Sumber: www.haaretz.com
Dari tahun 2011
hingga 2018, kekacauan di Suriah telah berlangsung selama tujuh tahun. Hari
ini, provinsi Idlib adalah pangkalan terakhir bagi kelompok militan oposisi dan
ekstremis di Suriah.
Krisis dimulai
di Provinsi Daraa, Suriah selatan, dan tampaknya akan berakhir di Provinsi Idlib
di barat laut Suriah. Karena itu,
pertempuran Idlib telah disensasionalkan oleh dunia luar sebagai "pertempuran
terakhir."
Jadi, berapa
banyak pemain yang ada di belakang layar pertempuran terakhir ini? Apa jenis
konvergensi kepentingan rumit yang dimiliki mereka? Dan siapa yang memegang
kunci untuk masa depan Idlib dan semua Suriah?
Pasukan oposisi,
militan ekstremis, dan zona-zona de-eskalasi konflik — ini semua adalah kata
kunci untuk Provinsi Idlib. Idlib terletak di Suriah bagian utara, di
perbatasan Turki. Wilayah ini memiliki luas 1.437 kilometer persegi dan populasi
lebih dari 3 juta orang.
Sebelum kita
membahas lebih lanjut, pada 24 September lalu, Menteri Pertahanan Rusia Sergey
Shoygu mengumumkan bahwa Rusia akan mengirim sistem rudal anti-udara S-300 ke
Suriah dalam waktu dua minggu. Dan kini kabarnya sistem pertahanan udar aini
elah terkirim ke Suriah.
Sistem
anti-rudal S-300 dapat mencegat senjata serangan udara dalam jangkauan 250 km,
dan menyerang beberapa sasaran, itu adalah serangkaian sistem rudal
permukaan-ke-udara Rusia yang cukup canggih, dan memiliki beberapa kemampuan
yang setara dengan sistem rudal permukaan-ke-udara AS Patriot AS.
Sehubungan
dengan hal ini, AS dan Israel keduanya menyatakan bahwa tindakan Rusia ini akan
sangat memungkinkan meningkatkan ketegangan di Suriah.
Sebenarnya pada
tahun 2013, Rusia telah menghentikan niat memasok S-300 ke Suriah atas
permintaan Israel, tetapi situasi saat ini telah berubah, dan Rusia merasa tidak
bersalah. Rusia juga mengatakan bahwa tindakan ini dilakukan hanya untuk
"menjamin keamanan militer Rusia." Berubahan sikap tersebut
disebabkan peristiwa yang terjadi pada 17 September lalu.
Peristiwa Tertembak Jatuhnya Pesawat Militer Rusia
IL-20
Pada 17
September lalu, sekitar jam 11 malam di kota Lattakia, di wilayah barat yang
dikontrol pemerintah Sryia. pesawat militer AU-Rusia IL-20 ditembak jatuh
ketika sedang turun, dan semua 15 personel militer Rusia di pesawat ini tewas.
Pesawat ini
tertembak oleh roket dari sistem rudal anti-udara Suriah S-200, yang sebenarnya
menargetkan untuk pesawat Israel.
Igor
Konashenkov, Juru Bicara Departemen Pertahanan Rusia, mengatakan: “Pilot Israel
menggunakan pesawat Rusia sebagai perisai dan mendorongnya ke garis tembakan
pertahanan Suriah. Pesawat militer IL-20 memiliki penampang yang cukup besar,
sehingga tertembak.”
Sumber: Grabed
from: RT youtube.com
Pada 24
September, Menteri Pertahanan Rusia Sergey Shoygu mengatakan bahwa Rusia akan
menyediakan militer Suriah dengan sistem anti-rudal S-300 sebagai tanggapan
atas perilaku provokatif AU-Israel yang menyebabkan tertembaknnya pesawat militer
Rusia ini.
Jika Suriah memiliki
sistem S-300, itu berarti jet tempur F-16 Israel akan menghadapi bahaya
ditembak jatuh. Pada saat yang sama, juga akan mampu mencegat rudal balistik
pada jarak lebih dari 150 km.
