Saturday 28 May 2016

Sepak Terjang AS Untuk Menyeimbangkan Kembali Asia-Pasifik

Sudah dalam waktu lama, kawasan Asia-Pasifik telah sangat penting dalam strategi global AS. Militer AS mempercepat laju penyebarannya di Asia-Pasifik, dengan mengerahkan militernya menggeser ke arah timur.

Strategi tata letak baru AS di Asia-Pasifik telah mengalami transisi dari tahap aslinya kembali ke kawasan Asia-Paifik ke tahap Membentuk kawasan Asia-Pasifik.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, tampaknya aksi militer AS semakin memusuhi Tiongkok di Asia Timur Laut dan Laut Tiongkok Selatan, hal ini mudah bisa terlihat AS terus mempromosikan strategi Menyeimbangkan Kembali Asia-Pasifik, dengan ingin memperoleh kekuasaan sebagai pemimpin yang dapat mengendalikan urusan Asia-Pasifik.

Sepak terjangnya dapat dilihat dengan diadakannya serangkaian latihan militer bersama dengan beberapa sekutunya di kawasan ini. Pada 7 Maret 2016, melakukan latihan militer bersama berskala besar dengan Korea Selatan yang berkodekan Key Resolve (Kunci Penyelesaian) dan Foal Eagle (Rajawali) yang secara resmi diadakan untuk seluruh Korsel. Ini merupakan latihan militer bersama skala besar antara AS dan Korsel yang diselenggarakan di Semenanjung Korea.

15 ribu tentara AS dan lebih dari 300 ribu tentara Korsel mengambil bagian dalam latihan militer ini, dengan jumlah total keseluruhannya yang ikut peran serta menjadi 650 ribu orang dari pihak Korsel. Melibatkan kapal induk bertenaga nuklir, kapal selam bertenaga nuklir, dan korp marinir AS yang tergabung secara penuh, dan yang lebih berbahaya melakukan latihan yang seolah-olah AS dan Korsel menerobos melakukan serangan mengambil alih  ibukota Korut Pyongyang dan menyingkirkan kepala negara Korut.

Republik Demokratik Rakyat Korea (Korut) menanggapi dengan  melakukan perlawanan, Panglima Tertinggi Korut memerintahkan militer Korut untuk mempersiapkan rudal nuklir untuk setiap waktu diluncurkan.

Kim Hung-hyun panglima gabungan angkatan bersenjata Korsel mengatakan, latihan militer bersama Key resolve dan Foal Eagle tahunan itu akan menjadi yang terbesar dalam sejarah, dengan melibatkan peralatan militer canggih. Selain itu sumber daya strategis AS juga dikerahkan ke Semenanjung Korea.

Setelah Korut melakukan uji coba nuklir yang ke-4, AS segera mengirim pesawat pembom strategis yang mampu membawa bom nuklir B-52 ke Semenanjung Korea, lebih satu bulan kemudian mengirim kapal selam dan kapal induk bertenaga nuklir dan bersenjata nuklir.

Anthony H. Cordesman, seorang ahli dari CSIS (AS) mengatakan,  upaya Korea Utara untuk memiliki senjata nuklir, dan mengancam akan menggunakannya, melakukan uji coba rudal, yang melewati wilayah negara-negara Asia yang telah dilakukan pada masa-masa lalu. Hal ini jelas tidak akan diabaikan oleh AS atau Korsel atas tindakan Korut tersebut. Maka tidak saja AS-Korsel melakukan laithan militer bersama secara besar-besaran, mereka juga secara aktif mempromosikan mengerahan sistim pertahanan rudal THAAD di Korsel.

THAAD sistem pertahanan rudal kependekkan dari Terminal High Attitude Area Defense dijuluki Perisai Super(Super Aegis) di altitude tinggi, merupakan komponen penting dari rencana pertahanan rudal AS. Yang secara aktif dapat mencegat rudal jarak menengah yang meluncur keluar angkasa, dengan melakukan intersepsi di ketinggian 40 hingga 150 km.

Menurut media Korsel, sistem ini dilengkapi dengan radar X-band, dan bisa dengan cepat mendeteksi rudal balistik yang baru diluncurkan dari jarak jauh. Jangkauan deteksinya bisa mencapai lebih 1.000 km, yang berarti tidak hanya dapat mendeteksi seluruh rudal Korut, juga bisa mendeteksi rudal di Beijing Tiongkok dan wilayah timur laut dan timur jauh Rusia. 

Media Korsel menyatakan jika THAAD dikerahkan di Korsel, itu akan menjadi sistem pertahanan anti-rudal penting.

Sistem radar ini dapat melihat jauh beberapa ribu km sehingga mencakup jauh dari daratan Tiongkok. Sistem ini masih belum dikerahkan di Jepang, tapi jika dikerahkan di Korsel, mungkin bisa membuat kegiatan militer Tiongkok di pusat timur Tiongkok dari Wuhan menjadi transparen.

Maka dari itu jelas sangat tidak menguntungkan bagi Tiongkok, jadi tidak heran Tiongkok sangat menentang dengan penempatkan THAAD di Korsel.

Selain itu, karena jangkauan rudal dari sistem ini akan mencakup jauh melebihi kebutuhan pertahanan dari Semenanjung Korea, yang akan membentang hingga ke jantung wilyah Asia, yang dengan sendirinya merusak kepentingan strategi keamanan Tiongkok dan Rusia, jadi itu yang menjadi subyek keraguan luas bagi masyarakat internasional.

Hong Lie juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok berulang kali menyatakan negaranya menentang keras negara manapun untuk menggunakan isu nuklir Semenanjung Korea dengan menyerang hak hukum dan kepentingan Tiongkok.

Pada 12 Pebruari 2016, Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi selama wawancara khusus di Munich, Jerman, Tiongkok dengan tegas menentang THAAD digunakan dan dikerahkan (di-deploy) di Korel, dan AS harus bertindak hati-hati.

Dengan mengutip pepatah Tiongkok kuno yang mengatakan : Xiang Zhuang melakukan pertunjukkan pedang untuk mengelabuhi percobaan pembunuhan terhadap Liu Bang.(项庄舞剑, 意在沛公) Jadi menjadi pertanyaan besar kami (Tiongkok) untuk siapa penyebaran sistem pertahanan rudal THAAD AS ini ditujukan.
(项庄舞剑  意在沛公: cerita klasik sejarah Tiongkok kuno pada 208 SM, ketika Xiang Zhuang melakukan tarian pedang menutupi usahanya untuk membunuh Liu Bang, yang bertindak dengan motif tersembunyi.)

