Upaya
Hegemoni Global AS Dengan Konsep Pangkalan Militer “Lily Pads”
Pangkalan
militer luar negeri sangat penting bagi strategi militer AS untuk menghegemoni
dunia. Menurut laporan “Base Structure Report for the 2013 Fiscal Year” yang
dirilis oleh Pentagon tahun 2014, pangkalan militer AS yang tersebar di seluruh
dunia (kecuali Antartika) dan lautan dunia total ada 588 yang berada di 40
negara-nagara.
Sekitar
400.000 tentara AS di garison atau dimarkaskan dengan jumlah padat di pangkalan
militer ini di luar negeri, disertai 11
kapal induk yang berkeliaran di lautan seluruh dunia, semua ini berfungsi
sebagai tumpuhan penting bagi strategi global AS, yang mendukung domain
kekuasaan global AS yang terpancar dari Washungton DC.
Mengenang Anti Pangkalan Militer
Asing Soekarno Tahun 1965
Menjelang
dijatuhakan Soekarno oleh rezim militer Orba. Pada 17 Oktober tahun 1965
Soekarno menelenggarakan Koferensi International Anti Pangkal Militer (KIAPMA)
di Hotel Indonesia Jakarta, yang dibuka oel Soekarno sendiri. Konferensi Internasional
ini peyelenggaranya adalah Indonesia dan sasaran utamanya adalah Amerika
Serikat.
Diantara
40 negara yang hadir dalam konferensi tersebut, Radio Republik Indonesia
melaporkan bahwa Vietnam Utara, Jepang, Prancis, Tanzania dan Selandia Baru
sebagai anggota Badan Eksekutif. Republik Rakyat Tiongkok tidak diizinkan untuk
hadir karena pada waktu itu oleh rezim Orba diduga terlibat dalam upaya kudeta
September yang mendukung PKI, yang pada saat itu dituduh oleh front anti
komunis sebagai aktor kunci yang memicu upaya kudeta September 1965.
Sikap
Soekarno yang kekeh dan melakukan serangan konfrontatif melawan pendirian
pangkalan militer asing di kawasan Asia harus dibaca dalam konteks perjuangan
yang tak kenal lelah dalam melawan dominasi negara-negara Barat yang menjajah
negara-negara Asia dan Afrika selama berabad-abad.
Dilihat
dari tren global saat ini yang melibatkan AS, negara-negara Eropa Barat, Rusia
dan Tiongkok, masalah menghapuskan pangkalan militer asing sebagaimana
dimaklumatkan oleh Soekarno Oktober 1965 masih menjadi inspirasi bagi mereka
yang menentang kehadiran militer AS da sekutu-sekutunya di kawasan Asia.
Sebagai inspirasi Soekarno berkata: “kita akan menang. Kita akan menghancurkan
inperialisme dengan kekuatan gabungan kita. Kita harus menciptakan Perdamaian
Dunia tanpa kejahatan imperialisme yang berasal dari kapitalisme.”
Terlepas
dari kenyataan bahwa Soekarno tidak lagi menjabat sebagai Presiden Indonesia,
tetapi kontribusi besarnya untuk Perdamaian Dunia serta pemberdayaan politik luar
negeri Indonesia yang bebas dan aktif masih menjadi inspirasi bagi para
pemangku kepentingan politik luar negeri di Indonesia dalam merespon
kemungkinan hadirnya militer AS dan sekutunya di kwasan Asia, terutama di Asia
Tenggara. ( dikutip: Mengenang Presiden
Soekarno dalam melawan pangkalan militer asing di Asia, sebuah inspirasi
terhadap skema kerjasama militer AS di ASEAN. Oleh: Hendrajit: Direktur
Ekseutif Future Institute).
Kendala Anggaran dan Dana AS Mengubah Tata-letak Pangkalan Militernya
Kendala Anggaran dan Dana AS Mengubah Tata-letak Pangkalan Militernya
Pada
kahir-akhir ini, tata-letak pangkalan militer AS di luar negeri diam-diam berubah.
Beberapa pangkalan di Eropa telah ditutup, tapi menambah beberapa pangkalan di
kawasan Asia-Pasifik. Tapi bagaimana AS mengatur posisi pangkalan militernya di
Asia Pasifik?
Pada 15
April 2106, Latihan bersama Balikatan yang ke-32 antara militer AS dan Filipina
berakhir. Tahun ini Latma ini selain bertema merebut kembali pulau yang
diduduki lawan, pada akhir laithan juga menghasilkan kesepakatan Peningkatan
Kerjasama Pertahanan “Enhanced Defense Cooperation Agreement/EDCA” (Perjanjian
Kerjasama Peningkatan Pertahanan) yang akan ditingkat menjadi konstitusional.
Roland
Shimbulan, Professor dari Departemen Ilmu Sosial di Universitas Flipina, di
Manila mengatakan, untuk EDCA itu memungkinkan atas permintaan mereka, yang
pada kenyataannya dengan izin dari pemerintah dan angkatan bersenjata Filipina,
untuk menggunakan semua kamp militer di seluruh Filipina. Ini tampaknya akan
memberi akses ke pasukan AS.
“EDCA”
antara AS-Filipina ditanda-tangani pada 28 April 2014 untuk jangka waktu
sepuluh tahun. Berdasakan perjanjian ini pemerintah Filipina dengan aktif mengusulkan membuka delapan
pangkalan militer kepada militer AS, untuk menyimpan senjata, amunisi dan
peralatan lainnya.
Bagi AS,
yang sedang mengejar untuk mempercepat strategi untuk “keseimbangan kembali
Asia-Pasifik” ini sangat persis dengan yang dinginkan AS. Namun beberapa
politisi dan masyarakat Filipina percaya bahwa ini melanggar konstitusi
Filipina. Tapi pada 12 Januari 2016, kesepakatan ini dinyatakan konstitusional,
dan membuka jalan bagi perjanjian ini untuk sepenuhnya dilaksanakan.
Menhan
AS Ashton Carter mengatakan bahwa kerjasama pertahanan nasional AS-Filipina
diarahkan untuk Laut Tiongkok Selatan.
Menurut
perjanjian tersebut, pada 21 Maret 2016, Filipina sepakat untuk membuka lima
dari pangkalan militer mereka untuk digunakan militer AS, yang memungkinkan
militer AS untuk merotasikan kapal perang dan pesawatnya untuk dimarkaskan di
Filipina untuk melakukan bantuan kemanusiaan dan operasi keamanan maritim.
Lima pangkalan
militer ini adalah Anonio Bastista di Palawan, sebelah barat Filipina;
Pangkalan Udara Basa di utara ibukota Manila; Fort Magsaysay di kota Palayan di
tengah Luzon; Pangkalan udara Lumbia di selatan Pulau Mindanao; dan Pangkalan
Udara Mactan-Banito Ebuen terletak di tengah kota Cebu.
Tapi
yang dianggap paling penting dari lima pangkalan ini, Pangkalan Udara Antonio Bastita
yang terletak di pulau Palawan, yang dekat dengan Kepulauan Nansha (Spratly).
Meskipun skala pangkalan udara ini tidak sebesar seperti Pangkalan Udara Clark,
tapi akan merupakan satu-satunya pangkalan udara besar-besaran, setelah
mengalami renovasi akan bisa didarati pesawat besar, dan akan memiliki makna
strategis yang sangat jelas.
Menurut
pandangan pengamat militer, Palawan sangat dekat dengan Laut Tiongkok Selatan,
jaraknya kurang dari 500 km dari pusat Kepulauan Nansha. Yang kedua, lokasinya
difokuskan di bagian utara Luzon, dari lokasi ini jika angkatan udara terbang
dari pangkalan udara tersebut di masa depan, maka militer AS yang memiliki
pesawat pengintai strategis seperti R-7135 dan dari AL memiliki P-3C, EP-3 dan
P-8A pesawat patroli anti-kapal selam bisa memantau garis pulau-pulau di
sekitar Pulau Hainan, termasuk Kepulauan Xisha (Paracel Islands)
Jika
dari Pangkalan Udara Kadena di Okinawa, akan menjadi 1.000 km lebih jauh bila
di bandingkan dari Filipina, maka akan lebih ekonomis dan lebih cepat mencapai
lokasi. Kedua, dapat menghemat bahan
bakar dan meningkatkan waktu operasi di udara lebih dari dua jam.
Tapi
saat ini,lima pangkalan militer Filipian ini tidak termasuk yang sebesar
Pangkalan Clark. Kerena itu banyak analis yang percaya Filipina akan membuka
pangkalan militerya lebih banyak lagi kepada AS.
Secara
historis, metode yang paling umum bagi militer AS dalam mengerahkan pasukan
militernya di seluruh dunia meliputi:
Pertama,
menciptakan turbulensi di daerah yang akan dituju, agar mempunyai alasan untuk
menggelar pasukan di daerah tersebut.
