiongkok itu hanya disebutkan melibatkan Tiongkok,
dengan anggapan bisa memperkenalkan siistemnya kepada Tiongkok. Tapi kini
keadaanya berbeda.
Tapi AS sekarang lain lagi, berpusat di
sekitar Tiongkok, membangun hubungan sekutu untuk menghadapi Tiongkok dan usaha
untuk mengerahkan kekuatannya untuk menghadapi Tiongkok yang juga berarti
melawan Tiongkok.
Upaya AS Dalam
Masa Jabatan Obama Kedua
Setelah Obama memulai masa jabatan yang
kedua, strategi “menyeimbangkan
kembali Asia-Pasifik” secara
diam-diam terus meningkat.
Pada 10 April 2015, di McCain Institute di
Arizona State University, Ashton Carter yang baru diangkat sebagai Menhan AS,
dalam pidatonya mengenai strategi untuk “menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik” memperkenalkan fase baru dalam strategi ini,
yang termasuk pergelaran senjata “kelas tinggi, presisi, dan canggih” , memperkuat aliansi, dan mengembangkan
kemitraan, serta mempromosikan “Trans-Pacific
Trade Partnership (TPP).”
Analis melihat bahwa Obama ingin meninggalkan warisan
diplomatik, dan Ashton Carter ingin tampil ambisius pada saat Obama habis masa
jabatannya. Dengan AS mengumumkan strategi “menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik” telah memasuki fase baru yang akan jauh
lebih mudah daripada menyelesaikan masalah diplomatik lainnya, dan terlihat
lebih baik juga.
Tapi sebenarnya isitlah apapun yang akan
digunakan apakah untuk kembali ke Asia atau menyeimbangkan kembali Asia–Pasifik alamnya tetap sama. Sekarang AS
percaya Tiongkok akan menjadi penantang utama untuk memimpin didepan di masa
akan datang, karena itu AS menggeser fokus strategis globalnya ke daerah
sekitar Tiongkok.
Dengan menarik kembali kekuatannya dari
Eropa, Afrika, Timur Tengah, dan bekas wilayah Uni Soviet, dan sedang
mempersiapkan beberapa hal meng-fokuskan sumber daya di wilayah sekitar
Tiongkok.
Pengamat melihat AS dengan menarik kembali
dari seluruh dunia dan memfokuskan sumber dayanya di Asia-Pasifik, itu yang
menjadi konten dari strategi untuk menyeimbangkan Asia-Pasifik untuk menghadapi
Tiongkok.
Kalau dilihat dari konsepsi mantan Menlu AS,
Hillary Clinton “kembali ke
Asia-Pasifik” pada tahun
2009, dengan “poros ke Asia” strategi yang diresmikan Obama tahun 2011,
dan keterangan mantan Menhan AS, Panetta dengan strategi untuk “menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik” pada tahun 2012, kemudian dengan fase
barunya Ashton Carter untuk strategi “menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik,” dapat dikatakan AS telah membuat empat “lompatan” dalam
strateginya untuk Asia-Pasifik.
Selain itu, Ashton Carter pernah sekali
dengan jelas dalam pidatonya menyatakan untuk masalah memperkuat hubungan
dengan sekutu dan mengembangkan kemitraan, merupakan tujuan utama dari fase
baru dari strategi AS untuk “menyeimbangkan
kembali Asia-Pasifik.”
Jadi selama
fase strategi ini, bagaimana AS akan memperkuat aliansinya?
Pada 15 Pebruari 2016, sepuluh pemimpin
negara-negara ASEAN menerima undangan Presiden Barack Obama untuk ambil bagian
dalam “Pertemuan
Informal antara para pemimpin negara-negara ASEAN dengan AS” yang diselenggarakan di AS.
Menurut laporan, isu Laut Tiongkok Selatan
dan Perjanjian TPP menjadi topik utama dalam pertemuan tersebut. Walaupun
Gedung Putih dalam pengarahan sebelumnya, para pejabat AS menekankan bahwa
pertemuan ini tidak ditujukan pada Tiongkok, dangan hanya dengan kuat
mempromosikan perdagangan bebas TPP ( yang tidak termasuk Tiongkok) dan
mendorong untuk “melakukan
tindakan kolektif” dari ASEAN
dalam hal isu Laut Tiongkok Selatan, namun pengamat melihat dalam menampilkan
faktor Tiongkok tak terbantahkan selama petemuan.