Wang Yi selanjutnya mengatakan, AS harus membuat jelas niatnya. Tapi saya dapat memberitahu Anda dengan sangat terang, bahwa kita (Tiongkok) tidak perlu ahli untuk menilai ini, masyarakat umumpun tahu jika sistem THAAD dikerahkan, itu dengan pasti tidak akan dilakukan hanya untuk pertahanan Korsel, tetapi untuk tujuan obyektif yang lebih besar, dan bahkan mungkin diarahkan pada Tiongkok. Dan ini sangat gamblang bagi semua orang.

Para analis plot pertahanan rudal di Asia-Pasifik AS ini tampaknya sudah mrrencanakan untuk waktu yang sudah lama. Dari tahun 1993, ketika mereka secara resmi mengusulkan ““Theater Missile Defense Plan untuk saat ini, AS telah meletakkan tiga pola garis pertahanan rudal yang disinkronkan dengan penempatan pasukan militer di Asia-Pasifik.

Garis pertama pada lingkaran dalam dan sekitar Jepang, garis kedua di Alaska dan Pearl Harbor, Hawaii, dan garis ketiga di sepanjang barat AS. Sistem pertahanan rudal AS di Asia-Pasifik terutama terdiri dari tiga sub-sistem.

Yang pertama, sistem intersepsi, terutama mencakup sistem berbasis darat pada intersepsi jarak mengengah, sistem Aegis, dan sistem THAAD. Sistem berbasis laut termasuk kapal perusak serie Aegis Standard” dengan serangkaian rudal anti-udara, rudal darat-intersepsi jarak menengah, THAAD, dan rudal Patriot-3 sebagai kekuatan (workhorses) utama.

Yang kedua, peringatan dini dan sistem deteksi awal, yang jangkauannya dengan sistem rudal satelit peringatan dini, dengan beberapa jenis sistem radar dan berbagai sensor.

Dan THAAD, suatu intersepsi subsistem, yang dengan cepat akan dikerahkan ke Korsel, dengan alasan adanya peningkatan ketegangan tentang masalah nuklir di Semananjung Korea.

Para analis percaya jika sistem THAAD ditempatkan di Korsel, AS akan memiliki pertahanan rudal yang sangat komplit di kawasan timur laut Asia, yaitu dengan dengan Patriot sebagai sistem pertahanan menengah atau ketinggian rendah, dan THAAD untuk terminal pertahanan rudal altitude tinggi, dan sistem Aegis untuk intersepsi jarak menegah berbasis laut.

Dengan sistem pencegatan rudal jarak menengah yang dikerahkan di AS, maka sistem petahanan rudal multi-rentang (multi-range) AS telah terbangun pertahanannya di Asia-Pasifik menjadi lebih ketat. Maka pengerahan THAAD selalu menjadi salah satu impian dan keinginan AS. Tapi kini tampaknya menjadi lebih realistik dari sebelumnya.

Para analis melihat jika benar sistem THAAD jadi dikerahkan, itu akan tidak baik bagi perdamaian di Asia Timur Laut, karena apa yang terjadi sejauh ini jelas Rusia dan Tiongkok telah gigih menentangnya. Karena mereka percaya pengerahan THAAD ke kawasan ini tidak terkait dengan ancaman rudal DPRK atau Korut untuk Korsel. Sebagian rudal Korut adalah rudal jarak pendek dan terbang pada ketinggian rendah. Kepemilikkan rudal mereka juga tidak banyak dan rudal mereka tergolong rudal jarak menengah dan terbangnya tidak tinggi.

Sedang sistem pertahanan rudal THAAD adalah untuk rudal yang lebih dari 3.500 km. Dan Korut tidak menyerang Korsel dengan rudal semacam itu, jika 3.500 km berarti sudah melewatinya.

Jadi menurut kenyataan THAAD dipandang para analis tidak memiliki kebutuhan pertahanan yang wajar. Dan merupakan kebutuhan yang berlebihan dan tidak masuk akal, pasti ada rencana lain dibalik itu. Mereka berpandangan AS akan megerahkan THAAD untuk mempertahankan terhadap ancaman rudal dari Rusia dan Tiongkok, dengan menggunakan pertahanan rudal ini untuk menurunkan daya ampuh rudal Rusia dan Tiongkok jika terjadi perang. Jadi hal ini dianggap menjadi ancaman besar bagi mereka.

Opini publik percaya bahwa AS akan menggunakan alasan menekan Korut untuk mempercepat pengerahannya di kawasan Asia-Pasifik, dan ini akan memperumit situasi keamananan di kawasan tersebut.

Banyak yang mengira dengan tindakan-tindakan militer AS di Semenanjung Korea tidak bisa tidak membuat orang berpikir dari ekspansi yang dipimpin AS ke arah timur dari NATO.

Pada tahun 1991, ketika Uni Soviet bubar, banyak negara NATO yang mengusulkan pada satu pertemuan di London satu wacana Dengan perjanjian Warsawa berakhir, apakah NATO masih perlu ada?

Namun atas petunjuk AS menegaskan bahwa NATO tidak akan dibubarkan, dan akan menjadi satu organisasi militer murni dan organisasi keamanan untuk Barat, yang juga mulai menerapkan Program Kemitraan Untuk Perdamaian.

Setelah itu, AS sepenuhnya me-reformasi pertahanan militer dan pertahanan nasional Eropa Timur, dan mempersilahkan/membimbing negara-negara Eropa Timur untuk bergabung dengan NATO dan Uni Eropa, dengan mereka terus berkembang ke arah timur.

Selain itu, AS juga mengerahkan sistem pertahanan rudal balistik di Eropa. Ketika pasukan AS mendekati ambang pintu Rusia di Ukraina, Vladimir Putin tidak bisa tinggal diam terus  menonton, dia dengan tegas mengirim pasukan untuk merebut kembali Crimea.

Dengan tindakan Putin ini, Rusia sementara dapat menekan laju ekspansi NATO ke timur, dan menjadikan hubungan Rusia dengan negara-negara Eropa juga menjadi buruk kerena peristiwa ini, dan ekonomi nasional terus menurun sementara keamanan lingkungan sekitarnya juga mengalami pukulan yang besar.