Kedua,
menyesuaikan jumlah pasukan dalam latihan-latihan tertentu di kawasan tertentu,
melalui latihan militer bersama dan cara-cara lainnya, kemudian secara terbuka
atau diam-diam menolak untuk meninggalkannya.
Ketiga,
menggunakan kunjungan khusus untuk membuat kehadirannya di daerah tertentu.
Kini,
sengketa Laut Tiongkok Selatan terlihat meningkat, dan militer AS tampaknya
akan menggunakan alasan ini untuk secara bertahap meresapkan pasukannya ke Asia
Tenggara dan Asia Timur, dan akan menjadikan diri sedapat mungkin menjadi “pengawal di bagian garis belakang (beking)”
dalam konflik tersebut.
Dari
sini, kita dapat melihat bahwa latihan militer Filipiana-AS, dan dengan
membukanya Filipina untuk pangkalan militernya kepada AS, ini bukannya suatu
tindakan sederhana mereka secara bilateral, disini tersembunyi binih strategi
umum, yang menjurus pada strategis mereka.
Pada 1
Juli 2015, Menhan AS Ashton Carter menjadi tuan rumah konferensi pers, pada
saat itu Kepala Staf Gabungan Martin Demsey dengan resmi mengumumkan kepada
publik AS tentangan laporan “Strategi Militer Nasional”, yang merupakan untuk
pertama kalinya diperbarui sejak 2011.
Dalam
laporan ini yang menjadi menarik perhatian media global ada yang menyatakan
seperti berikut: “Hari ini, kemungkinan keterlibatan AS dalam perang
antarnegara dengan kekuatan utama dinilai rendah tetapi sedang tumbuh” Dalam laporan tersebut untuk penguatan
jaringan global dengan sekutu dan mitra telah ditulis dalam satu bab.
Ini
berati bahwa metode tempur AS di seluruh dunia akan mengalami perubahan
besar-besaran. Ketika ditanya, bagaimana AS akan mengangani trans regioanl
terororisme. Dempsey menyebutkan secara metafora dengan lily pads.
Dempsey
mengatakan; “Apa yang kita coba lakukan dengan menggunakan metafora lily pads.
Kita coba membangun jaringan. Lily pads tidak mengapung secara independen di
atas air, tapi anda tahu, Jim. Mereka itu terhubung dengan arsitektur
sub-permukaan. Dan kita mencoba membangun kerangka kerja, suatu perancah
(scaffolding) untuk mengatasi masalah trans-regioanl.”
Strategi “Lily Pads” ini menjadi komponen
penting dari strategi militer AS. AS akan membangun komponen-komponen kecil
penting, lincah berbasis di luar negeri di bidang yang dibutuhkan secara
diam-diam, yang perawatannya rendah, tapi modular selama masa perang, dalam
rangka mendukung operasi militer AS. Dengan bergesernya strategi global Obama
ke seluruh Asia, Pentagon berupaya untuk menyebarkan “bantalan lily/lily pads”
di Asia-Pasifik.
“Burung pipit mungkin kecil, tetapi dengan perlengkapan
yang komplek dan komplit akan mrnjadi lain.” Selama bertahun-tahun, dunia luar
telah mengomentari tentang rencana militer AS untuk membuat “lily pads” (bantalan
lili) ini. Dalam pandangan dunia luar, AS mendirikan banyak pangkalan skala
kecil di wilayah yang luas seperti banyak kolam di Asia-Pasifik, dengan
bantalan ini, memudahkan si “katak” (militer AS) untuk melompat ke salah satu
target.
Rencana
lily pads AS ini pertama kali terpikirkan oleh Donbald Rumsfeld selama
pemerintahan Bush. Dia percaya bahwa AS harus mengganti pangkalan-pangkalan militer
AS yang besar-besaran dengan yang kecil-kecil tapi fleksible atau lincah.
Setelah
Perang Dingin berkahir, militer AS benar-benar menjadi yang paling kuat di
dunia, tidak mempunyai lawan yang sebanding, sehingga sudah tidak dibutuhkan
lagi pangkalana militer seperti masa lalu jika ingin berperang. Pada saat
membangun pangkalan militer AS di Eropa, tujuannya sangat jelas diarahkan untuk
militer Uni soviet dan Pakta Pertahanan Warsawa.
Setelah
Perang Dingin sudah berakhir, kemana lagi AS bisa pergi berperang? Dimana
musuh-musuhnya? Untuk sementara waktu sudah kehilangan lawan tanding. Sehingga
untuk saat ini, AS rasa pangkalan militer di luar negeri mahal, dan menyia-nyiakan
banyak uang dan tidak mempunyai efek dan tujuan yang jelas, maka perlu menarik
pasukan keluar dengan tajam. Tetapi kemana dan bagaimana harus menempatkan
mereka? Pada saat terjadi benar mereka ditarik keluar?
Maka
terpikirlah rencana lily pads. Lily Pad cukup kecil tetapi menyebar luas. AS
menarik diri dari pangkalan besar yang memarkaskan pasukan (garnisun) besar
disana, tapi sekarang bisa memiliki garnisun kecil untuk digunakan secara
normal, tetapi ketika mereka dibutuhkan, garnisun bisa diperluas dengan cepat.
Itulah
yang terpikir oleh AS. Setelah serangan teroris 9-11 terjadi, pemerintah Bush
mempercepat rencana lily pads dengan menggunakan alasan kontraterorisme. Dia
berharap pangkalan kecil dapat membuat batu loncatan yang fleksibel, pasukan
tempur yang dapat dirotasi di banyak tempat, dan titik-titik untuk pemasokan
militer tempur AS di seluruh dunia.
Bahkan
selama pemerintahan Obama, kebijakan penyesuaian untuk pangkalan militer di luar
negeri masih diperpanjang.
Upaya AS Menekan Dan Memblokade
Tiongkok
Dengan
mengimplementasikan strategi “Menyeimbangkan Kembali Asia-Pasifik,” AS percaya
dalam situasi saat ini, dengan mengerahkan 60% kekuatan dan senjata militer
untuk mata rantai pertama dan kedua, itu masih akan sulit untuk secara efektif
menekan dan memblokade Tiongkok.
Karena
itu, kawasan Asia-Pasifik menjadi fokus dari dari strategi bantalan lily pad
untuk diletakkan disini oleh Pentagon.”Dengan basis lokal pada intinya, dan
pangkalan luar negeri di garis depan, menggabungkan dua garis, dengan
konfigurasi multi-tier. (berjenjang)”
Model
ini yang digunakan AS untuk menciptakan sistim pangkalan militer. Mengingat
pentingnya dari Asia-Pasifik, dan apa yang yang mereka sebut sebut “ancaman
Tiongkok”. AS memiliki jumlah paling banyak pangkalan militer di Asia-Pasifik,
kedua di Eropa yang mencakup 42% dari total basis di luar negeri.
Yang
pada dasarnya memiliki “tiga garis konfigurasi” : Garis pertama, terdiri dari
empat pangkalan di empat bidang, Alaska, Asia, Timur Laut, Asia Tenggara dan
Samudra Hindia, yang mengontrol rute strategis secara signifikan rute udara,
selat dan perairan.
Garis
kedua, terdiri dari dua basis kelompok/cluster di Guam, Australia, Selandia
baru. Ini lini pertama pendukung basis dan basis transfer untuk transportasi
laut dan udara, serta basis pengintaian penting.
Garis
ketiga, terdiri dari cluster basis Pulau Hawaii, dimana USPACOM / Komando
Pasifik berkantor pusat. Ini menjadi dukungan belakang untuk operasi tempur di
Asia-Pasifik, dan untuk menjaga pertahanan untuk wilayah tanah air AS. Ini adalah
yang terkenal dengan distribusi panjang tiga mata rantai pulau.
Tiga
jalur penyebaran dan pergelaran ini untuk mengontrol Asia-Pasifik. Selain itu
ketika ada pertemuran di Eurasia, bisa dengan cepat menggunakan mata rantai
jaringan pangkalan dasar seluruhnya untuk mengerahkan seluruh pasukan ke garis
depan.
Dengan mendorong strategi AS
untuk “kembali ke Asia-Pasifik”, AS juga mengusulkan “Konsep Bertempur Baru.”
Pada
bulan Pebruari 2010, Dephan AS merilis “Quadrennial Defense Review,” (Review
Pertananan Untuk Empat Tahunan) yang menyebutkan pengembangan “Sea Air
Battle”(Pertempuran Laut Udara) untuk pertama kalinya. Doktrin Pertempuran Laut
Udara terutama dirancang untuk Angkatan Laut dan Angkatan Udara, yang akan
melakukan misi dengan semua sekutu dalam pertempuran dengan memanfaatkan
keunggulan informasi dengan serangan pemboman presisi dengan skala besar dengan
sekutu.