Jika ini
terjadi, dominasi Angkatan Udara Israel di wilayah udara Timur Tengah akan
hancur, tidak akan pernah kembali.
Presiden Turki Berunding di Sochi, Rusia
Tepat pada hari
17 September ini, pada hari yang sama ketika pesawat militer Rusia ditembak
jatuh, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan tiba di Sochi, Rusia, bertemu dengan
Presiden Rusia Vladimir Putin.
Ini adalah
pertemuan kedua antara Presiden Rusia Putin dan Presiden Turki Erdogan dalam
sepuluh hari. Setelah 4,5 jam pertemuan tertutup, kedua pihak akhirnya mencapai
kesepakatan tentang isu Provinsi Idlib.
Usai pertemuan,
Erdogan mengatakan: “Kami memutuskan untuk menetapkan zona bebas senjata antara
wilayah yang dikuasai oleh oposisi dan oleh rezim (di Suriah).” Dan Putin juga
mengatakan: “Kami telah memutuskan untuk membentuk zona demiliterisasi sebelum
15 Oktober di sepanjang 15 hingga 20 km sepanjang bidang interaksi antara
oposisi dan militer, untuk memaksa keluar militan ekstremis, termasuk Front
al-Nusra.”
Putin mengatakan
bahwa ini sebagai bagian dari pemecah kebuntuan, selanjutnya tank, artileri,
dan senjata berat lainnya akan ditarik keluar dari wilayah ini sebelum 10
Oktober. Zona militer akan dipatroli dan diawasi oleh militer Rusia dan Turki.
Sehubungan
dengan perjanjian ini, "Russia Today" percaya hal ini merupakan kompromi
yang dibuat oleh Putin. Tetapi Turki percaya bahwa ini adalah
"kemenangan" terbesar yang telah dicapai dalam kebijakan Suriah
selama bertahun-tahun.
Huseyin Bagci,
Prof. Hubungan Internasional di Universitas Teknik Timur Tengah, Turki,
mengatakan: “Saya pikir ini adalah salah satu keberhasilan luar biasa dari
kebijakan luar negeri Turki di tahun-tahun terakhir, untuk mencapai kesepakatan
dengan Rusia, berarti bencana kemanusiaan telah dilindungi. Dua kali pertemuan
presiden ini menunjukkan sekali lagi bahwa Turki masih menjadi salah satu
pemain kunci.”
Semua pihak dari
yang berkonflik untuk masalah Suriah telah menyatakan menyambut baik untuk zona
penyangga. Adapun Suriah sendiri, juga telah mengeluarkan pernyataan menyambut baik
pembentukan zona demiliterisasi di Provinsi Idlib.
Sekarang,
setelah tercapai kesepakatan untuk membentuk zona demiliterisasi, pertama-tama,
ketika menyangkut untuk keuntungan Turki, secara politis, operasi militer
berskala besar itu telah dapat ditunda tanpa batas. Kedua, posisi dan peran Turki
serta ruang lingkup kekuasaannya di Idlib pada dasarnya telah diakui. Ketiga,
itu berarti bahwa untuk masalah apa pun dengan Idlib di masa depan, tidak
peduli ke arah mana hal itu akan diselesaikan, Turki akan memiliki suara yang kuat.
Jika Turki tidak menyetujui sesuatu, maka tidak ada solusi yang bisa
diterapkan. Itulah yang telah diperoleh Turki.
Apa yang
diperoleh Rusia adalah menghindari kesalahan strategis, dan itu telah mendinginkan
situasi lagi pada saat yang kritis.
Selama 7 tahun Perang Sipil Suriah, pasukan oposisi,
militan ekstremis, dan zona-zona de-eskalasi konflik semua ini akan menjadi
kata kunci untuk Provinsi Idlib.