Pada kenyataannya, niat strategis AS di Semenanjung Korea tampaknya akan menjadi patrun (potongan kain) yang sama dengan ekspansi NATO ke timur. Hal ini merupakan niat AS untuk memperburuk dan meningkatkan ketegangan di kawasan tersebut. Sehingga bisa mempunyai alasan AS untuk mempercepat pengerahan pasukannya di Asia-Pasifik untuk menciptakan sebuah NATO Asia versi baru.

Memang ketika AS menciptakan sebuah sistem aliansi di Eropa, sebenarnya sudah terpikir untuk menciptakan satu sistem yang mirip dengan NATO di kawasan Asia-Pasifik, dan sudah coba berupaya dengan keras di Asia Tenggara. Misalnya pernah mencoba membentuk SEATO (Southeast Asia Treaty Organization) tapi tidak berhasil.

Strategi AS kembali Ke Asia-Pasifik

Pada 10 Maret 2016, Komando Strategis AS (USSTRATCOM) merilis informasi yang menyatakan AS sudah mengirim tiga B-2s pembom siluman ke Diego Gracia, ke sebuah pulau pangkalan AS di Samudra Hindia.

Terbitan  AS Air Force Times merilis sebuah artikel pada 9 Maret yang mengatakan mobilisasi B-2s terkait dengan situasi di Laut Tiongkok Selatan.

Dari sini analis melihat jika situasi di Semenanjung Korea dan Laut Tiongkok Selatan dikaitan seperti ini, mudah terlihat bahwa di satu sisi AS mengingatkan dunia bahwa AS masih tetap merupakan kekuatan militer dunia, dan di sisi lain ingin menyampaikan pesan bahwa AS tidak takut dengan Tiongkok, dan terlihat buru-buru ikut dalam kobaran api untuk membantu sekutunya. Dan semua ini sebenarnya AS terus memperdalam dan mengisi strateginya untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik.

Jadi pengerahan THAAD di Korsel tidak membantu meringankan situasi di Asia Timur Laut, sebaliknya itu benar-benar akan membangkitkan dan merusak strategis kemitraan yang telah muncul antara Tiongkok dan Korsel.

Pada saat yang sama, itu akan menyebabkan ketegangan regional antara negara-negara yang terlibat dalam isu Laut Tiongkok Selatan, jika terjadi demikian maka yang akan paling dikorbankan adalah negara-negara dan rakyat yang berada di kawasan tersebut.

Semua ini berasal dari sepak terjang AS untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik. AS juga  menggunakan strategi ini untuk mempertahankan kehadiran militernya yang paling kuat di kawasan Asia-Pasifik.

Bagi AS Menyeimbangkan hanyalah sebuah rencana strategis AS yang dimilikinya untuk Asia-Pasifik, tapi apa efek dari keamanan dan stabilitas kawasan masa depan dari strategi AS untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik?

Upaya Obama Untuk Masuk Asia-Fasifik

Pada saat Barack Obama duduk mejadi presiden ke-44 AS pada 4 Nopember 2008, segera dia menghadapi masalah sulit. Karena strategi kontraterorisme selama pemerintahan George W. Bush sangat berlebihan dan dengan adanya tekanan depresi ekonomi yang meningkat sejak 2008, selama tahun pertama Obama menjabat, aksi pertama Obama terutama unutk menyesuaikan strategi diplomatik AS, yang melibatkan bagaimana untuk menghidupkan kembali ekonomi dan bagaimana untuk menarik pasukannya dari dua pertempuran perang melawan teror di Afganistan dan Irak.

Pada bulan Juli 2009, mantan Menlu AS, Hillary Clinton pernah mengumumkan di panggung Forum Regional ASEAN (ARF) dengan lantang menyatakan Kami kembali/We are back! dan juga menandatangani  Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara(Treaty of Amity and Cooperation in the Southeast Asia,) menandai pejabat AS siap kembali ke Asia.

Segera setelah itu, pada 14 Nopember 2009, Presiden Barack Obama yang sedang mengunjungi Jepang, memberi pidato di Tokyo  mengenai kebijakan pemerintah AS untuk Asia mengatakan AS juga negara Pasifik dan kita sangat erat terhubung di laut ini. Dengan mengumumkan AS akan memperkuat hubungannya dengan negara-negara Asia dan akan memainkan peran utama.

Analis ada yang melihat dengan PDB Tiongkok melampaui Jepang pada 2010 yang dikonfirmasi oleh IMF dan World Bank, maka Tiongkok dinyatakan menjadi kedua tertinggi di dunia. Dengan keadaan ini elite AS menjadi nervous, karena sejak 1968 Jepang selalu nomor dua. Tapi AS tidak khawatir dengan Jepang, namun setelah Tiongkok menggantikan Jepang, itu dianggap suatu peringatan bagi AS, dan sejak tahun itu index-index lain telah terjadi.

Sebagian besar populasi umum tidak memperhatikan demkian juga media, namun kaum strategis sangat memperhatikan, yaitu ketika total agregat industri manufaktur Tiongkok melampaui AS dan menjadi nomor satu di dunia.

Pada tahun 2010, Tiongkok juga menghasilkan daya saing yang melebihi AS. Hal ini sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dialami AS atas tiga pesaingnya untuk masa lalu. Seperti kita ketahui pada abad ke-20, AS memiliki tiga pesaing : Jerman, Uni Soviet dan Jepang.  

Pada saat-saat di masa kondisi paling tinggi mereka, industri manufaktur mereka hanya bisa mencapai 70% dari AS dan mereka tidak pernah mengalami peningkatan lebih tinggi dari AS. Dan seperti kita mengetahui peradaban modern sekarang disebut peradaban industri manufaktur.

Jika kita memiliki industri manufaktur yang kuat dan kekuatan militer pada tingkat tertentu, maka kita diakui memiliki daya saing untuk memimpin dunia. Jadi dalam hal ini dengan menggabungkan PDB  yang tertinggi kedua di dunia, dan salah satu agregat total industri manufaktur yang tertinggi di dunia, hal itu yang menyebabkan elite AS menjadi nervous di tahun 2010. Karena itu mereka membuat macam-macam respon.

Pada bulan Nopember 2011, Presiden Barack Obama mengatakan dalam pidatonya di Parlemen Australia, bahwa AS akan mengalihkan poros militernya dari Timur Tengah ke Asia, dan mengatur perluasan militer di kawasan Asia-Pasifik sebagai agenda perioritas tertinggi. 