Setelah
Perang Dingin selesai, militer AS juga memiliki konsep untuk mengembangkan
pergelaran dengan jaringan yang fleksibel. Jaringan ini dipilih karena untuk
konsep pertempuran Laut Udara, dan banyak pengamat militer yang mengetahui ini terutama ditujukan untuk rudal
Tiongkok. Mereka sangat mempengaruhi semua mata rantai pangkalan pulau pertama,
kelompok kapal induk di Samudra Pasifik Barat.
Pada
titik ini, AS harus mengatasi masalah ini, melakukan penyesuaian,
desentralisasi dari mata rantai jaringan pangkalan di pulau pertama, karena
untuk fokus pada sejumlah besar tentara di sutau tempat tertentu, andaikata
mereka hancur maka semuanya akan hancur. Sehingga dicoba sebisa mungkin tidak
menaruh telur dalam satu keranjang yang sama, sehingga jika satu atau dua
hancur tidak masalah karena yang lain masih bisa mendukungnya.
Pangkalan
militer mendukung kekuatan militer, merupakan ekspresi dari strategi pertahanan
dan keamanan suatu negara. Ketika strategi keamanan dan pertahanan berubah,
maka pengerahan dan pergelaran pasukan dan tata-letak pangkalan juga perlu
dirubah dalam rangka untuk memastikan tujuan dari strategis tercapai.
Dalam
beberapa tahun terakhir, dengan situasi fiskal pemerintah AS diperketat, dan
pengurangan dari anggaran militer, militer AS telah melakukan reformasi
pangkalan tua untuk menjadi “lebih kecil”, lebih efisien dengan sistim “lily
pads”, sementara itu juga sudah mulai menggunakan kembali pangkalan-pangkalan
masa lalu untuk memastikan keseimbangan antara kebutuhan strategis dan dengan
pengurangan anggaran.
Lalu perubahan apa yang terjadi
bagi AS di Asia-Pasifik? Dan bagaimana “renovasi lily pads” ini akan dilakukan?
Sejarah
AS mendirikan pangkalan milier di luar negeri dapat ditelusuri kembali dari 100
tahun yang lalu. Yaitu setelah Perang Spanyol-Amerika pada tahun 1898, AS yang
tadinya melakukan isolasionisme mulai membuka diri terhadap dunia luar.
Setelah
menang perang dengan Spanyol, AS mendirikan pangkalan angkatan laut di Filipina
dan Kuba. Setelah pecah P.D. II, AS mempercepat pembangunan sistim pengkalan
militer global. Di kawasan Asia-Pasifik, AS memperoleh serangkaian basis di
Guam, Saipan, Tinian dan Okinawa.
Pergelaran
militer umumnya dalam dua jenis negara: Salah satu jenis adalah negara yang
kalah dalam P.D. II seperti Jepang, Jerman dan Italia, karena perang dimulai
dari mereka karena itu pasukannya dikerahkan di negara-negara ini, dan setelah
itu tidak ditarik kembali keluar.
Jenis
lain adalah karena sekutu AS, seperti Australia, dan Filipina pertama menempat
pasukannya disana kemudian menjadi sekutunya. Beberapa lebih komprehensif lagi,
pangkalan militer besar dikerahkan di negara-negara sekutunya, tetapi sering
dirotasi antar negara-negara lain.
Setelah
P.D. II, militer AS membentuk sistem dasar terutama difokuskan di sekitar tiga
basis. Cluster Asia Timur yang berpusat di Pangkalan Yokosuka, Jepang, Cluster
Asia Tenggara yang berpusat di sekitar Pangkalan AL Subic Bay, Filipina, dan
cluster Mickronesia yang berpusat di sekitar Guam.
Kini, tiga kelompok dasar utama
ini masih daerah dimana militer AS mengfokuskan untuk direnovasi.
Cluster
Timur Laut terdiri dari cluster pangkalan AS di Jepang dan Republik Korea
(Korsel). Dua kelompok pangkalan mengontrol Selat La Perouse dan Selat
Tsushima, dan bisa mendukung pasukan tempur darat militer AS di Semananjung
Korea serta mendukung militer AS dalam pertempuran maritim di Barat-laut
Samudra Pasifik, yang akan menjadi link utama dari mata rantai militer AS.
Karena
Korsel (ROK) pada dasarnya tidak termasuk bagian dari operasi militer di luar Semenanjung
Korea, maka cluster pangkalan AS di Jepang sebenarnya yang menjadi inti dari
pangkalan militer AS di Asia Timur Laut.
Sejak
P.D. II, militer AS telah menggunakan pangkalan di Jepang untuk menyerang tiga
kali peperangan dalam Perang Korea, Perang Vietnam, dan Perang Teluk.
Menurut
Dephan AS dalam laporan struktur pangkalan tahun fiskal 2011 “Base Structure
Report for the 2011 Fiscal Year,” militer AS memiliki 108 pangkalan dan
fasilitas militer di Jepang, dengan lebih dari 30 berukuran menengah dan besar,
termasuk Pangkalan AU Yokota, Pangkalan AU Misawa, Pangkalan AU Kadena, Pangkalan
Angkatan Laut Yokosuka, Pangkalan AL Sasebo, Camp. Zama Barrak, dan Air Station
Korp. Marinir Futenma (Marine Corps Air Station).
Markas
Armada ke-7 dan Pasukan Bela Diri Jepang (JSDF) dan AL-AS di Yokosuka, Jepang.
Disini ditempatkan kapal induk satu-satunya di kawasan Asia-Pasifik. Di
pangkalan Okinawa dan Kadena ditempatkan pesawat pembom strategis AS dan
pesawat pengintai dan pemantau strategis AS dan pesawat pengindentifikasi strategis AS seperti R-7135 dan SR-71 untuk
digunakan dan terbang dari sini. Serta pesawat AL-AS EP-3 dan Pesawat P-3C yang
sering melakukan pengintaian di Selatan dan Timur Laut, yang juga pesawat terbang
yang mereka miliki dari Pangkalan Okinawa dan ini termasuk cluster Pangkalan
Okinawa.
AD, AL,
AU dan Korps Marinir AS semua ditempatkan disini, jadi Okinawa merupakan tempat
berpijak. Di masa lalu, itu bisa mengendalikan Tiongkok dan bekas Uni
Soviet dari Jepang, terus turun ke
selatan ke Cam Ranh Bay.
Guam
merupakan salah satu yang terbesar, pulau yang paling padat penduduknya di
Kepulauan Mariana di Samudara Barat Pasifik. Pulau sempit dan panjang seperti
bentuk kacang raksasa. Pulau ini luasnya 549 km2 , sepertiga dari
total area digunakan untuk fasilitas militer.
Lokasi
Guam yang strategis sangat penting. Tempat ini jadi penting dan menjadi benteng
udara dari Samudra Pasifik Barat, berjarak 2.500 km dari Taiwan, 2.400 km dari
Okinawa, 3.600 km dari Beijing, dan
sekitar 5.300 km dari Hawaii, AS, menjadi titik dukungan strategis penting bagi
militer AS di kawasan Asia-Pasifik.
Guam
termasuk teritori AS. Wilayah yang paling dekat dengan Tiongkok. Guam terlihat
seperti sebuah pulau kecil di peta, tetapi
merupakan pangkalan militer utama militer AS. Pelabuhan Apra merupakan
Pangkalan AL besar-besaran AS, kapal selam AS sering datang ke dermaga sini,
kapal induk juga bisa bersandar di sini, merupakan pangkalan militer yang
sangat besar.
Pangkalan
AU-AS Andersen ditempat banyak pesawat jet tempur canggih untuk dikerahkan di kawasan
Pasifik Barat, seperti pesawat pembom B-1 dan B-2 dan Jet tempur F-22 semua
dikerahkan di pangkalan udara Andersen secara jangka panjang.
Beberapa
tahun lalu, AS telah mengerahkan UAVs (drone) Global Hawk di Guam, untuk misi
pengintaian dan pemantauan sekitar Samudra Pasifik Barat termasuk seluruh
Indonesia dan Tiongkok.
Suatu
berita yang lebih penting sejak awal tahun 2014, dalam menganggapi kegiatan
militer Tiongkok, AS mengumumkan mengerahkan Kapal Selam penyerang bertentaga
nuklir klass Los Angeles di Guam, yang menjadi kapal selam yang ke-4 yang
dikerahkan di sini.
“Daily
Telegraph” Inggris pernah melaporkan bahwa AS berniat untuk berinvestasi dalam
jumlah besar di Guam untuk membuat pangkalan militer super, “untuk menekan
pertumbuhan militer Tiongkok”. Mereka juga mengungkapkan ini akan menjadi upaya
AS paling besar yang akan diinvestasikan dalam sejarah pangkalan militer sejak
P.D. II.