Sumber: Holistic
Integrated Health
Pada Mei 2017,
untuk mengakhiri perang sipil Suriah, Turki, Rusia, dan Iran berkonsultasi dan
mendefinisikan empat zona de-eskalasi konflik di Suriah yang terletak di Idlib,
Homs utara, Ghouta timur di Damaskus, dan Daraa dan Quneitra.
Selama lebih
dari setahun, dengan bantuan Rusia dan Iran, tiga zona de-eskalasi konflik
lainnya di Homs, Ghouta timur, dan Daraa dan Quneitra secara berurutan dibebaskan
oleh militer Suriah, dan dalam pertempuran itu, militan oposisi yang bersedia
menyerah, semuanya diizinkan untuk pindah ke Idlib, jadi Idlib menjadi
"kamp besar" terakhir dari militan oposisi Suriah.
Dan menurut
kesepakatan Astana tentang isu Suriah yang dicapai pada September 2017, Turki
adalah penjamin zona de-eskalasi Idlib, sehingga mengontrol dan melakukan patroli
ke pasukan oposisi moderat di Idlib. Karena itu, Turki dapat dikatakan sebagai
mitra kunci dalam mempengaruhi situasi Idlib.
Pada 7
September, tiga pemimpin Rusia, Turki, dan Iran bertemu di ibukota Iran Tehran
untuk membahas masalah Suriah. Pertempuran untuk Idlib tidak diragukan lagi
menjadi fokus dari pertemuan ini.
Untuk isu Idlib,
ketiga pemimpin mengungkapkan perbedaan besar dalam pendapat mereka. Rusia
percaya bahwa teroris di Idlib sedang berusaha untuk mengganggu gencatan
senjata, dan melaksanakan dan merencanakan berbagai kegiatan provokatif,
termasuk menggunakan senjata kimia, sehingga misi utama mereka pada saat
sekarang pada waktunya seharusnya untuk mengeliminasi militan bersenjata di
Idlib.
Iran, juga
mengatakan bahwa operasi Idlib adalah bagian dari perang melawan teror. Namun
Turki menyarankan untuk mengumumkan gencatan senjata di Provinsi Idlib dan
mengakhiri semua serangan terhadap kawasan itu.
Jadi, pertemuan
antara tiga kepala negara di Teheran ini tidak menyelesaikan masalah ini.
Pemerintah Suriah dan Rusia telah terlibat mendalam di pertempuran, kini apakah
Idlib harus diperangi atau tidak. Mempertimbangkan
gambaran besar, dari perspektif mempertahankan posisi Presiden Suriah Bashar
al-Assad untuk memerintah, tentu saja, hal yang paling menguntungkan jika terlibat
dan mampu berhasil dalam pertempuran untuk Idlib.
Namun, ketika
semua sedang menerka-nerka saat pertempuran akan pecah, situasi tiba-tiba
berbalik, karena zona demiliterisasi didirikan pada 17 September. Dunia mau
tidak mau bertanya-tanya, apa yang menyebabkan konflik ini pecah?
Analis
memperkirakan alasan situasi telah berubah begitu tiba-tiba, karena
pertimbangan Turki dan Rusia telah dapat menemukan titik temu yang dapat mereka
kompromikan. Kompromi ini memenuhi masalah paling penting dari kedua belah
pihak. Yang dipedulikan Turki adalah bahwa pasukan mereka tidak dapat dihapuskan,
dan harus tetap ada di Idlib, untuk sebagian besar. Turki ingin memiliki suara
penting dan kuat untuk tren masa depan Suriah.
Perhatian utama
Rusia juga terpuaskan. Kita tahu bahwa mereka ingin membentuk zona
demiliterisasi, dan kemudian menyaring apa yang disebut Rusia sebagai teroris,
atau apa yang secara internasional diakui sebagai terorisme internasional, dan
ingin memindahkan mereka ke utara, menjauh dari koridor aman zona
demiliterisasi.