Selama ARF (Asian Region Forum) tahunan di Hanoi, Vietnam, Hillary Clinton Menlu AS saat itu, telah menyebutkan strategi terkenal untuk kembali ke Asia. Dan ini merupakan asal dari strategi yang dilontarkan itu. Dan setelah benar-benar strategi ini digulirkan di AS terjadi polemik dan menuduhnya sebagai kontroversi, karena itu ex. pemerintahan Bush sebelumnya sangat marah. Mereka merasa strategi untuk kembali ke Asia adalah indikasi bahwa pemerintahan Bush meninggalkan Asia, sehinggga mereka menjadi sangat marah.

Pengamat menilai bahwa  pemerintah AS telah membawa kebijakan luar negeri ke dalam kebijakan dalam negeri, dan menganggap itu tidak baik. Karena ketika mereka datang kembali menggunakan istilah lain yang berbeda, yaitu dengan ide seperti yang dilontarkan Hillary Clinton, Kurt Cambell yang merupakan poros. Mereka menyebutnya sebagai fokus poros strategi global AS, poros dari Eropa ke Asia, dari Samudra Atlantik ke Samudra Pasifik.

Setelah strategi ini digulirkan dan menjadi isu besar, memancing perlawanan dari sekutu Eropa, Eropa mengatakan Kita sudah ikut Anda selama 70 tahun, dan sekarang Anda akan meninggalkan kita? karena Eropa menganggap AS adalah sekutu sejati. Dan AS merasa itu sepertinya agak pasif, dan ada sedikit masalah dengan strateginya, sehingga setelah itu istilah ketiga untuk itu diganti dengan menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik dan yang digunakan hingga kini.

Pada bulan Juni 2012, Menhan AS (saat itu) Leon Panetta memaparkan strategi  untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik di Shangri-La Dialogue di Singapura, dan mengusulkan sebelum 2020, AL-AS akan mengubah distribusinya yang tadinya masing-masing 50% kapal perang di Atlantik dan di Pasifik, akan menjadi 60% di Pasifik dan 40% di Atlantik.

Anthony H Cordeman seorang ahli dari CSIS-AS mengatakan "Ini berarti AL-AS akan mengerahkan mayoritas dari kapal penjelejah, kapal perusak, kapal selam dan LCSs ke Samudra Pasifik. Saya pikir yang perlu dilihat latar belakang sejarahnya. Pada 2012, AS kembali memeriksa kebijakan kekuatan global. Pada saat itu di Timteng masih tidak memiliki masalah dengan yang diciptakan Rusia di Ukraina, jadi karena itu diperlukan AS untuk mengerahkan kekuatan lebih ke Pasifik.

Setelah strategi Asia-Pasifik pemerintahan Obama strategi ini telah mengalami penyesuaian dengan menyebutkan kembali ke Asia-Pasifik, dan kemudian poros strategis untuk Asia-Pasifik dan akhirnya menetapkan sebuah strategi untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik.

Ada analis yang percaya perubahan istilah ini diakui untuk menghindari kontroversi yang dapat memberikan kesan rencana untuk menekan Tiongkok, tapi dibandingkan dengan istilah sebelumnya menyeimbangkan kembali/rebalancing bisa lebih baik menggambarkan situasi hubungan internasional di Asia-Pasifik, serta niat strategi AS di kawasan ini.

Strategi untuk menyeimbangkan kembali Asia-pasifik, sejauh ini inti tujuannya ingin memastikan posisi penting AS di kawasan Asia-Pasifik, terutama untuk menghadapi kebangkitan Tiongkok, namun tidak hanya berurusan dengan kebangkitan Tiongkok saja, di mata AS juga melihat blok geografis yang luas di Asia, Samudra Hindia.  Tiongkok juga adalah negara yang realistik merupakan ancaman besar untuk itu, karena kebangkitan Tiongkok adalah tercepat dan yang paling kuat.

Jadi dalam hal ini hanya ada satu hal bagi AS untuk dapat dilakukan, yaitu memperkuat kehadirannya diseluruh kawasan ini, dari Samudra Pasifik hingga ke daerah-daerah pedalaman Asia. Setelah memperkuat pasukannya di kawasan ini, pada tahun 2020 atau 2025, begitu merasa sudah kuat pasukannya, maka akan yakin bahwa itu dapat menggunakan kekuatan-kekuatan yang sama untuk menghadapi kebangkitan Tiongkok.

Dalam hal ini juga akan bisa digunakan untuk membendung Jepang, dan juga  menekan India. Jadi sebenarnya memiliki posisi sebagai pengendali regional. Pertimbangan ini dilakukan untuk memastikan bahwa hal itu dapat mendukung bidang yang lebih luas dari visi global di kawasan ini.

Namun, strategi untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik tidak selalu searah dengan strategi yang diinginkan AS.

Setelah Perang Dingin berakhitr, secara ekonomi AS tidak secara aktif mendorong pembentukan regioanilisme yang mirip dengan integrasi Eropa. Sejauh untuk urusan keamanan juga tidak membuat seperti itu dengan pembentukan NATO.

Sebaliknya, AS menciptakan dua pilar jaringan aliansi bilateral yang berpusat di Washington, perekonomian dan keamanan dibuat jaringan yang sangat bergantung pada AS, jaringan ini termasuk Jepang. Korsel, Thailand, Australia, Selandia Baru, dan Taiwan.

Namun, sejak akhir 1970an, jaringan ini telah mengalami perubahan besar. Secara militer, dengan dimulainya hubungan diplomatik antara Tiongkok dan AS tahun 1979, dan ditarik mundurnya pasukan AS dari Taiwan, maka aliansi AS dan Taiwan berakhir.

Pada tahun 1980an dikarenakan ketidak setujuan Selandia Baru atas isu kapal Selam nuklir AS memasuki wilayahnya, maka persekutuan AS- Selandia Baru boleh bilang mati.

Selama awal 1990an, dengan munculnya sentimen nasionalis di Filipina, Kongres Filipina meloloskan resolusi untuk menolak terus menempatkan pasukan AS di pangkalan Subic. Sementara Thailand juga menolak untuk mengizinkan AS menggelar pasukan dan memiliki pangkalan militer di Thailand setelah masalah Kamboja selesai.

Dalam bidang ekonomi, selain Filipina yang di masa lalu merupakan sekutu AS dan mitra dagang terbesarnya, kini telah berubah dan digantikan dengan Tiongkok. Sehingga Pilar ekonomi dan jaringan aliansi bilateral AS sudah goyah.