Selain
itu AL-AS membangun sebuah stasiun kontrol bawah tanah di Guam, yang menggunakan
kabel di dasar laut dan metode telekominikasi satelit untuk menjamin kelancaran
komunikasi dengan kapal perang di Pasifik Barat dan Samudra Hindia, untuk
memastikan Pentagon dan USPACOM dapat selalu melakukan perintah komando
operasi.
AS telah
mengubah Guam menjadi pangkalan skala besar yang komprehensif yang dapat
melakukan intervensi militer di Samudra Pasifik Barat. Yang membias dari inti
pusatnya memancar keluar terhadap pangkalan-pangkalan lainnya.
Pelabuhan
Pangkalan AL Apra telah dinormalisasikan untuk pengerahan kapal selam-kapal
selam , seperti Kapal selam klass Virginia yang mereka tempatkan disana, untuk
melakukan misi mengontrol wilayah Pasifik Barat di bawah air. Juga kapal induk
AS sering berlabuh di Guam.
Misalnya,
ketika kapal induk-kapal induk di Hawaii
tiba di Guam, mereka akan mendapatkan tambahan logistik dasar, dan kemudian
mereka bisa berlayar melewati Selat Malaka ke Samudra Hindia bagian utara.
Selain itu, di Pangkalan AU Andersen ada banyak jet tempur canggih, dan jet-jet
ini sangat mobil sekali.
Sebagai
contaoh F-22, setiap tahun selama beberapa bulan terbang dari AS ke Pangkalan
Udara Andersen, dimana setelah dikerahkan sementara waktu, mereka pergi ke
pangkalan lain seperti Pangkalan Udara Yosuka, Misawa atau Kadena.
Kadang
bila diperlukan mereka akan menyebar ke Osan dan Gunsan Pangklan di Kosel.
Secara umum, penyebaran AS di Pasifik Barat meliputi penyebaran yang sangat
fleksibel.
Mereka
menggunakan sejumlah peralatan
canggih untuk memantau dan
mempelajari situasi lapangan dan lingkungan yang normal di tempat-tempat ini,
sehingga jika terjadi perang di tempat-tempat ini, dan mengirim perlatan ditempat-tempat
ini, sudah tidak asing lagi dan akan sangat akrab dengan kondisi tempat-tempat
ini.
Dalam
rangka melawan rudal Tiongkok, AS memulai dengan “rencana lily pads’ di Pulau
Saipan dan Pulau Tinian, kira-kira berjarak 200 km dari Guam, AS merenovasi
fasilitas militernya. Dengan dasar tersebut, ketika konflik pecah, pangkalan
militer di pulau-pulau kecil ini dapat menyediakan peralatan dan bahan-bahan
persiapan untuk operasi intervensi milter AS secara global dan memungkinkan AS
untuk dengan cepat mendekati target negara dimanapun.
Pada
abad lalu ketika pada Perang Amerika –Spanyol dan Perang Dingin Pangkalan AL
Subic Bay dan Pangkalan Udara Clark
berjarak 40 km merupakan inti dari cluster pangkalan militer AS di Asia
Tenggara.
Faktor Strategis AS Enggan
Meninggalkan Subic Bay Filipina
Seorang
mantan senator Flilipina suatu waktu pernah mengatakan: “Jika anda pernah ke Subic
Bay, Anda akan tahu mengapa AS tidak bersedia meninggalkan Filipina.”
Subic
Bay terletak di barat daya Luzon, sebuah daerah yang strategis penting dari
Filipina, terletak di jantung Asia Tenggara, berbatasan dengan Laut Tiongkok
Selatan di seblah Barat, berjarak 130 NM dari Pulau Huangyan dari Kepulauan
Nanasha atau Spratley.
Subic
Bay sebuah pelabuhan alami yang lebar dan dalam, pelabuhan dengan panjang 14
km, dan 8 sampai 13 km lebarnya, dengan kedalam laut 2.045 m. Ini menjadi dermaga yang terdalam di
dunia, sehingga kapal perang bertenaga nuklir, kapal kontainer, dan kapal
tanker minyak bisa bersandar di dermaga pelabuhan ini. Teluk ini juga
dikelilingi oleh pegunungan hijau di tiga sisi. Setiap musim angin topan,
ketika angin dan gelombang besar menerjang Samudara Pasifik, perairan Subic
selalu berada dalam kedaan tenang.
Pangkalan
Subic Bay pernah menjadi pangkalan militer terdepan yang paling penting bagi
Armada ke-7 AS, dan menjadi pangkalan terbersar luar negeri AS. Alasan lain
bagi AS sangat menghagai tempat ini karena terletak di tengah lokasi Samudra
Pasifik.
Kapal-kapal
perang AS yang berlabuh di Subic ini bisa meng-respon degnan cepat terhadap
krisis dan insiden yang tiba-tiba terjadi di Semenanjung Korea yang berada di utata
Oceania bagian selatan, sampai ke Timteng bagian Barat. Di perairan ini, AL-AS
juga mengumumkan bahwa mereka akan mengontrol 8 sampai 16 jalur sempit (bottle
neck) yaitu: Selat Korea, Selat Malaka, Selat Makassar, Terusan Suez, Selat
Mandeb, Teluk Persia, Selat Hormuz dan Teluk Alaska.
Namun
keadaan sekarang sudah berubah dengan berlalunya waktu. Setelah Perang Dingin
“Tumpuan Kaki Tiga” dari tiga kelompok utama mulai miring. Demikian kiasan para
analis militer dunia luar.
Pada
bulan September 1991, Senat Filipina menolak untuk memperpanjang sewa untuk AS, dan AS harus menarik keluar
tentaranya dari Pangkalan Clark dan Teluk Subic masing-masing pada tahun 1991
dan 1992, mengakhiri 94 tahun kehadiran militer AS di Filipina.
Setelah
tahun 1990an, setelah Perang Dingin negara-negara ini menuntut agar militer AS
menarik keluar. Korsel (ROK) juga menuntut agar militer AS ditarik keluar. Jadi
jelas, dengan keluarnya AS dari Subic Bay dan Clark di Filipina karena Perang
Dingin sudah berakhir, dan selanjut mantan Uni Soviet menarik diri dari Cam
Ranh Bay, jadi tidak ada alasan bagi AS untuk tetap tinggal di Clark dan
Subic. Maka 1992 terpaksa meninggalkan
tempat ini.
Namun,
kerajsama militer AS-Filipina tidak berakhir walaupun militer AS menginggalkan Filipina.
Dua negara ini tetap mempertahankan kerjasama militer dengan erat berdasarkan “
Mutual Defense Treaty” yang mereka tandatangani tahun 1951, dengan berbagai
latihan militer bersama, dimana latihan militer “Balikatan” merupakan latihan militer
bersama yang paling besar.
Pada
saat yang sama, Amerika tidak pernah melupakan pangkalan AL dan AU yang
fantastis di Filipina. Sebenarnya setelah 9-11 tahun 2001, untuk kebutuhan
kontrateororisme, Filipina sekali lagi memperbolehkan militer AS untuk
menggunakan Pangkalan Udara Clark, sebagai bandara penting bagi militer AS
untuk digunakan untuk kepentingannya di Asia Tenggara.
(Mudah-mudahan
group teroris di Filipina Selatan tidak setengah sengaja dibiarkan agar punya
alasan untuk tujuan ini, dan juga penculikan saudara-saudara kita oleh Abu
Sayyaf akhir-akhir ini. Demikian juga dengan gojang ganjingnya situasi Laut
Tiongkok Selatan yang sengaja di provoksai untuk kepentingan hegemonis AS). (Mudah-mudahan juga tidak ada
benang merah antara penculikan ini dengan penghambatan penumpasan kelompok
teroris Santosa di Poso bagi kita.)
Pangkalan
Udara Clark memiliki satu-satunya landasan pacu yang berkualitas tinggi yang
mampu didarati pesawat ruang angkasa ulang-alik
bagi AS di luar negara AS sendiri, landasan pacunya terbuat dari beton berkwalitas
tinggi.
Pada
akhir April 2014, selama tur Obama ke empat negara di Asia, AS dan Filipina
menandatangani “Perjanjian Kerjasama Peningkatan Pertahanan (EDCA)” perjanjian
kerangka kerja, yang memungkinkan AS untuk mengarnisunkan sekali lagi di Pangkalan
AU & AL di Filipina.
Setelah
latihan militer bersama Filipina-AS berakhir, AS meninggalkan sekitar 300
tentara bersama dengan militer Filipina untuk melanjutkan mengambil bagian
dalam aktivitas terbang-lintas dan patroli maritim di Laut Tiongkok Selatan.
Ini
termasuk sebuah gugus tugas AU yang akan dimarkaskan di Pangkalan Udara Clark
untuk mengaambil bagian aktivitas terbang-lintas di Laut Tiongkok Selatan.