Berdasarkan
perjanjian Rusia-Turki, semua militan kelompok ekstremis, termasuk Front
al-Nusra, harus benar-benar mundur. Menurut data yang diberikan Turki kepada
“Pusat Studi Strategis Timur Tengah,” saat ini ada 80.000 hingga 90.000 militan
di Idlib, termasuk 50.000 hingga 60.000 militan oposisi yang didukung oleh
Turki. Sisanya 30.000 atau lebih adalah militan radikal atau anggota kelompok
teroris.
Bagian besar
yang diakui sebagai teroris, dikatakan mencapai puluhan ribu. Turki pasti tidak
akan mau menerima merka, lalu mau dikemanakan orang-orang ini berikutnya. Untuk
didesak ke utara Idlib, itu adalah tempat yang sangat kecil, jadi bagaimana
orang-orang ini harus berlindung di sana? Akankah orang-orang ini patuh
mematuhi perjanjian, dan meletakkan senjata berat mereka dan pergi ke utara?
Ini semua adalah faktor yang masih belum diketahui.
Selain dari
kelompok ekstrimis seperti Front al-Nusra dan Negara Islam, masih ada kelompok
lain yang biasa disebut sebagai militan oposisi di Suriah.
Menurut
perjanjian ini, militan oposisi di Suriah perlu dilucuti senjata utama mereka,
tetapi bagaimana ini akan tercapai? Jadi masih banyak ketidakpastian.
Pada 20
September, sekutu militer Suriah, Hizbullah di Lebanon, mengatakan bahwa mereka
akan mengurangi jumlah pasukannya di Suriah untuk menyambut perjanjian Idlib
yang dibuat oleh Rusia dan Turki.
Selama ini
Hizbullah di Lebanon memiliki hubungan yang paling dekat dengan Iran, beberapa
analis percaya bahwa meskipun Hizbullah di Lebanon telah mempertahankan kunci
rendahnya, Iran akan tetap memainkan peran penting dalam pertempuran masa depan
untuk Idlib, dan kepentingannya mungkin yang kedua setelah Turki.
Untuk situasi
masa depan di Idlib, pemerintah Iran dan Suriah mungkin akan sebagai pendukung
terbesar dari serangan militer di Idlib, dan merebutnya kembali dengan
kekerasan, kecendrungan Iran bahkan lebih ingin merebut kembali Idlib dengan
kekuatan daripada pemerintah Suriah .
Dalam proses ini
Iran terlibat dalam gejolak di Suriah, AS secara sepihak menarik diri dari
kesepakatan nuklir Iran, dan AS memberikan tekanan maksimum pada Iran dengan
persyaratan 12 kondisi.
Salah satu dari
12 kondisi ini mengakhiri kehadiran militernya di Suriah. Untuk mengakhiri
kehadiran militernya di sana, seharusnya tidak terlalu sulit bagi Iran. Karena
pertimbangannya dapat dengan mudah mengirim kembali militernya ketika
diperlukan.
Dan untuk AS,
dalam kenyataannya, sebelum perjanjian Rusia-Turki, AS tahu mereka memiliki
pilihan terbatas di Suriah. Menurut "Chicago Tribune" yang berbasis
di AS, AS telah berada di pinggiran untuk situasi Suriah sementara waktu ini.
Sekarang, Rusia
dan Iran telah menempatkan dirinya di Suriah, dan pengaruh AS di Suriah sangat terbatas.
Selain melakukan kecaman dan ancaman militer, AS masih tetap menempatkan lebih
dari 2.200 tentara di Suriah timur, yang mungkin merupakan salah satu kartu chip
terbatas yang dimiliki AS.
Meskipun AS
adalah peserta penting dalam isu Suriah, kita tahu bahwa selama lebih dari
tujuh tahun, AS tidak dapat menemukan metode yang efektif untuk dirinya sendiri
di Suriah.
Selama pada
tahun-tahun awal krisis Suriah, AS menggunakan militan oposisi moderat sebagai
metodenya untuk terlibat di Suriah, tetapi setelah itu, karena tidak mampu
menopang kepada militan oposisi moderat, kebijakan AS ini menuju kegagalan.