Pada thaun 2001, setelah George W. Bush terpilih sebagai presiden AS, dia segera mengusulkan dengan melihat Tiongkok sebagai pesaing strategis, dan secara terbuka mengatakan bahwa AS akan melindungi Taiwan tidak peduli berapapun biayanya.

Pada 1 April 2001, terjadi insiden tabrakan udara antara pesawat Tiongkok dan AS, Bush mengancam bahwa AS akan menggandakan jumlah kapal induk bersenjata nuklir untuk ditujukan ke Tiongkok.

Jadi sebenarnya, AS dalam mengusulkan untuk menekan dan mencegah Tiongkok, telah dilakukan sebelum strategi untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik dirumuskan, kebijakan AS di Asia-Pasifik pada dasarnya terdiri dari dua bagian.

Salah satu bagian adalah akan mengerahkan pasukan di  garis depan melalui aliansi keamanan, dan semacam hubungan seperti dengan Korsel, Jepang dan Filipina. Mereka menginginkan kehadiran militer dengan dikerahkan ke garis depan.

Bagian penting lainnya adalah hubungan dengan Tiongkok. Meskipun telah dilakukan penyesuaian berkali-kali di tahun-tahun sejak dilakukan hubungan diplomatik dengan Tiongkok, tapi pada dasarnya kebijakannya tetap sama, hal yang sama digunakan dengan satu pihak tetap menjaga kontak dengan Tiongkok, sementara juga melakukan penekanan juga. Kedua monuver ini digunakan bersama-sama.

Beberapa ahli percaya bahwa ini merupakan hasil dari penyesuai terus AS dan eksalasi atas kebijakan AS terhadap Tiongkok. Sebelum AS melancarkan strategi untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik, Asia telah secara alami membentuk model pembangunan ekonomi yang didorong oleh perkembangan pembangunan Tiongkok.

Pertukaran ekonomi antara Tiongkok dan negara-negara tetangganya di Asia telah tumbuh menjadi lebih dekat, dan ekonomi Asia mengambil  pola pembangunan yang proposional dari perkembangan Tiongkok. Negara-negara Asia mempertahankan hubungan pola perkembangan yang relatif seimbang dan damai di antara mereka.

Para analis mengkhawatirkan jika AS menerapkan strategi untuk menyeimbangkan Asia-Pasifik, pola pembangunan yang relatif seimbang dan damai di Asia akan terganggu dalam waktu singkat.

Pengamat melihat awalnya hal itu bukan dipusatkan di sekitar Tiongkok, di masa lalu itu dipusatkan di sekitar AS sendiri. Di masa lalu AS masih percaya berada di posisi terdepan di kawasan ini yang masih sangat stabil dan itu masih berpusat di sekitar AS.

Kala itu AS masih meremehkan memandang rendah Tiongkok. Karena seringkali AS menyatakan engaging China(keterlibatan Tiongkok) yang merupakan kebijakan dalam kontak dengan Tiongkok. AS berpikir bahwa pengaruhnya sangat kuat, dan bekerjasama dengan Tiongkok itu hanya disebutkan melibatkan Tiongkok, dengan anggapan bisa memperkenalkan siistemnya kepada Tiongkok. Tapi kini keadaanya berbeda.

Tapi AS sekarang lain lagi, berpusat di sekitar Tiongkok, membangun hubungan sekutu untuk menghadapi Tiongkok dan usaha untuk mengerahkan kekuatannya untuk menghadapi Tiongkok yang juga berarti melawan Tiongkok.


Upaya AS Dalam Masa Jabatan Obama Kedua

Setelah Obama memulai masa jabatan yang kedua, strategi menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik secara diam-diam terus meningkat.

Pada 10 April 2015, di McCain Institute di Arizona State University, Ashton Carter yang baru diangkat sebagai Menhan AS, dalam pidatonya mengenai strategi untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik memperkenalkan fase baru dalam strategi ini, yang termasuk pergelaran senjata  kelas tinggi, presisi, dan canggih , memperkuat aliansi, dan mengembangkan kemitraan, serta mempromosikan Trans-Pacific Trade  Partnership (TPP).

Analis melihat  bahwa Obama ingin meninggalkan warisan diplomatik, dan Ashton Carter ingin tampil ambisius pada saat Obama habis masa jabatannya. Dengan AS mengumumkan strategi menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik telah memasuki fase baru yang akan jauh lebih mudah daripada menyelesaikan masalah diplomatik lainnya, dan terlihat lebih baik juga.

Tapi sebenarnya isitlah apapun yang akan digunakan apakah untuk kembali ke Asia atau menyeimbangkan kembali AsiaPasifik alamnya tetap sama. Sekarang AS percaya Tiongkok akan menjadi penantang utama untuk memimpin didepan di masa akan datang, karena itu AS menggeser fokus strategis globalnya ke daerah sekitar Tiongkok.

Dengan menarik kembali kekuatannya dari Eropa, Afrika, Timur Tengah, dan bekas wilayah Uni Soviet, dan sedang mempersiapkan beberapa hal meng-fokuskan sumber daya di wilayah sekitar Tiongkok.

Pengamat melihat AS dengan menarik kembali dari seluruh dunia dan memfokuskan sumber dayanya di Asia-Pasifik, itu yang menjadi konten dari strategi untuk menyeimbangkan Asia-Pasifik untuk menghadapi Tiongkok.

Kalau dilihat dari konsepsi mantan Menlu AS, Hillary Clinton kembali ke Asia-Pasifik pada tahun 2009, dengan poros ke Asia strategi yang diresmikan Obama tahun 2011, dan keterangan mantan Menhan AS, Panetta dengan strategi untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik pada tahun 2012, kemudian dengan fase barunya Ashton Carter untuk strategi menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik, dapat dikatakan AS telah membuat empat lompatan  dalam strateginya untuk Asia-Pasifik.

Selain itu, Ashton Carter pernah sekali dengan jelas dalam pidatonya menyatakan untuk masalah memperkuat hubungan dengan sekutu dan mengembangkan kemitraan, merupakan tujuan utama dari fase baru dari strategi AS untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik.

Jadi selama fase strategi ini, bagaimana AS akan memperkuat aliansinya?

Pada 15 Pebruari 2016, sepuluh pemimpin negara-negara ASEAN menerima undangan Presiden Barack Obama untuk ambil bagian dalam Pertemuan Informal antara para pemimpin negara-negara ASEAN dengan AS yang diselenggarakan di AS.