Dalam
gugus tugas ini meliputi lima pesawat penyerang A-10 Thunderbolt, tiga
Helikopter search & rescue HH-60 dan
satu pesawat tempur MC-130H atau pesawat operasi khusus.
AS juga
akan secara teratur akan mengirim satuan tugas ke Filipina. Kelompok personil
militer lain terkait akan menginap di markas Angkatan Bersenjata Filipina,
untuk mengambil bagian dalam meningkatkan komando dan kemampuan perang
Filipina.
Menhan
AS, Ashton Carter menyatakan tindakan ini akan lebih memperkuat aliansi
AS-Filipina.
Memang
untuk isu Luat Tiongkok Selatan, pemerintahan Benigno Aquino III dan pemerintah
AS telah terlihat ingin mengeroyok untuk menekan Tiongkok. Filipina bersedia
untuk membiarkan AS menggunakan pangkalan militernya, pada saat yang sama mempunyai
renana dibalik itu untuk melihat apakah akan mendapat dukungan ekonomi dari AS.
Tetapi
AS sedang mengalami masalah keuangan, sehingga memilih lima dari delapan
pangkalan di Filipina yang tersedia. Dan itupun tidak bersedia untuk
menggunakan beberapa pangkalan yang lebih tua yang sudah bobrok. Lebih ingin
menggunakan pangkalan, dan orang-orangnya, dan bahkan untuk negara-negara
miskin seperti Filipina sekalipun, AS tidak mau memberi jumlah besar kekayaannya
seperti sebelumnya, atau memberi ratusan kapal perangnya.
Sekarang,
jika Filipina ingin membeli kapal perang bekas, AS masih akan menjualnya,
karena sedang membutuhkan uang. Jadi pengamat melihat bahwa AS kembali ke
Asia-Pasifik pertama tidak lain secara politik dan strategis untuk menekan kebangkitan
Tiongkok, dan untuk memastikan AS masih tetap dalam posisi dominan. Kedua,
secara ekonomi ingin berbagi keuntungan ekonomi dengan cepatnya pembangunan
ekonomi di Asia-Pasifik dalam rangka menciptakan beberapa peluang kegiatan
untuk AS. Ketiga, secara historis kenyataan tidak dapat diabaikan, AS menyukai mendapat
keuntungan dari perang.
Selain
itu, pada tahun-tahun terakhir iniAS telah membuat Pangkalan AL Changi di
Singapura terlihat lebih posisinya semakin strategis. Setelah militer AS
ditarik dari Filipina, AS mulai mencari basis baru dalam rangka untuk menebus
hilangnya link dalam mata rantai pulau pertama, dan untuk mengembalikan
keseimbangan di kawasan Pasifik Barat.
Memanfaatkan Pangkalan AL Changi
Singapura
Pangkalan
AL Changi digunakan untuk dijadikan pangkalan AL Singapura sendiri, tapi
setelah itu diperluas. Sehingga memiliki dua fungsi: satu untuk melayani
sebagai pelabuhan pelayanan ketika kapal induk AS datang berlabuh, untuk
memasok kebutuhan logistik dan perbaikan bila ada, selain itu untuk kepentingan
kebutuhan para perwira dan prajurit untuk pergi ke pantai beristirahat selama
beberapa hari.
Tapi
fungsi yang utama adalah untuk mengubah Pangkalan AL Changi menjadi pangkalan
utama, dan untuk menormalisasi pengerahan kapal perang AS.
AL-AS
dapat menggunakan Pangkalan AL Changi untuk dengan mudah menghubungkan Samudra
Pasifik dan Samudra Hindia melalui Laut Tiongkok Selatan dan Laut Andaman untuk
dapat berlayar ke Samudra Hindia dan Laut Arabia di barat untuk memperkuat
pasukan mereka yang ditempatkan di Teluk Persia, sementara juga dapat memantau
dan mengendalikan situasi di sekitar Laut Tiongkok Selatan dan Selat Taiwan di
timur. Menjadikan pangkalan ini lebih melengkapi mata rantai militer AS dari
pangkalan di Jepang, Korsel, Okinawa, Taiwan, Filipina dan Singapura.
Pada 1 Maret
2013, militer AS untuk pertama kali USS Freedom kapal tempur khusus pesisir
(LCS/Littoral Combat Ship) menjadikan pangkalan AL Changi, untuk dimulai
penyebaran periode panjang selama delapan bulan pertama untuk perairan Laut
Tiongkok Selatan. Dan berdasarkan rencana AL-AS akan mengerahkan total sebanyak
4 LCSs yang akan digelar di Singapura.
Sesuai
dengan penamaannya, kapal tempur pesisir (LCS) adalah kapal yang cocok untuk
melaksanakan misi tempur di zona littoral (daerah pantai) dekat pantai.
Sejak
tahun 2000, AL-AS percaya bahwa ancaman utama tidak lagi akan datang dari laut,
tapi akan dari zona pesisir dekat dengan daratan. Maka penyebarkan dan
mengerahkan LCSs di Pangkalan AL Changi
telah dilihat sebagai tindakan penting bagi AS untuk kembali ke kawasan Asia-Pasifik.
Saat
ini, AS tidak hanya menyiapkan Pangkalan AL Changi, juga coba bernegosiasi
membangun pangkalan dan infrastruktur militer baru di Malaysia, Indonesia,
Thailand, Brunei, Vietnam, dan Filipina, serta penyewaan Bandara Internasional
U-Tapao, pelabuhan Jakarta dan Surabya, dan pelabuhan Kota Kinabalu di
Malaysia.
Tapi
khusus di Indonesia akan sangat terbentur sentimen nasionalisme Indonesia,
selama rezim Indonesia tidak dipegang oleh rezim penjual Nusa & Bangsa yang
sangat pro AS dan Barat.
Mengingat
dokrin Soekarno untuk geopolitik di Asia Tenggara dan KIAPMA (Konferensi Anti
Pangkalan Militer Asing) yang diadakan 1965. Meskipun Soekarno telah dijatuh
oleh rezim Orba, tapi rezim militer Soeharto walaupun longgar terhadap konsesi
SDA, tapi untuk soal Nasionalisme
Soeharto terlihat lebih kolot dan konservatif ketimbang Soekarno.
Hal ini
bisa dilihat ketika ada desakan dari AS agar Indoensia masuk dalam Pakta
Militer Asia Tenggara, Soeharto mendiamkan pengajuan proposal Pakta Militer
itu. Tampaknya Soeharto khawatir ikut campurnya pangkalan militer asing akan
menjadikan kawasan Asia Tenggara tidak stabil.
Pada
tahun 1969, ketika LB Moerdani mengadakan lobi-lobi di Malaysia, perwira
andalan Soeharto Ali Murtopo melanjutkan jalur lobi yang sudah dibentuk sejak
1967, lobi LB Moerdani ini meluas ke berbagai negara yang ditanggapi secara
positif permintaan Soeharto untuk menjadikan Asia Tenggara sebagai zona aman.
Maka
permintaan AS untuk membuka fasilitas dan pangkalan militer di wilayah Indonesia
akan tidak mudah. Lebih lagi pada era reformasi kini, dengan munculnya garis
Soekarno dalam perpolotikan Indonesia hal ini bahkan akan mempersulit lagi bagi
AS.
Dengan
munculnya kekuatan garis Soekarnois dalam menentukan keputusan konsesi-konsesi
atas kontrak pertambangan sudah muncul berbagai gerakan politik, ormas dan masuk ke dalam jaringan kekuatan oposisi,
pembicraan-pembicaraan soal perebutan konsesi yang merugikan Indonesia dalam
kontrak-kontrak energi seperti minyak dan gas telah mejadi permainan politik
penting di Indonesia selama ini dengan “mafia minyak Petralnya” yang akhirnya
juga bisa dibubarkan, bahkan dua stasiun besar di Indonesia; TV One dan Metro
TV secara lugas menyampaikan debat-debat soal perebutan konsesi kontrak energi
yang dinilai merugikan dan mencaplok kedaulatan bangsa Indonesia. Bais
pemikiran mereka adalah keputusan Presiden Soekarno tahun 1960, usulan Chaerul
Saleh Juni 1960 dan Keputusan MPRS soal kontrak energi tahun 1960.
Bla
garis Soekarno memenangkan politik di Indonesia bukan tak mungkin garis
Soekarno akabn menghidupkan kembali – garis geopolitik; Jakarta-Beijing
mengingat bahwa dalam cakupan wilayah garis ini tersimpan kekayaan alam dan
kekayaan jumlah manusia yang amat luar biasa, dua kekayaan inilah yang
membentuk: Pasar.
AS akan keblingsatan
bila garis Soekarno mengajukan usulan penghapusan konsesi padahal sudah berapa
trilyun USD, AS telah menikmati kekayaan alam Indonesia seperti ucapan Nixon
saat menggambarkan kejatuhan Soekarno dan hancurnya komunisme di Indonesia “Indonesia
adalah hadiah terbesar (the great prize) di kawasan Asia Tengggara.” (bagi AS).