Itu sebabnya AS
mengalihkan perhatiannya ke militan Kurdi di Suriah. Tetapi pada saat yang
sama, dukungan AS pada militan Kurdi sebenarnya menyebabkan kebencian yang
intens dari Turki.
Aspek lain, militan
Kurdi sebagian besar menetap atau pasukan mereka terutama difokuskan di Suriah
utara, jadi ketika menyangkut isu Idlib, AS telah memainkan peran pendukung.
Sejak 30
September 2015, setelah Rusia melakukan intervensi militer, Rusia telah
memainkan peran yang semakin penting di medan perang utama Suriah, dan pada
titik ini, mereka berada di posisi terdepan. Jadi ketika pertempuran terakhir
Idlib terjadi, kemampuan AS untuk melakukan intervensi langsung akan sangat
terbatas.
AS dan Turki
adalah sekutu NATO, tetapi sejak tahun 2016, ketika kudeta militer yang gagal
terjadi di Turki, hubungan AS-Turki telah mendingin, karena konflik yang
meningkat ini, secara tidak langsung telah mendorong Turki dan Rusia untuk
tumbuh lebih dekat.
Sejak Agustus
tahun ini, khususnya, setelah AS mengumumkan sanksi terhadap Rusia dan Turki,
frekuensi interaksi tingkat senior antara Turki dan Rusia meningkat, dan
hubungan mereka kembali menjadi baik dan hangat.
Sehubungan
dengan hal ini, “Financial Times” yang berbasis di Inggris memperingatkan:
“Kebijakan keras luar negeri AS mendorong Turki langsung ke pelukan Rusia, dan
Erdogan akan mencari sekutu lain, di mana akan ada aliansi geopolitik yang akan
tidak disenangi Barat."
Sekarang, lawan
AS bukan hanya negara tunggal yang secara bertahap menduduki posisi
kepemimpinan di Suriah — kini adalah aliansi politik dengan suara yang lebih
kuat.
Kombinasi
interim kepentingan antara Rusia, Turki, dan Iran mungkin utilitarian, tetapi
saat ini, integrasi dan kombinasi kepentingan antara ketiga negara ini memiliki
ruang yang sangat besar untuk tumbuh, jadi tidak hanya kelompok ini tidak dapat
dihabisi saat sekarang, bahkan akan memiliki vitalitas yang pasti di langkah
berikutnya.
Sumber motivasi
terbesar untuk kombinasi ini adalah bahwa ketiga negara memiliki konflik yang
mendalam dengan AS, di mana konflik Rusia dan Iran dengan AS bersifat
struktural dan pada dasarnya tidak terpecahkan.
Ini menunjukkan
bahwa dalam pengelompokan utilitarian ini, Turki menjadi kunci apakah
pengelompokan ini bisa ada, dan poin-poin utama pertikaian dalam konflik antara
AS dan Turki tidak berumur pendek atau dapat dipecahkan.
Salah satu
contoh adalah bagaimana Turki menuntut AS agar mengakhiri dukungannya untuk
federasi di Suriah utara, dan meninggalkan dukungannya untuk Partai Uni
Demokrat, Unit Perlindungan Rakyat Kurdi, dan Unit Perlindungan Perempuan Kurdi,
tetapi AS tidak akan melakukan itu, karena daerah ini menjadi tempat dimana
kehadiran militer AS bergantung padanya. Dan jika itu masalahnya, akan sulit
bagi AS untuk membubarkan atau memecah kelompok kepentingan ini.
Tampaknya untuk mulai melakukan serangan perang
sangat sederhana, tetapi untuk mengakhiri perang sering kali melampaui yang
bisa dikendali orang.
Krisis yang
menyakitkan dan merusak di Suriah ini terjadi sangat panjang dan
berlarut-larut. Dari Ghouta timur hingga Afrin, dari politisasi
humanitarianisme hingga ancaman senjata kimia secara konstan, situasi kacau ini
dan kontes antara semua pihak di belakang mereka telah menjadi cermin miniatur
dari kekacauan di Suriah itu sendiri.