Menurut laporan, isu Laut Tiongkok Selatan dan Perjanjian TPP menjadi topik utama dalam pertemuan tersebut. Walaupun Gedung Putih dalam pengarahan sebelumnya, para pejabat AS menekankan bahwa pertemuan ini tidak ditujukan pada Tiongkok, dangan hanya dengan kuat mempromosikan perdagangan bebas TPP ( yang tidak termasuk Tiongkok) dan mendorong untuk melakukan tindakan kolektif dari ASEAN dalam hal isu Laut Tiongkok Selatan, namun pengamat melihat dalam menampilkan faktor Tiongkok tak terbantahkan selama petemuan.

Pada 16 Pebruari 2016, pertemuan merilis pernyataan bersama daftar prinsip-prinsip kunci yang dipimpin ASEAN untuk bekersama, termasuk pengabdian umum menjaga perdamaian regional, keamanan, dan stabilitas, menjaga kemanan maritim dan berbagai hal lainnya.

Yang menjadi kontras justru dengan isu Laut Tiongkok Selatan yang sebelumnya tidak pernah disebut-sebut oleh media AS.

Menurut beberapa peserta dari negara ASEAN yang menghadiri pertemuan ini, AS pernah sekali menyebutkan tentang Laut Tiongkok Selatan di pernyataan bersama, dan juga termasuk dalam serangkaian aturan yang telah direncanakan AS dalam dokumen.

Filipina pernah sekali berusaha untuk menyebutkan sengketa teritorial dengan cara lebih speksifik dan berharap untuk bisa menyelesaikan sengketa melalui arbitarase internasional, tapi ditentang oleh Laos, Kamboja dan beberapa negara ASEAN lainnya. Tanpaknya negara-negara ASEAN tidak tertarik dengan isu ini, karena untuk isu ini menurut pendapat negara-negara ASEAN masih banyak perbedaaan.

Yang dikhawatirkan analis dan pengamat dengan banyak perbedaan tentang isu Laut Tiongkok Selatan ini, maka sangat rawan akan menjadi permainan dari strategi AS untuk kembali ke Asia-Psifik. Yang pada akhirnya tidak menguntungkan bagi perkembangan dan stabilitas negara-negara ASEAN kelak.

Berdasarkan kepentingan strategis dari lokasi negara-negara ASEAN, pemerintah Obama mulai menggulirkan strategi untuk menyimbangkan kembali Asia-Pasifik dan melihat ASEAN sebagai titik strategis yang penting.

Menurut pengamat, sejak Obama menjabat presiden telah mengunjungi negara-negara ASEAN tujuh kali. Pada Nopember 2015, di ibukota Malaysia, Kuala Lumpur, AS mengumumkan pembentukan kemitraan baru dengan ASEAN.

Tiga bulan kemudian, AS kembali menggelar pertemuan dengan para pemimpin ASEAN di negaranya, berharap untuk mengejar sebelum masa habis jabatan Obama sebagai presiden untuk memperdalam hubungan bilateral.

Selain itu, Obama berusaha menggunakan kesempatan AS dalam mengadakan pertemuan dengan para pemimpin ASEAN di negerinya untuk mendorong penggantinya untuk melanjutkan bentuk kontak serupa, untuk memperkuat warisan politik strategi untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik.

Sehari setelah dirilis pernyataan bersama, juru bicara Kemenlu Tiongkok, Hong Lei menanggapi pada suatu konferensi pers rutin, Kita juga melihat selama pertemuan ini ada negara-negara tertentu berusaha mengsensionilkan isu Laut Tiongkok Selatan, tapi mayoritas negara-negara ASEAN tidak menarik untuk isu ini, karena mereka menyadari tindakan ini akan mengganggu perdamaian dan stabilitas kawasan ini, dan membahayakan kepercayaan politik timbal balik antara negara regional dengan negara-negara ASEAN, dan memainkan peran konstruktif dalam mempromisikan penyelesaian damai dalam sengketa terkait.

Selain dari itu, pada konferensi pers 16 Pebruari 2016, Obama mengatakan : Dalam rangka untuk memungkinkan semua negara ASEAN untuk bergabung dengan TPP, AS mulai mempromosikan tindakan untuk pemahami diri sendiri dan reformasi.

Saat ini, Brunei, Malaysia, Singapura, Vietnam telah bergabung dengan TPP. Kali ini untuk pertama kali Obama menyerukan enam negara-negara sedang berkembang lainnya, termasuk Laos untuk bergabung dengan TPP.

TPP adalah Perjanjian Trans-Pacific Partnership, versi awalnya adalah diadvoskasi dari empat negara Asia-Pasifik yaitu Selandia Baru, Singapura, Chili dan Brunei, dan begitu AS bergabung pada tahun 2009, AS memainkan peran aktif dan mau jadi pemimpin.

Tapi banyak pengamat dan analis melihat AS mempunyai maksud-maksud lain,  untuk menarik negara-negara ASEAN pada sisi TPP hanyalah salah satunya. Hal lain AS menawarkan untuk menyediakan keamanan, Hal ini juga dapat meningkatkan posisi diplomatik mereka jika berada pada sisinya,.

Ada juga tujuan lain yang terselubung, yaitu inflitrasi budaya dan personil, melalui LSM AS yang memang sudah sangat aktif di negara-negara ASEAN, sehingga memungkinkan untuk menggunakan banyak cara yang berbeda untuk mengontrol negara-negara ASEAN, dalam segi ekonomi adalah salah satunya.

Sementara AS berupaya keras mendorong untuk memajukan TPP, disamping itu juga mulai bernegosiasi untuk Trans Trade and Investment Partnership (TIPP).

Selama negosiasi TIPP, Uni Eropa dan AS akan menyumbang setengah dari total domestik Total PDB dunia, dan sepertiga dari total perdagangan global; dengan total perdagangan harian rata-rata 7 milyar USD dan saling  berinvestasi 3,7 trilyun USD.

Jika TIPP bisa tercapai, pengaruhnya akan melampaui TPP, secara luas itu akan mengubah aturan perdagangan dunia dan standar industri, serta tantangan quasi-perdagangan negara-negara sedang berkembang terutama negara-negara kelompok BRICS.

Jika AS berhasil melengkapi stategi tata-letak  strategis yang mencakup dua Samudra dari TPP  dan TIPP yang berpusat di sekitar kawasan perdagangan bebas Amerika Utara. AS akan memimpin Eropa dan Jepang untuk mendapatkan kembali keuntungan geopolitik global melalui integrasi perdagangan lintas nasional dan regional.