Pangkalan Militer AS Di Dunia
Menurut laporan AS tahun 2013, di
kawasan Asia-Pasifik ada hampir 600 pangkalan di lebih dari 30 negara. Ada tiga
jenis pangkalan: Salah satu jenis adalah pangkalan permanen, yang memiliki
fasilitas yang cukup lengkap, termasuk fasilitas pendukung, personil, gudang
senjata dan amunisi, pokoknya lengkap. Sebagai contoh, Pangkalan Kadena,
Okinawa, Yosuka, dan Pangkalan Guam semua ini sebagai pangkalan inti.
Jenis kedua, pangkalan tempur garis
depan, terutama harus memiliki sejumlah personel, termasuk orang-orang yang
secara permanen diasramakan di sana dan cukup logistik secara skala kecil dan
kekuatan dukungan teknis dan gudang amunisi. Seperti Pangkalan AL Changi di
Singapura dan pangkalan masa depan yang akan digunakan di Filipina.
Jenis yang ketiga, yang bisa menjadi
sebagai titik kooperatif keamanan, dimana mereka bisa bekerjasama. Artinya
tidak ada kekuatan aktif di daerah itu, tapi mungkin mengirimkan beberapa
senjata dengan kontraktor lokal untuk mengelolanya.
Di masa yang akan datang AS akan
mencari di negara-negara Asteng, termasuk Malaysia, Indonesia dan Brunei untuk
menemukan beberapa poin keamanan kooperasi yang kooperatif.
Perwujudan umum dari ini adalah
setelah Perang Dingin, terutama dalam bebebrapa tahun terakhir ini, militer AS
tidak ingin berinvestasi terlalu banyak energi dalam mempertahankan pangkalan
militer di luar negeri.
Dalam rangka menerapkan strategi untuk
menyeimbangkan kemabli Asia-Pasifik, pemerintah Obama telah mempercepat
penanaman “lily pads” di kawasan tersebut untuk menggeser kops laut, pasukan
khusus, jet tempur dan kapal perang yang awalnya ditempatkan di Eropa untuk
kawasan Asia-Pasifik.
Militer AS juga mencari lebih banyak
lagi “lily pads” sepanjang Laut Jepang, Semenanjung Korea, Kepulauan Liuqiu,
Guam, Filipina, Timor Leste, Australia, Selandia Baru, Vietnam, Singapura,
Malaysia, Thailand, Myanmar dan India.
Dari sejumlah upaya ini,
penyebaran militer di Australia adalah yang paling penting.
Pada 9 Maret situs “Diplomat” yang
berbasis di Jepang melaporkan bahwa AS dan Australia sedang melakukan negosiasi
mengenai penyebaran pesawat pembom B-1B dan Jet pengisian bahan bakar udara ke
pangkalan utara Australia, negosiasi ini terutama diskusi tentang pesawat
pembom AS yang akan dirotasikan di Pangkalan RAAF Darwin dan Pangkalan RAAF
Tindal di Australia Utara.
Secara geografis, pangkalan Darwin dan
Tindal di Australia Utara yang berjarak 4.500 km dengan daratan Tiongkok, dan
sekitar 3.000 km dengan Laut Tiongkok Selatan. Berdasarkan kecepatan
penerbangan 1 Mach (1ma=1224kph) maka B-1B ketika mencapai kecepatan menembus
pertahanan (barrier suara) di tinggian rendah, akan mampu mencapai Laut
Tiongkok Selatan sekitar 3 jam dan bisa mendekati Asia Timur tidak lebih dari 4
jam.
Ini jauh lebih dekat daripada dibandingkan
jika terbang dari AS. Tapi tidak semua semua militer AS dikerahkan ke
Australia.
Pada 15 Maret 2011, Presiden Obama
mengumumkan ketika melakukan kunjungan
ke Australia yang dimulai pada tahun 2012, AS akan mengerahkan 200-250 prajurit
korps marinir di Australia Utara, dan 2016 akan membangun pusat komando korps
marinir 2.500 orang.
Pada bulan Agustus 2014, kemudian
Menhan AS Chuck Hagel dan Menlu AS John Kerry bersama-sama mengunjungi
Australia, dimana mereka menandatangani serangkaian perjanjian kerjasama
militer dengan Australia.
Apa yang paling menarik perhatian
adalah militer AS merencanakan untuk mendirikan pangkalan Darwin sebagai
pangkalan militer AS permanen, dan berusaha untuk meningkatkan skala tentara korps
laut untuk digunakan pada rotasi (diasramakan) disana.
Teluk Darwin terletak di utara
Australia, berada sekitar 2.500 km dari Laut Tiongkok Selatan. Dalam hal ini
bisa mengontrol Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Makssar, dan Selat Sunda,
sedang di selatan, itu bisa masuk ke jantung Australia.
Jika jet tempur AS terbang dari
sekitar Darwin, jangkauannya akan lebih dari cukup untuk mencapai Laut Tiongkok
Selatan. Selama P.D. II Darwin merupakan pangkalan militer penting bagi sekutu.
Selama perang dingin, Australia dielu-elukan oleh Barat sebagai “jangkar
selatan” yang mendukung eksistensi AS ke kawasan Pasifik Barat. Saat ini, nilai
“jangkar” ini sedang digunakan sekali lagi oleh AS.
Uraian Berdasarkan ahli
Strategi Militer dunia Luar
Jepang, Guam dan cluster pangkalan
Selandia Baru menjadi yang cukup penting, kerena tata-letak dari medan tempur,
dapat dianggap sebagai tiga “jangkar”. Untuk menstabilkan medan Asia-Pasifik,
dapat dipercaya bahwa Guam adalah jangkar utama.
Kemudian pangkalan Jepang utara,
dipercaya ini adalah “jangkar” untuk menstabilkan medan tempur di utara. Dan
ada satu sisi yang bebas. Dalam rangka menstabilkan medan tempur Asia-Pasifik,
maka hal itu tergantung Australia ke selatan.
Militer AS selalu menggunakan sistem
rotasi ubtuk garnisun di utara Australia bukannya menempatkan jangka panjang,
seperti yang dilakukan di Jepang. Rotasi maksudnya setiap kekuatan pasukan atau
kapal yang diasramakan di daerah tententu selama tiga sampai enam bulan
dipindahkan.
Hal ini dilakukan untuk menghindari
serangkaian masalah biaya, seperti keluarga personil yang dikerahkan, dan dapat
membuat lebih banyak pasukan jadi akrab dengan situasi setempat. Jika AS dengan
proposal dari pangkalan militer baru di Filipina karena mencari “rute lebih
dekat,” untuk “taruhan lebih aman” maka
pangkalan di Darwin Australia, justru karena jauh.
Dalam beberapa tahun terkahir, AS
merasa menyebaran dan mengerahan jarak jauh telah secara bertahap tertembus
dengan kemampuan rudal jarakan jauh Tiongkok pada mata rantai pulau pertama,
dan menimbulkan ancaman terhadap pangkalan militer AS di pulau mata rantai
pertama.
Maka, AS mulai memperkuat pembentukkan
matai rantai pulau kedua, dan Australia menjadi target ideal bagi AS untuk
pasukan garnisun di garis depan baru ini.
AS mengeluarkan laporan tentang
“Militer Kekuatan RRT” setiap tahun, dan hal yang paling sangat disebutkan
dalam laporan ini adalah Rudal Dong Feng 21D, serta Dong Feng 26 yang memiliki
jangkau lebih jauh dari Dong Feng 21D.
Pada titik ini, AS merasa bahwa ketika
kapal induk atau seluruh gugus tugasnya lebih mendekat ke pantai Tiongkok, maka
mereka merasa lebih berbahaya, sehingga mereka labih baik menarik mereka lebih
jauh.
Pangkalan militer AS di mata rantai
pulau pertama, terkonsentrasi di Jepang, dan pangkalan di Jepang terkonsentrasi
di Okinawa. Berdasarkan rencana militer AS untuk mengatur ulang garnisun di
kawasan Asia-Pasifik, 12.000 dari 18.000 tentara yang ditempatkan di Okinawa
akan ditarik keluar, dan didistribusikan ke Hawaii, Guam dan Darwin.
Di masa depan, jumlah tentara AS yang
ditempatkan di Okinawa mungkin jauh lebih sedikit hingga pada jumlah ribuan
saja. Relatif, jumlah marinir AS yang ditempatkan di bagian utara Australia
akan mencapai hampir 3.000, dan ketika mempertimbangkan personil untuk pembom
strategis dan kapal perang, jumlah personel militer AS yang ditempatkan
ditempatkan di bagian utara Australia mungkin akan menyamai atau mendekati
dengan jumlah yang ditempatkan di Okinawa.