Pada 16 Pebruari 2016, pertemuan merilis
pernyataan bersama daftar prinsip-prinsip kunci yang dipimpin ASEAN untuk
bekersama, termasuk pengabdian umum menjaga perdamaian regional, keamanan, dan
stabilitas, menjaga kemanan maritim dan berbagai hal lainnya.
Yang menjadi kontras justru dengan isu Laut
Tiongkok Selatan yang sebelumnya tidak pernah disebut-sebut oleh media AS.
Menurut beberapa peserta dari negara ASEAN
yang menghadiri pertemuan ini, AS pernah sekali menyebutkan tentang Laut
Tiongkok Selatan di pernyataan bersama, dan juga termasuk dalam serangkaian “aturan” yang telah direncanakan AS dalam dokumen.
Filipina pernah sekali berusaha untuk menyebutkan
sengketa teritorial dengan cara lebih speksifik dan berharap untuk bisa
menyelesaikan sengketa melalui arbitarase internasional, tapi ditentang oleh
Laos, Kamboja dan beberapa negara ASEAN lainnya. Tanpaknya negara-negara ASEAN
tidak tertarik dengan isu ini, karena untuk isu ini menurut pendapat negara-negara
ASEAN masih banyak perbedaaan.
Yang dikhawatirkan analis dan pengamat dengan
banyak perbedaan tentang isu Laut Tiongkok Selatan ini, maka sangat rawan akan
menjadi permainan dari strategi AS untuk kembali ke Asia-Psifik. Yang pada akhirnya
tidak menguntungkan bagi perkembangan dan stabilitas negara-negara ASEAN kelak.
Berdasarkan kepentingan strategis dari lokasi
negara-negara ASEAN, pemerintah Obama mulai menggulirkan strategi untuk “menyimbangkan kembali Asia-Pasifik” dan melihat ASEAN sebagai titik strategis
yang penting.
Menurut pengamat, sejak Obama menjabat
presiden telah mengunjungi negara-negara ASEAN tujuh kali. Pada Nopember 2015,
di ibukota Malaysia, Kuala Lumpur, AS mengumumkan pembentukan kemitraan baru
dengan ASEAN.
Tiga bulan kemudian, AS kembali menggelar
pertemuan dengan para pemimpin ASEAN di negaranya, berharap untuk mengejar
sebelum masa habis jabatan Obama sebagai presiden untuk memperdalam hubungan
bilateral.
Selain itu, Obama berusaha menggunakan
kesempatan AS dalam mengadakan pertemuan dengan para pemimpin ASEAN di
negerinya untuk mendorong penggantinya untuk melanjutkan bentuk kontak serupa,
untuk memperkuat warisan politik strategi untuk “menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik.”
Sehari setelah dirilis pernyataan bersama,
juru bicara Kemenlu Tiongkok, Hong Lei menanggapi pada suatu konferensi pers
rutin, “Kita juga
melihat selama pertemuan ini ada negara-negara tertentu berusaha
mengsensionilkan isu Laut Tiongkok Selatan, tapi mayoritas negara-negara ASEAN
tidak menarik untuk isu ini, karena mereka menyadari tindakan ini akan
mengganggu perdamaian dan stabilitas kawasan ini, dan membahayakan kepercayaan
politik timbal balik antara negara regional dengan negara-negara ASEAN, dan
memainkan peran konstruktif dalam mempromisikan penyelesaian damai dalam
sengketa terkait.”
Selain dari itu, pada konferensi pers 16
Pebruari 2016, Obama mengatakan : “Dalam rangka untuk memungkinkan semua negara
ASEAN untuk bergabung dengan TPP, AS mulai mempromosikan tindakan untuk
pemahami diri sendiri dan reformasi.”
Saat ini, Brunei, Malaysia, Singapura,
Vietnam telah bergabung dengan TPP. Kali ini untuk pertama kali Obama
menyerukan enam negara-negara sedang berkembang lainnya, termasuk Laos untuk
bergabung dengan TPP.