Banyak orang
pesimis, mereka percaya bahwa jika "pertempuran terakhir" benar-benar
dimulai, akan sulit untuk "membersihkan" situasi Suriah.
Lalu bagaimana masa depan Suriah?
Dari tanggal 1
hingga 8 September, Rusia mengadakan latihan militer skala besar di Laut
Mediterania. Laporan mengatakan bahwa latihan ini memobilisasi 34 pesawat, dan
26 kapal perang dan kapal-kapal, merupakan latihan militer terbesar di Timur
Tengah sejak Rusia mengerahkan pasukan ke Suriah pada tahun 2015. Itu juga
merupakan pengumpulan terbesar AL-Rusia di Laut Mediterania sejak akhir Perang
Dingin.
Dan tujuan dari
latihan ini, menurut komentar langsung dari Sekretaris Pers Kremlin Dmitry
Peskov, adalah "ditujukan untuk pertempuran di Idlib."
Pada 9
September, Angkatan Udara Rusia dan militer Suriah terus melakukan serangan
udara terhadap pangkalan militan oposisi di Provinsi Idlib, serta Provinsi Homs
di Suriah tengah. Ini adalah operasi baru setelah pesawat Rusia melakukan
serangan udara terhadap fasilitas kelompok ekstremis di Provinsi Idlib pada 4
September lalu.
Namun dalam
aspek lain, kekuatan militer Barat yang dipimpin oleh AS juga terus aktif saat
ini.
Sejak Agustus, kapal
perusak Sullivan AS mencapai Teluk Persia, pesawat-pesawat pengebom B-1B telah
dikerahkan ke pangkalan udara Al Udeid di Qatar, dan kelompok penyerangan yang
dipimpin oleh kapal induk bertenaga nuklir USS Harry S. Truman memasuki
perairan di sekitar Suriah.
Situs CNN-AS
bahkan mengungkapkan target militer AS telah dirancang untuk serangan terhadap
pemerintah
Suriah.
Presiden Suriah
Bashar al-Assad mengatakan: Dengan
setiap langkah maju di medan perang, dengan setiap kemenangan, dengan setiap
wilayah yang dibebaskan, kita bergerak lebih dekat ke ujung konflik.
Presiden Suriah
Bashar al-Assad dan beberapa pejabat senior telah menyatakan dengan jelas pada
berbagai kesempatan bahwa saat ini, misi utama pemerintah Suriah adalah
membebaskan Idlib baik secara damai atau militer, dan bahwa semua wilayah
Suriah harus direbut kembali.
Pertempuran untuk Idlib akan segera dimulai.
Jika operasi ini
(Idlib) dimulai, untuk perbandingan kekuatan, kemenangan pemerintah Suriah dan
kekalahan militan oposisi tidak bisa dihindari. Dalam hal kekuatan dengan
dukungan Rusia, militer Suriah memiliki keunggulan luar biasa, sehingga untuk memperoleh
kemenangan tidak akan menjadi masalah.
Di Suriah, di
balik setiap operasi militer adalah perjuangan politik. Tidak seperti situasi
sebelumnya di Daraa dan Ghouta Timur, situasi Idlib telah mendapat perhatian
komunitas internasional sebelum dimulai. Bahkan Dewan Keamanan PBB telah
bertemu beberapa kali mengenai isu Idlib.
Dan karena Idlib
melibatkan kepentingan Suriah, Rusia, Turki, Iran, dan AS, pertempuran untuk
Idlib dapat dikatakan memiliki efek riak bagi semua negara-negara ini. Bahkan
bisa dikatakan bahwa perkembangan situasi Idlib terkait langsung dengan arah
masa depan nasional Suriah, dan arah masa depan nasional Suriah secara langsung
terkait dengan restrukturisasi tata ruang kawasan Timur Tengah.
Mengapa kita mengatakan bahwa arah situasi Suriah
secara langsung mempengaruhi tata ruang Timur Tengah di masa depan?