Untuk titik ini, selain Tiongkok dan negara BRICS, ekonomi utama dunia akan memasuki dua bidang perdagangan ini, lebih lanjut memperkuat AS memonopoli suara dalam merumuskan aturan perdagangan global, dan posisinya sebagai pemimpin ekonomi global akan lebih sulit untuk digoyang.

Menhan AS, Ashton Carter untuk strategi menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik mengusulkan untuk keamanan dan aliansi hanyalah satu aspek dan aspek yang lebih penting adalah TPP. Dia mengatakan TPP lebih bermetode dengan menggunakan militer untuk memperkuat untuk mencapai kerjasama ekonomi dengan negara-negara di kawasan Asia-Pasifik.

Sejauh ini untuk persaingan ekonomi AS tidak banyak memperoleh banyak keuntungan, tetapi untuk Tiongkok justru mendapat keuntungan besar. Jadi dengan memperkuat rencana TPP, maka pengaruh ekonomi dan kehadiran AS di kawasan Asia-Pasifik akan memperkuat posisinya dalam memimpin di kawasan tersebut, terutama dalam pembentukan peraturan ekonomi masa depan, dan situasi ekonomi masa yang akan datang.

Jadi itu sebabnya mengapa AS berupaya dengan semua cara itu dengan mendorong perjanjian TPP. Setelah mendorong perjanjian TPP, AS merasa waktunya telah benar. Sehingga AS kini akan mengatakan : “kalian baik-baik saja, sekarang yang memimpin adalah AS.”

AS pecaya dengan bisa menggoalkan metode ini, persaingan dengan Tiongkok di kawasan Asia-Pasifik akan berakhir pada keuntungan pada dirinya dan memperoleh keuntungan kembali. Ini adalah yang AS inginkan. Setelah ini semua tercapai, AS akan merasa itulah yang dimaksud dengan keseimbangan.

Tampaknya dalam menghadapi serial tindakan ekonomi AS, Tiongkok memilih untuk menghadapinya dengan sikap terbuka dan menerima.

Shen Danyang dari Departemen Pers Kementerian Perdagangan Tiongkok mengatakan, dalam kaitannya dengan semua pengaturan yang bermanfaat bagi kebebasan perdagangan global dan integrasi ekonomi regional FTA (Free Trade Agreement), Tiongkok mempertahankan sikap terbuka  selama pengaturan ini memang telah terbuka, dan menganut  prinsip-prinsip transparan.

AS berusaha untuk menarik negara-negara ASEAN untuk lebih dekat padanya, namun jarak antara sekutu-sekutu tradisonalnya belum diperpanjang.  Selain itu terus memperkuat aliansi AS-Jepang dan AS-Korsel dalam beberapa tahun terakhir ini, selain itu AS juga berupaya untuk menarik India berada pada sisinya.

Laksamana Harry Harris, Kepala Staf USPACOM, Komando Pasifik AS. Dai baru-baru ini mengusulkan pada 2 Maret 2016 di ibukota India, New Delhi untuk memulai kembali aliansi informal  antara AL Jepang, Australia, India dan AS.

AS telah beberapa kali membuat proposal untuk India yang berharap India akan bekerjasama dengan AL dari beberapa negara besar lainnya untuk menekan ekspansi maritim Tiongkok. Proposal ini merupakan yang terbaru yang dibuat Harris.

Namun, Menhan India, Manohar Parrikar menolak ajakan Harris untuk mengambil bagian dalam “patroli gabungan di Laut Tiongkok Selatan.” Dia mengatakan: “Pada saat ini, India tidak mempertimbangkan masalah patroli bersama.” Ketika ditanya oleh wartawan.

Menurut penglihatan analis sejauh ini strategi AS dibagi beberapa fase. Dengan kata lain, selama dua atau tiga tahun pertama dari strategi untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik, fokus kerjanya masih di Asia Timur Laut, terutama mencoba untuk  menarik Jepang untuk mau lebih melawan (menghantam) Tiongkok.

Kita bisa amati ketika strategi untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik diusulkan pada tahun 2010, Jepang terlihat mulai dengan menahan beberapa kapten kapal nelayan Tiongkok, melakukan beberapa hal-hal lain seperti berkoordinasi hubungan Jepang-Korsel, kemudian mengganjal hubungan Korsel-Tiongkok. Itu adalah fase yang diset sekitar setelah 2013, tapi AS tidak berhasil menarik mereka pada pihaknya.

Maka mereka beralih ke Asia Tenggara, ini mungkin adalah fase kedua. Pertama ke Asia Timur Laut kemudian ke Asia Tenggara. Berikutnya ada fase lain, dimana berharap mungkin bisa mendapatkan negara-negara regional ekstra yang bisa  berada pada sisinya, seperti Jepang, Australia, dan India, dan menciptakan versi NATO - Asia yang lebih kecil, dan ini mungkin fase dari proses ini sekarang.

Sebagai satu-satunya “superpower” dunia, strategi internasional AS selalu menjadi fokus perhatian dari akademik internasional.

Penyesuaian strategi internasional AS biasanya memiliki makna global. Investasi dari militer AS dan sumber daya strategis memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keamanan dan ketertiban dari berbagai daerah di seluruh dunia.

Namun itu harus dilihat dari rentang waktu yang lebih luas. Saat ini kita bisa melihat dengan Tiongkok dan Asia Timur yang terus meningkat proporsi dalam struktur kekuasaan global, pemerintahan Obama berharap  untuk menggunakan strategi untuk “menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik” untuk terus memperluas pengaruh AS di Asia-Pasifik, sehingga bisa menekan bangkitnya Tiongkok.

Yang dikhawatirkan justru ini akan menjadi titik awal yang menyebabkan ketidak-seimbangan di kawasan Asia-Pasifik. Lalu kertidak-seimbangan macam apa yang akan timbul disebabkan dengan strategi AS untuk “menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik” ? Dan bagaimana hal itu akan mempengaruhi AS sendiri?

Pada 5 Maret 2016, Dubes AS di Tiongkok, Cui Tiankai, memberi respon dengan “militerisasi” dari isu Laut Tiongkok Selatan dimana AS telah melakukan provokasi sensasional baru-baru ini. Memberi komentar : “hal ini secara resmi disebut strategi untuk “menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik.” Saya pikir jika ini “menyeimbangkan” hanya dilakukan oleh militer AS sendiri dan tanpa pertimbangan kebutuhan strategis, dan tanpa mempertimbangkan negara-negara di kawasan itu, maka itu adalah tidak-seimbang.”