TPP adalah Perjanjian Trans-Pacific
Partnership, versi awalnya adalah diadvoskasi dari empat negara Asia-Pasifik
yaitu Selandia Baru, Singapura, Chili dan Brunei, dan begitu AS bergabung pada
tahun 2009, AS memainkan peran aktif dan mau jadi pemimpin.
Tapi banyak pengamat dan analis melihat AS
mempunyai maksud-maksud lain, untuk
menarik negara-negara ASEAN pada sisi TPP hanyalah salah satunya. Hal lain AS
menawarkan untuk menyediakan keamanan, Hal ini juga dapat meningkatkan posisi
diplomatik mereka jika berada pada sisinya,.
Ada juga tujuan lain yang terselubung, yaitu
inflitrasi budaya dan personil, melalui LSM AS yang memang sudah sangat aktif
di negara-negara ASEAN, sehingga memungkinkan untuk menggunakan banyak cara
yang berbeda untuk mengontrol negara-negara ASEAN, dalam segi ekonomi adalah
salah satunya.
Sementara AS berupaya keras mendorong untuk
memajukan TPP, disamping itu juga mulai bernegosiasi untuk “Trans Trade and Investment Partnership’ (TIPP).
Selama negosiasi TIPP, Uni Eropa dan AS akan menyumbang
setengah dari total domestik Total PDB dunia, dan sepertiga dari total
perdagangan global; dengan total perdagangan harian rata-rata 7 milyar USD dan saling
berinvestasi 3,7 trilyun USD.
Jika TIPP bisa tercapai, pengaruhnya akan
melampaui TPP, secara luas itu akan mengubah aturan perdagangan dunia dan
standar industri, serta tantangan quasi-perdagangan negara-negara sedang
berkembang terutama negara-negara kelompok BRICS.
Jika AS berhasil melengkapi stategi
tata-letak strategis yang mencakup dua
Samudra dari TPP dan TIPP yang berpusat
di sekitar kawasan perdagangan bebas Amerika Utara. AS akan memimpin Eropa dan
Jepang untuk mendapatkan kembali keuntungan geopolitik global melalui integrasi
perdagangan lintas nasional dan regional.
Untuk titik ini, selain Tiongkok dan negara
BRICS, ekonomi utama dunia akan memasuki dua bidang perdagangan ini, lebih
lanjut memperkuat AS memonopoli suara dalam merumuskan aturan perdagangan
global, dan posisinya sebagai pemimpin ekonomi global akan lebih sulit untuk
digoyang.
Menhan AS, Ashton Carter untuk strategi
menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik mengusulkan untuk keamanan dan aliansi
hanyalah satu aspek dan aspek yang lebih penting adalah TPP. Dia mengatakan TPP
lebih bermetode dengan menggunakan militer untuk memperkuat untuk mencapai
kerjasama ekonomi dengan negara-negara di kawasan Asia-Pasifik.
Sejauh ini untuk persaingan ekonomi AS tidak
banyak memperoleh banyak keuntungan, tetapi untuk Tiongkok justru mendapat
keuntungan besar. Jadi dengan memperkuat rencana TPP, maka pengaruh ekonomi dan
kehadiran AS di kawasan Asia-Pasifik akan memperkuat posisinya dalam memimpin
di kawasan tersebut, terutama dalam pembentukan peraturan ekonomi masa depan,
dan situasi ekonomi masa yang akan datang.
Jadi itu sebabnya mengapa AS berupaya
dengan semua cara itu dengan mendorong perjanjian TPP. Setelah mendorong
perjanjian TPP, AS merasa waktunya telah benar. Sehingga AS kini akan
mengatakan : “kalian baik-baik saja, sekarang yang memimpin adalah AS.”
AS pecaya dengan bisa menggoalkan
metode ini, persaingan dengan Tiongkok di kawasan Asia-Pasifik akan berakhir
pada keuntungan pada dirinya dan memperoleh keuntungan kembali. Ini adalah yang
AS inginkan. Setelah ini semua tercapai, AS akan merasa itulah yang dimaksud
dengan keseimbangan.