Kita harus
memahami bahwa dengan pembentukan masa depan dan arah nasional Suriah, jika
Iran unggul, maka itu akan menjadi kekuatan regional. Di antara kekuatan
ekstra-regional, jika Rusia menang, maka tata ruang kawasan Timur Tengah di
masa depan jelas akan memiliki bobot Rusia tertentu, dan itu akan menjadi akhir
alternatif. Jika AS mendapatkan peran utama dalam pembentukan masa depan
nasional Suriah, atau negara-negara Barat memiliki suara penting, dan
negara-negara regional seperti Turki dan Arab Saudi juga memiliki suara, maka
itu akan menjadi arah lain untuk tata ruang regional di masa depan.
Dalam buku
"The Clash of Civilizations and Remarking of World Order", ilmuwan
politik AS Samuel P. Huntinton mendefinisikan "konflik garis patahan (fault
line conflicts )" antara peradaban dengan tiga tingkatan: pihak-pihak yang
sebenarnya melakukan pertempuran dan pembunuhan; negara-negara yang secara
langsung terkait dengan negara-negara mengambil bagian dalam perang; dan
negara-negara inti tingkat atas. Jika negara-negara inti tingkat atas tidak
memiliki kepentingan untuk mengakhiri perang, maka konflik akan terus
berlanjut. ”
Melihat pada awal
krisis Suriah, jika para peserta dibagi menjadi tiga lapisan, kelompok-kelompok
ekstremis yang telah kalah, adalah tingkat terendah — tingkat yang berjuang dan
saling membunuh, dan pihak-pihak lain pada tingkat yang sama itu adalah
pemerintah Suriah, Hizbullah di Lebanon, militan oposisi, kelompok teroris
Front al-Nusra dan Pasukan Demokrat Suriah yang dipimpin oleh militan Kurdi.
Di atas ground
level adalah negara-negara terkait, termasuk Iran, Turki, Israel, Arab Saudi,
dan negara-negara Teluk lainnya, di mana, sebagian besar pihak terkait telah
secara langsung berpartisipasi dalam gejolak Suriah dan mendorong perkembangan
situasi ke depan.
Namun, meskipun
mereka memiliki pengaruh yang cukup besar pada situasi Suriah, negara-negara
tetangga dengan kepentingan tidak dapat mengendalikan arah akhir dari situasi
Suriah, karena di tingkat atas adalah kontes antara dua kekuatan global utama
Rusia dan Amerika Serikat.
Sumber: Grabed
& Ilustrasi dari CCTV China
Tetapi situasi dalam beberapa tahun terakhir telah
berbalik arah, karena kekuatan utama di medan perang Suriah telah secara
bertahap ditarik.
Mantan Presiden
AS Obama ketika masih menjabat mengatakan: Saya tidak akan menaruh sepatu
(pasukan) Amerika di tanah Suriah. Saya tidak akan meneruskan aksi terbuka
seperti Irak atau Afghanistan.
Presiden AS
Donald Trump mengatakan: Kita akan segera keluar dari Suriah. Biarkan orang
lain mengurusnya sekarang.
Pada 14 Maret
2016, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan: Saya percaya bahwa Kementerian
Pertahanan dan angkatan bersenjata kita telah menyelesaikan misi keseluruhan
yang ditugaskan kepada mereka, dan karena mereka, saya memerintahkan
Kementerian Pertahanan untuk mulai menarik pasukan utama kita dari Suriah mulai
besok (15 Maret 2016) .
Kita bisa
melihat isu yang terjadi di Timur Tengah sekarang dapat dikatakan sangat langka
secara historis. Dapat dikatakan bahwa Timur Tengah adalah tempat kontes antara
kekuatan utama, tetapi itu adalah kebalikannya sekarang. Demikian para analis
melihatnya sekarang.
Sekarang, semua
kekuatan utama menarik diri, dan kekuatan mereka relatif kurang dari
situasinya. AS mundur. Di permukaan, Rusia tampaknya menyerang di Timur Tengah,
dan terus-menerus memperluas investasinya di Suriah, tetapi dalam kenyataannya,
kekuatan Rusia sangat terbatas, bahkan jika mereka memiliki keinginan, dapat dikatakan
bahwa itu tidak cukup kekuatannya.