Lebih lanjut dikatakan : “Jika hanya untuk mendapatkan beberapa sekutu atau teman-teman disisinya untuk menekan Tiongkok, dan tidak membangun hubungan timbal balik yang konstruktif dengan Tiongkok di Asia-Pasifik, itu juga disebut tidak-seimbang. Jadi meskipun AS mengatakan itu adalah “menyeimbangkan kembali,”  jika ada kesalah pahaman atau kesalahan menilai, atau bertindak keliru, pada akhirnya, itu mungkin merupakan “ketidak-seimbangan.”

Namun yang bisa dilihat, dengan intervensi AS dalam urusan Asia-Pasifik, negara yang mengalami “ketidak-seimbangan” menjadi makin terlihat. Efek samping ini muncul lebih umum di Tiongkok dan hubungan interaktif Tiongkok dengan AS.

Rancangan dasar dari strategi AS ini dipromosikan untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik. AS di satu sisi ingin berkerjasama dengan Tiongkok, meskipun tidak berbicara banyak tentang hal itu, dan setuju dengan tidak membawa hubungan superpower dengan Tiongkok dan mempertahankan situasi ini dari kerjasama dan berkompetisi.

Namun apa yang bisa dilihat karena terlalu berfokus pada bermain untuk keunggulan,  maka yang terjadi memperkuat dalam bidang militer dan keamanan, Jika ini dilakukan terlalu banyak, itu akan menciptakan ketidak-seimbangan.   

Dan ini semua yang bisa dilihat oleh masyarakat internasional, termasuk adanya kritik dalam negeri AS sendiri yang mengatakan, bahwa AS telah melakukan hal ini yang menyebabkan situasi demikian. Jika ini terjadi akan sunguh-sunguh tidak menguntungkan., dan hubungan Sino-AS akan hancur, dan situasi ini tidak dalam kepentingan AS.

Aspek lain adalah di mata banyak analis, Strategi AS “untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik” bukan hanya strategi militer, tetapi strategi nasional dimana militer hanya salah satu bagian darinya. Ada juga berbagai aspek seperti ekonomi, politik, sistem aliansi dan diplomasi, tetapi AS hanya berfokus pada militer. Ini mencerminkan “ketidak-seimbangan” AS dalam mentalitas Asia-Pasifik.

Karena dalam benak AS hanya berpusat pada Amerika, sehingga menganggap kebangkitan dan berkembangnya Tiongkok telah merusak keseimbangan asli, sehingga berupaya mengguna beberapa cara dan metode aneh untuk mengembalikan keseimbangan yang ada dalam benak pikirannya. Sehingga menganggap legal bahwa segala permintaan Tiongkok yang wajar dipandang ketidak-seimbangan.

Ini oleh para analis dinilai tidak benar, mengingat Tiongkok adalah negara yang terdiri dari 1,4 milyar populasi, AS seharusnya tidak bertindak irasioanil. AS manabur perselisihan di kaswasan ini, dan mengipasi api dan menciptakan kotak-kotak. Dan mempercayai strteginya untuk keseimbangan namun kenyataanya akan menciptakan konflik. Maka logika Dubes AS di Tiongkok Cui Tiankai benar. AS ingin mengembalikan keseimbangan yang berpusat di sekitar pada dirinya, tapi prasyaratnya  adalah menyangkal kebutuhan keseimbangan yang wajar bagi Tiongkok dan negera-negara lain di kawasan ini, dan pada akhirnya ini adalah tidak realistis.

Bahkan beberapa ahli mengatakan bahwa “kembali ke Asia-Pasifik” yang banyak dibicarakan Obama sudah menjadi warisan penting selama dia menjabat presiden selama 8 tahun, tidak perduli apapun dia akan betahan untuk itu samapai akhir.

Namun banyak analis yang percaya bahwa ini adalah salah penilaian strategis terbesar selama Obama berkuasa, dikhawatirkan kawasan Asia-Pasifik akan menjadi lebih bergejolak.

Dalam situasi dimana mempromosikan “strategi untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik” tidak berjalan dengan baik, apa yang bisa dilakukan AS hanyalah suatu janji-janji kosong. 

Semakin AS mengebu melakukannya semakin terjadi penentangan yang terjadi. Dan pada titik itu kreditbilitas AS akan menjadi hal pertama yang rusak, seperti misalnya saat AS berkeingin keras memenangkan kepercayaan dari sekutunya di Asia-Pasifik.

Berdasarkan pandanganan beberapa analis tampaknya adanya pemahaman lingkaran dari strategi, ini ada kesalahan penilaian dari strategis AS. Di AS tidak saja banyak yang sensasionil di kalangan politisi dan para ahli strategis, dan juga yang sangat pengalaman yang percaya bahwa Tiongkok itu lawan bukan mitra. Sehingga ingin memperkuat penyebaran pasukan AS dan memperkuat sistem aliansi untuk menghadapi Tiongkok.

Tapi bagaimanapun kesalahan penilaian ini akan berdampak pada perdamaian dan stabilitas regional, serta perkembangan normal Tiongkok, yang pada akhirnya tidak menguntungkan bagi kita yang berada di di kawasan tersebut.

Paling-paling AS akan berhasil dalam taktik tapi tidak secara strategi, nyatanya selama ini kebangkitan dan perkembangan Tiongkok tidak terbendung oleh upaya AS ini.  Sehingga ada analis yang mengatakan : “Ini bukan lagi dunia masa lalu, tetapi AS masih tetap bersikap sama.” Hegemoni permanen tidak ada di dunia, demikian juga kemakmuran tidak akan terus permanen bagi banyak negara.

Filosofi strategi AS menunjukkan masih tercermin karakterik Perang Dingin, dan berpikir antagonis. Pikiran demikian menyebabkan ketidak pastian untuk meningkatkan seluruh situasi regional terutama di Asia-Pasifik. Jika AS tidak mau mengakui prinsip ini, dan bertindak atas kemauannya sendiri. Maka AS akan tidak mampu lolos dari jebakan kesulitan sifat hegmoninya. Karena semua belenggu dan rencana penyergapan terhadap suatu negara apapun akan sia-sia, karena kita sedang berangan-angan suatu Asia-Pasifik yang damai dan sejahtera secara umum.

Sumber : Media TV dan Tulisan Dalam dan Luar negeri

Sucahya Tjoa
21 April 2016

No comments:

Post a Comment