Tampaknya dalam menghadapi serial
tindakan ekonomi AS, Tiongkok memilih untuk menghadapinya dengan sikap terbuka
dan menerima.
Shen Danyang dari Departemen Pers
Kementerian Perdagangan Tiongkok mengatakan, dalam kaitannya dengan semua
pengaturan yang bermanfaat bagi kebebasan perdagangan global dan integrasi
ekonomi regional FTA (Free Trade Agreement), Tiongkok mempertahankan sikap
terbuka selama pengaturan ini memang
telah terbuka, dan menganut
prinsip-prinsip transparan.
AS berusaha untuk menarik
negara-negara ASEAN untuk lebih dekat padanya, namun jarak antara sekutu-sekutu
tradisonalnya belum diperpanjang. Selain
itu terus memperkuat aliansi AS-Jepang dan AS-Korsel dalam beberapa tahun
terakhir ini, selain itu AS juga berupaya untuk menarik India berada pada
sisinya.
Laksamana Harry Harris, Kepala
Staf USPACOM, Komando Pasifik AS. Dai baru-baru ini mengusulkan pada 2 Maret
2016 di ibukota India, New Delhi untuk memulai kembali aliansi informal antara AL Jepang, Australia, India dan AS.
AS telah beberapa kali membuat
proposal untuk India yang berharap India akan bekerjasama dengan AL dari
beberapa negara besar lainnya untuk menekan ekspansi maritim Tiongkok. Proposal
ini merupakan yang terbaru yang dibuat Harris.
Namun, Menhan India, Manohar
Parrikar menolak ajakan Harris untuk mengambil bagian dalam “patroli gabungan
di Laut Tiongkok Selatan.” Dia mengatakan: “Pada saat ini, India tidak
mempertimbangkan masalah patroli bersama.” Ketika ditanya oleh wartawan.
Menurut penglihatan analis sejauh
ini strategi AS dibagi beberapa fase. Dengan kata lain, selama dua atau tiga
tahun pertama dari strategi untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik, fokus
kerjanya masih di Asia Timur Laut, terutama mencoba untuk menarik Jepang untuk mau lebih melawan
(menghantam) Tiongkok.
Kita bisa amati ketika strategi
untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik diusulkan pada tahun 2010, Jepang
terlihat mulai dengan menahan beberapa kapten kapal nelayan Tiongkok, melakukan
beberapa hal-hal lain seperti berkoordinasi hubungan Jepang-Korsel, kemudian mengganjal
hubungan Korsel-Tiongkok. Itu adalah fase yang diset sekitar setelah 2013, tapi
AS tidak berhasil menarik mereka pada pihaknya.
Maka mereka beralih ke Asia
Tenggara, ini mungkin adalah fase kedua. Pertama ke Asia Timur Laut kemudian
ke Asia Tenggara. Berikutnya ada fase lain, dimana berharap mungkin bisa
mendapatkan negara-negara regional ekstra yang bisa berada pada sisinya, seperti Jepang,
Australia, dan India, dan menciptakan versi NATO - Asia yang lebih kecil, dan
ini mungkin fase dari proses ini sekarang.
Sebagai satu-satunya “superpower”
dunia, strategi internasional AS selalu menjadi fokus perhatian dari akademik
internasional.
Penyesuaian strategi
internasional AS biasanya memiliki makna global. Investasi dari militer AS dan
sumber daya strategis memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keamanan dan
ketertiban dari berbagai daerah di seluruh dunia.
Namun itu harus dilihat dari
rentang waktu yang lebih luas. Saat ini kita bisa melihat dengan Tiongkok dan
Asia Timur yang terus meningkat proporsi dalam struktur kekuasaan global,
pemerintahan Obama berharap untuk
menggunakan strategi untuk “menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik” untuk terus
memperluas pengaruh AS di Asia-Pasifik, sehingga bisa menekan bangkitnya
Tiongkok.
Yang dikhawatirkan justru ini
akan menjadi titik awal yang menyebabkan ketidak-seimbangan di kawasan
Asia-Pasifik. Lalu kertidak-seimbangan macam apa yang akan timbul disebabkan
dengan strategi AS untuk “menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik” ? Dan bagaimana
hal itu akan mempengaruhi
AS sendiri?