Ketika
menyangkut kekuatan utama, negara-negara Eropa tidak memiliki cukup keinginan
atau kekuatan yang cukup, sehingga Timur Tengah relatif kurang memiliki
kekuatan dari negara-negara utama.
Dengan kurangnya
kekuatan dari negara-negara utama, fenomena lain yang tidak biasa muncul —
“pemain” lokal sedikit menggigit.
Sejak Kekaisaran
Ottoman bubar 100 tahun yang lalu, sekarang, ini adalah pertama kalinya dalam
100 tahun bahwa Turki telah mengirimkan militernya kembali ke negara Arab.
Kita juga bisa
berbicara tentang Israel, yang juga tidak biasa setelah 60 tahun. mereka tidak
pernah terlibat dalam pengeboman sewenang-wenang, terbuka, dan ceroboh ke
negara Arab seperti sekarang.
Iran juga sama.
Selama lebih dari 1.000 tahun, dikatakan bahwa Persia dan Syiah belum pernah berada
di jantung kawasan Arab seperti yang mereka lakukan hari ini. Jadi
kenyataannya, keduanya saling melengkapi. Itu karena kurangnya kekuatan dari
negara-negara utama, sehingga kekuatan-kekuatan regional menggigit sedikit dan
ingin mendapatkan untuk kepentingan mereka sendiri atau untuk mengisi
kekosongan politik yang sedang muncul.
Pada akhir 2010,
saat gerakan "musim semi Arab"
menyapu Timur Tengah dan Afrika Utara, dan pada Maret 2011, meletus protes di Suriah.
Karena kepentingan mereka, protes pada saat itu digunakan oleh banyak pihak,
termasuk negara-negara Barat, tetapi setelah tujuh tahun konflik, mereka telah
berevolusi menjadi konflik antara etnis, agama, dan sekte keagamaan.
Dari gerakan
otonom suku Kurdi sampai munculnya fundamentalisme Islam di Suriah, hingga
perjuangan antara sekte keagamaan Sunni dan Syiah, perkembangan situasi telah
melampaui harapan semua orang.
Apakah Idlib
akan mengakhiri mimpi buruk di Suriah? Pertempuran untuk Idlib terkait dengan
kepentingan langsung dari berbagai pihak di kawasan ini, dan kekuatan utama
dari luar kawasan.
Maka dari itu,
situasi Idlib tidak akan berkembang dengan cara yang dapat dilakukan oleh
kekuatan utama atau kekuatan kawasan mana pun.
Apa yang bisa
kita lihat sekarang adalah situasi Idlib sangat kompleks, dan sepertinya tidak
akan menjadi sesuatu yang akan memiliki solusi dalam waktu dekat. Ini mungkin
menjadi masalah jangka panjang, dan kita perlu secara bertahap melihat
bagaimana situasi berjalan, dan dalam kata-kata media Barat, secercah harapan
untuk perdamaian telah muncul, tetapi semua orang masih gelisah.
Memang benar
bahwa perang saudara/sipil Suriah mungkin bukan perang paling intens di abad
ke-21, tetapi mungkin sekali menjadi perang terpanjang di abad ke-21. Suriah
dikenal sebagai "jantung Timur Tengah," tetapi proses transisi dari
perang ke perdamaian tidak akan terjadi dalam semalam, karena kontes intens
yang terlibat akan sulit untuk dimatikan dalam semalam, dan bahkan mungkin
memiliki lebih banyak gempa susulan.
Semua ini akan
menguji kebijaksanaan semua pihak yang terlibat, dan kemampuan mereka untuk
menangani krisis. Adapun rakyat Suriah, semua yang mereka harapkan adalah
membangun kembali dan perdamaian negaranya.
Sucahya Tjoa, 01-Okt-2018
Sumber: Media TV
dan Tulisan Luar Negeri