Jadi, apakah Australia akan menjadi
Jepang kedua diagram militer AS untuk menyesuaikan pangkalan militer di
Asia-Pasifik? Banyak analis yang tidak percaya bahwa Australia akan dibentuk
oleh AS seperti Jepang.
Satu hal adalah militer AS tidak
memiliki kebutuhan besar seperti itu, dan kondisinya sudah lain, yang penting
meskipun Asutralia memungkin marinir AS berada di sana, tapi Australia tidak
ingin menjadi begitu ketat terikat dengan militer AS, situasi Australia mungkin
sangat baik menjadi sedikit berbeda dari Jepang.
Tiongkok dan Australia mempunyai
hubungan ekonomi dan perdagangan yang sangat dekat, dan pada kenyataanya,
Australia telah menyatakan beberapa kali bahwa mereka tidak ingin memihak pada
salah satu sisi antara AS dan Tiongkok atas pertimbangan yang cukup realistis.
Jadi Australia tidak akan mengikuti seperti sedekat Jepang dengan AS.
Jepang berperilaku sangat positif, dan
sangat bersedia untuk menjadi pion AS untuk menekan Tiongkok, tetapi sebagai
sekutu AS juga telah mengambil beberapa sikap, dan AS telah berulang kali meminta
agar meningkatkan anggaran pertahanan dalam rangka untuk mengambil beberapa
beban pertahanan mereka, dan tidak lagi menebeng terus secara gratis kepada AS.
Jadi saat ini, untuk isu-isu pangkalan
militer AS di Australia, kedua belah pihak AS-Australia ada sisi kerjasama dan
ada sisi memperjuangkan kepentingannya sendiri.
Pada kenyataannya, dalam bebebrapa
tahun terkahir, AS telah mempromosikan situasi Asia Timur Laut, dan
mensensasioninilkan isu Laut Tiongkok Selatan agar mendapat sekutu dan mitra di
Asia-Pasifik dan memperluas kehadiran militernya di kawasan tersebut, namun
belum memperoleh banyak pendukung.
“Reformasi lily pads” telah
dipromosikan AS di pangkalan militer di Asia-Pasifik juga memiliki beberapa
variabel.
Pada 9 Mei 2016, hasil pemilu Filipina
telah dimenangkan oleh Rogdrigno Duterte sebagai Presiden, yang sebelumnya
telah 25 tahun menjadi mayor di kota Davao di Pulau Mindanao, Selatan Filipina,
dia akan menjabat sebagai presiden Filipina selama periode untuk 6 tahun
(pemilu diadakan setiap 6 tahunan).
Jadi apakah Filipina akan terus
membuka pangkalan militernya untuk militer AS dan apakah “EDCA” akan
dilaksanakan, itu tergantung pada keputusan presiden baru.
Richard Javad Heydarian, Asisten
Professor dari De La Salle University mengatakan: “Ini karena Aquino segera
akan berakhir (sudah berakhir 31 Juni 2106 lalu), dan karena ini (EDCA) adalah
kesepakatan eksekutif, maka itu diserahkan kepada presiden baru untuk
bernegosiasi tentang hal itu, dan ini adalah hak prerogatif dari siapapun yang
menjadi presiden baru...”
Pangkalan Militer AS Di Dunia
Menurut laporan AS tahun 2013, di
kawasan Asia-Pasifik ada hampir 600 pangkalan di lebih dari 30 negara. Ada tiga
jenis pangkalan: Salah satu jenis adalah pangkalan permanen, yang memiliki
fasilitas yang cukup lengkap, termasuk fasilitas pendukung, personil, gudang
senjata dan amunisi, pokoknya lengkap. Sebagai contoh, Pangkalan Kadena,
Okinawa, Yosuka, dan Pangkalan Guam semua ini sebagai pangkalan inti.
Jenis kedua, pangkalan tempur garis
depan, terutama harus memiliki sejumlah personel, termasuk orang-orang yang
secara permanen diasramakan di sana dan cukup logistik secara skala kecil dan
kekuatan dukungan teknis dan gudang amunisi. Seperti Pangkalan AL Changi di
Singapura dan pangkalan masa depan yang akan digunakan di Filipina.
Jenis yang ketiga, yang bisa menjadi
sebagai titik kooperatif keamanan, dimana mereka bisa bekerjasama. Artinya
tidak ada kekuatan aktif di daerah itu, tapi mungkin mengirimkan beberapa
senjata dengan kontraktor lokal untuk mengelolanya.
Di masa yang akan datang AS akan
mencari di negara-negara Asteng, termasuk Malaysia, Indonesia dan Brunei untuk
menemukan beberapa poin keamanan kooperasi yang kooperatif.
Perwujudan umum dari ini adalah
setelah Perang Dingin, terutama dalam bebebrapa tahun terakhir ini, militer AS
tidak ingin berinvestasi terlalu banyak energi dalam mempertahankan pangkalan
militer di luar negeri.
Dalam rangka menerapkan strategi untuk
menyeimbangkan kemabli Asia-Pasifik, pemerintah Obama telah mempercepat
penanaman “lily pads” di kawasan tersebut untuk menggeser kops laut, pasukan
khusus, jet tempur dan kapal perang yang awalnya ditempatkan di Eropa untuk
kawasan Asia-Pasifik.
Militer AS juga mencari lebih banyak
lagi “lily pads” sepanjang Laut Jepang, Semenanjung Korea, Kepulauan Liuqiu,
Guam, Filipina, Timor Leste, Australia, Selandia Baru, Vietnam, Singapura,
Malaysia, Thailand, Myanmar dan India.
Dari sejumlah upaya ini,
penyebaran militer di Australia adalah yang paling penting.
Pada 9 Maret situs “Diplomat” yang
berbasis di Jepang melaporkan bahwa AS dan Australia sedang melakukan negosiasi
mengenai penyebaran pesawat pembom B-1B dan Jet pengisian bahan bakar udara ke
pangkalan utara Australia, negosiasi ini terutama diskusi tentang pesawat
pembom AS yang akan dirotasikan di Pangkalan RAAF Darwin dan Pangkalan RAAF
Tindal di Australia Utara.
Secara geografis, pangkalan Darwin dan
Tindal di Australia Utara yang berjarak 4.500 km dengan daratan Tiongkok, dan
sekitar 3.000 km dengan Laut Tiongkok Selatan. Berdasarkan kecepatan
penerbangan 1 Mach (1ma=1224kph) maka B-1B ketika mencapai kecepatan menembus
pertahanan (barrier suara) di tinggian rendah, akan mampu mencapai Laut
Tiongkok Selatan sekitar 3 jam dan bisa mendekati Asia Timur tidak lebih dari 4
jam.
Ini jauh lebih dekat daripada dibandingkan
jika terbang dari AS. Tapi tidak semua semua militer AS dikerahkan ke
Australia.
Pada 15 Maret 2011, Presiden Obama
mengumumkan ketika melakukan kunjungan
ke Australia yang dimulai pada tahun 2012, AS akan mengerahkan 200-250 prajurit
korps marinir di Australia Utara, dan 2016 akan membangun pusat komando korps
marinir 2.500 orang.
Pada bulan Agustus 2014, kemudian
Menhan AS Chuck Hagel dan Menlu AS John Kerry bersama-sama mengunjungi
Australia, dimana mereka menandatangani serangkaian perjanjian kerjasama
militer dengan Australia.
Apa yang paling menarik perhatian
adalah militer AS merencanakan untuk mendirikan pangkalan Darwin sebagai
pangkalan militer AS permanen, dan berusaha untuk meningkatkan skala tentara korps
laut untuk digunakan pada rotasi (diasramakan) disana.
Teluk Darwin terletak di utara
Australia, berada sekitar 2.500 km dari Laut Tiongkok Selatan. Dalam hal ini
bisa mengontrol Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Makssar, dan Selat Sunda,
sedang di selatan, itu bisa masuk ke jantung Australia.
Jika jet tempur AS terbang dari
sekitar Darwin, jangkauannya akan lebih dari cukup untuk mencapai Laut Tiongkok
Selatan. Selama P.D. II Darwin merupakan pangkalan militer penting bagi sekutu.
Selama perang dingin, Australia dielu-elukan oleh Barat sebagai “jangkar
selatan” yang mendukung eksistensi AS ke kawasan Pasifik Barat. Saat ini, nilai
“jangkar” ini sedang digunakan sekali lagi oleh AS.
Uraian Berdasarkan ahli
Strategi Militer dunia Luar
Jepang, Guam dan cluster pangkalan
Selandia Baru menjadi yang cukup penting, kerena tata-letak dari medan tempur,
dapat dianggap sebagai tiga “jangkar”. Untuk menstabilkan medan Asia-Pasifik,
dapat dipercaya bahwa Guam adalah jangkar utama.
Kemudian pangkalan Jepang utara,
dipercaya ini adalah “jangkar” untuk menstabilkan medan tempur di utara. Dan
ada satu sisi yang bebas. Dalam rangka menstabilkan medan tempur Asia-Pasifik,
maka hal itu tergantung Australia ke selatan.