Pada 5 Maret 2016, Dubes AS di
Tiongkok, Cui Tiankai, memberi respon dengan “militerisasi” dari isu Laut
Tiongkok Selatan dimana AS telah melakukan provokasi sensasional baru-baru ini.
Memberi komentar : “hal ini secara resmi disebut strategi untuk “menyeimbangkan
kembali Asia-Pasifik.” Saya pikir jika ini “menyeimbangkan” hanya dilakukan
oleh militer AS sendiri dan tanpa pertimbangan kebutuhan strategis, dan tanpa
mempertimbangkan negara-negara di kawasan itu, maka itu adalah tidak-seimbang.”
Lebih lanjut dikatakan : “Jika
hanya untuk mendapatkan beberapa sekutu atau teman-teman disisinya untuk
menekan Tiongkok, dan tidak membangun hubungan timbal balik yang konstruktif
dengan Tiongkok di Asia-Pasifik, itu juga disebut tidak-seimbang. Jadi
meskipun AS mengatakan itu adalah “menyeimbangkan kembali,” jika ada kesalah pahaman atau kesalahan
menilai, atau bertindak keliru, pada akhirnya, itu mungkin merupakan
“ketidak-seimbangan.”
Namun yang bisa dilihat, dengan
intervensi AS dalam urusan Asia-Pasifik, negara yang mengalami
“ketidak-seimbangan” menjadi makin terlihat. Efek samping ini muncul lebih umum
di Tiongkok dan hubungan interaktif Tiongkok dengan AS.
Rancangan dasar dari strategi AS
ini dipromosikan untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik. AS di satu sisi
ingin berkerjasama dengan Tiongkok, meskipun tidak berbicara banyak tentang hal
itu, dan setuju dengan tidak membawa hubungan superpower dengan Tiongkok dan
mempertahankan situasi ini dari kerjasama dan berkompetisi.
Namun apa yang bisa dilihat
karena terlalu berfokus pada bermain untuk keunggulan, maka yang terjadi memperkuat dalam bidang
militer dan keamanan, Jika ini dilakukan terlalu banyak, itu akan menciptakan
ketidak-seimbangan.
Dan ini semua yang bisa dilihat
oleh masyarakat internasional, termasuk adanya kritik dalam negeri AS sendiri
yang mengatakan, bahwa AS telah melakukan hal ini yang menyebabkan situasi
demikian. Jika ini terjadi akan sunguh-sunguh tidak menguntungkan., dan
hubungan Sino-AS akan hancur, dan situasi ini tidak dalam kepentingan AS.
Aspek lain adalah di mata banyak
analis, Strategi AS “untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik” bukan hanya
strategi militer, tetapi strategi nasional dimana militer hanya salah satu
bagian darinya. Ada juga berbagai aspek seperti ekonomi, politik, sistem
aliansi dan diplomasi, tetapi AS hanya berfokus pada militer. Ini mencerminkan
“ketidak-seimbangan” AS dalam mentalitas Asia-Pasifik.
Karena dalam benak AS hanya
berpusat pada Amerika, sehingga menganggap kebangkitan dan berkembangnya
Tiongkok telah merusak keseimbangan asli, sehingga berupaya mengguna beberapa
cara dan metode aneh untuk mengembalikan keseimbangan yang ada dalam benak
pikirannya. Sehingga menganggap legal bahwa segala permintaan Tiongkok yang
wajar dipandang ketidak-seimbangan.
Ini oleh para analis dinilai tidak
benar, mengingat Tiongkok adalah negara yang terdiri dari 1,4 milyar populasi,
AS seharusnya tidak bertindak irasioanil. AS manabur perselisihan di kaswasan
ini, dan mengipasi api dan menciptakan kotak-kotak. Dan mempercayai
strteginya untuk keseimbangan namun kenyataanya akan menciptakan konflik. Maka
logika Dubes AS di Tiongkok Cui Tiankai benar. AS ingin mengembalikan
keseimbangan yang berpusat di sekitar pada dirinya, tapi prasyaratnya adalah menyangkal kebutuhan keseimbangan yang
wajar bagi Tiongkok dan negera-negara lain di kawasan ini, dan pada akhirnya
ini adalah tidak realistis.
Bahkan beberapa ahli mengatakan
bahwa “kembali ke Asia-Pasifik” yang banyak dibicarakan Obama sudah menjadi
warisan penting selama dia menjabat presiden selama 8 tahun, tidak perduli
apapun dia akan betahan untuk itu samapai akhir.
Namun banyak analis yang percaya
bahwa ini adalah salah penilaian strategis terbesar selama Obama berkuasa,
dikhawatirkan kawasan Asia-Pasifik akan menjadi lebih bergejolak.
Dalam situasi dimana
mempromosikan “strategi untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik” tidak
berjalan dengan baik, apa yang bisa dilakukan AS hanyalah suatu janji-janji
kosong.
Semakin AS mengebu melakukannya semakin terjadi penentangan yang
terjadi. Dan pada titik itu kreditbilitas AS akan menjadi hal pertama yang
rusak, seperti misalnya saat AS berkeingin keras memenangkan kepercayaan dari
sekutunya di Asia-Pasifik.
Berdasarkan pandanganan beberapa analis
tampaknya adanya pemahaman lingkaran dari strategi, ini ada kesalahan penilaian
dari strategis AS. Di AS tidak saja banyak yang sensasionil di kalangan
politisi dan para ahli strategis, dan juga yang sangat pengalaman yang percaya
bahwa Tiongkok itu lawan bukan mitra. Sehingga ingin memperkuat penyebaran
pasukan AS dan memperkuat sistem aliansi untuk menghadapi Tiongkok.
Tapi bagaimanapun kesalahan
penilaian ini akan berdampak pada perdamaian dan stabilitas regional, serta
perkembangan normal Tiongkok, yang pada akhirnya tidak menguntungkan bagi kita
yang berada di di kawasan tersebut.
Paling-paling AS akan berhasil
dalam taktik tapi tidak secara strategi, nyatanya selama ini kebangkitan dan
perkembangan Tiongkok tidak terbendung oleh upaya AS ini. Sehingga ada analis
yang mengatakan : “Ini bukan lagi dunia masa lalu, tetapi AS masih tetap
bersikap sama.” Hegemoni permanen tidak ada di dunia, demikian juga kemakmuran
tidak akan terus permanen bagi banyak negara.
Filosofi strategi AS menunjukkan
masih tercermin karakterik Perang Dingin, dan berpikir antagonis. Pikiran
demikian menyebabkan ketidak pastian untuk meningkatkan seluruh situasi
regional terutama di Asia-Pasifik. Jika AS tidak mau mengakui prinsip ini, dan
bertindak atas kemauannya sendiri. Maka AS akan tidak mampu lolos dari jebakan kesulitan
sifat hegmoninya. Karena semua belenggu dan rencana penyergapan terhadap suatu
negara apapun akan sia-sia, karena kita sedang berangan-angan suatu Asia-Pasifik
yang damai dan sejahtera secara umum.
Sumber :
Media TV dan Tulisan Dalam dan Luar negeri
Sucahya Tjoa
21 April 2016
Sepak Terjang AS Untuk “Menyeimbangkan” Kembali Asia-Pasifik
Setelah itu, AS sepenuhnya me-reformasi
pertahanan militer dan pertahanan nasional Eropa Timur, dan
mempersilahkan/membimbing negara-negara Eropa Timur untuk bergabung dengan NATO
dan Uni Eropa, dengan mereka terus berkembang ke arah timur.
Setelah strategi Asia-Pasifik pemerintahan Obama strategi ini telah mengalami penyesuaian dengan menyebutkan “kembali ke Asia-Pasifik,” dan kemudian “poros strategis untuk Asia-Pasifik” dan akhirnya menetapkan sebuah “strategi untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik.”
Semakin AS mengebu melakukannya semakin terjadi penentangan yang terjadi. Dan pada titik itu kreditbilitas AS akan menjadi hal pertama yang rusak, seperti misalnya saat AS berkeingin keras memenangkan kepercayaan dari sekutunya di Asia-Pasifik.
Sucahya Tjoa
21 April 2016
No comments:
Post a Comment