Militer AS selalu menggunakan sistem
rotasi ubtuk garnisun di utara Australia bukannya menempatkan jangka panjang,
seperti yang dilakukan di Jepang. Rotasi maksudnya setiap kekuatan pasukan atau
kapal yang diasramakan di daerah tententu selama tiga sampai enam bulan
dipindahkan.
Hal ini dilakukan untuk menghindari
serangkaian masalah biaya, seperti keluarga personil yang dikerahkan, dan dapat
membuat lebih banyak pasukan jadi akrab dengan situasi setempat. Jika AS dengan
proposal dari pangkalan militer baru di Filipina karena mencari “rute lebih
dekat,” untuk “taruhan lebih aman” maka
pangkalan di Darwin Australia, justru karena jauh.
Dalam beberapa tahun terkahir, AS
merasa menyebaran dan mengerahan jarak jauh telah secara bertahap tertembus
dengan kemampuan rudal jarakan jauh Tiongkok pada mata rantai pulau pertama,
dan menimbulkan ancaman terhadap pangkalan militer AS di pulau mata rantai
pertama.
Maka, AS mulai memperkuat pembentukkan
matai rantai pulau kedua, dan Australia menjadi target ideal bagi AS untuk
pasukan garnisun di garis depan baru ini.
AS mengeluarkan laporan tentang
“Militer Kekuatan RRT” setiap tahun, dan hal yang paling sangat disebutkan
dalam laporan ini adalah Rudal Dong Feng 21D, serta Dong Feng 26 yang memiliki
jangkau lebih jauh dari Dong Feng 21D.
Pada titik ini, AS merasa bahwa ketika
kapal induk atau seluruh gugus tugasnya lebih mendekat ke pantai Tiongkok, maka
mereka merasa lebih berbahaya, sehingga mereka labih baik menarik mereka lebih
jauh.
Pangkalan militer AS di mata rantai
pulau pertama, terkonsentrasi di Jepang, dan pangkalan di Jepang terkonsentrasi
di Okinawa. Berdasarkan rencana militer AS untuk mengatur ulang garnisun di
kawasan Asia-Pasifik, 12.000 dari 18.000 tentara yang ditempatkan di Okinawa
akan ditarik keluar, dan didistribusikan ke Hawaii, Guam dan Darwin.
Di masa depan, jumlah tentara AS yang
ditempatkan di Okinawa mungkin jauh lebih sedikit hingga pada jumlah ribuan
saja. Relatif, jumlah marinir AS yang ditempatkan di bagian utara Australia
akan mencapai hampir 3.000, dan ketika mempertimbangkan personil untuk pembom
strategis dan kapal perang, jumlah personel militer AS yang ditempatkan
ditempatkan di bagian utara Australia mungkin akan menyamai atau mendekati
dengan jumlah yang ditempatkan di Okinawa.
Jadi, apakah Australia akan menjadi
Jepang kedua diagram militer AS untuk menyesuaikan pangkalan militer di
Asia-Pasifik? Banyak analis yang tidak percaya bahwa Australia akan dibentuk
oleh AS seperti Jepang.
Satu hal adalah militer AS tidak
memiliki kebutuhan besar seperti itu, dan kondisinya sudah lain, yang penting
meskipun Asutralia memungkin marinir AS berada di sana, tapi Australia tidak
ingin menjadi begitu ketat terikat dengan militer AS, situasi Australia mungkin
sangat baik menjadi sedikit berbeda dari Jepang.
Tiongkok dan Australia mempunyai
hubungan ekonomi dan perdagangan yang sangat dekat, dan pada kenyataanya,
Australia telah menyatakan beberapa kali bahwa mereka tidak ingin memihak pada
salah satu sisi antara AS dan Tiongkok atas pertimbangan yang cukup realistis.
Jadi Australia tidak akan mengikuti seperti sedekat Jepang dengan AS.
Jepang berperilaku sangat positif, dan
sangat bersedia untuk menjadi pion AS untuk menekan Tiongkok, tetapi sebagai
sekutu AS juga telah mengambil beberapa sikap, dan AS telah berulang kali meminta
agar meningkatkan anggaran pertahanan dalam rangka untuk mengambil beberapa
beban pertahanan mereka, dan tidak lagi menebeng terus secara gratis kepada AS.
Jadi saat ini, untuk isu-isu pangkalan
militer AS di Australia, kedua belah pihak AS-Australia ada sisi kerjasama dan
ada sisi memperjuangkan kepentingannya sendiri.
Pada kenyataannya, dalam bebebrapa
tahun terkahir, AS telah mempromosikan situasi Asia Timur Laut, dan
mensensasioninilkan isu Laut Tiongkok Selatan agar mendapat sekutu dan mitra di
Asia-Pasifik dan memperluas kehadiran militernya di kawasan tersebut, namun
belum memperoleh banyak pendukung.
“Reformasi lily pads” telah
dipromosikan AS di pangkalan militer di Asia-Pasifik juga memiliki beberapa
variabel.
Pada 9 Mei 2016, hasil pemilu Filipina
telah dimenangkan oleh Rogdrigno Duterte sebagai Presiden, yang sebelumnya
telah 25 tahun menjadi mayor di kota Davao di Pulau Mindanao, Selatan Filipina,
dia akan menjabat sebagai presiden Filipina selama periode untuk 6 tahun
(pemilu diadakan setiap 6 tahunan).
Jadi apakah Filipina akan terus
membuka pangkalan militernya untuk militer AS dan apakah “EDCA” akan
dilaksanakan, itu tergantung pada keputusan presiden baru.
Richard Javad Heydarian, Asisten
Professor dari De La Salle University mengatakan: “Ini karena Aquino segera
akan berakhir (sudah berakhir 31 Juni 2106 lalu), dan karena ini (EDCA) adalah
kesepakatan eksekutif, maka itu diserahkan kepada presiden baru untuk
bernegosiasi tentang hal itu, dan ini adalah hak prerogatif dari siapapun yang
menjadi presiden baru...”
Pada kenyataan di Filipina banyak terjadi
demo protes atas “EDCA” ini. Yang menghendaki AS untuk keluar dari Filipiana. Banyak
warga Filipina tidak suka kembalinya tentara AS di negara itu, serta kekejaman
yang datang bersama itu. Mereka menyerukan pencabutan perjanjian yang tidak
seimbang serupa seperti “Visiting Force Agreement” dan “Mutual Defense Treaty.”
Sebenarnya
banyak faktor yang menghambat untuk pangkalan militer AS ini. Alasan penting
bahwa negara-negara yang memberi pangkalan kepada AS karena berdasarkan
penilaian terhadap situasi keamanan, jika situasi menjadi semakin tegang,
mereka merasa tidak cukup kuat, sehingga sebagai negara kecil atau bahkan
sebagai kekuatan menengah, sering berpikir untuk membiarkan kekuatan utama
untuk datang masuk untuk “melindungi” mereka.
Tetapi
begitu situasi keamanan baik, mereka tidak merasa seperti ada kebutuhan.
Meskipun AS telah membangun begitu banyak pangkalan di Jepang dan Filipina,
dalam kenyataannya, negara-negara ini selalau memiliki oposisi utama terhadap
pangkalan militer AS.
Setelah Perang
Dingin, banyak protes dari warga negara dimana pangkalan AS berada untuk minta
AS keluar dari negara-negara mereka, masyarakat umum turun ke jalan dengan
spanduk, protes keras. Selama latihan bersama AS-Filipina Balikatan baru-baru
ini, juga banyak demo protes minta AS keluar dari negaranya.
Bagi
mereka ini adalah bentuk pemikiran Perang Dingin dan menginginkan menggunakan
pangkalan di negara-negara ini sebagai basis di waktu perang, sebab jika memang
terjadi perang yang diserang pasti mereka. Masalahnya jika kapal perang atau
pesawat tempur AS berpusat di pangkalan ini untuk menyerang suatu negara lain,
negara yang diserang pasti akan menyerang balik pangkalan udara atau laut
tersebut untuk menjadi target. Sedang AS akan sangat terhindar dari serangan
balasan tersebut karena jaraknya yang jauh.
Selain
dipengaruhi oleh pemerintah mereka
sendiri dan opini publik, banyak negara Asia-Pasifik yang membuka pangkalan
militer dengan AS tidak senang dengan permintaan AS untuk menanggung biaya
operasi sendiri, dan telah menyatakan ragu bahwa itu kemungkinannya akan
berpengaruh terhadap perdagangan dan kemitraan hubungan dengan Tiongkok.
AS telah
secara aktif berusaha agar negara-negara Asia-Pasifik untuk mengambil bagian
dari “rencana lily pads” dalam rangka untuk menyebarkan pangkalan militer di seluruh
dunia, tapi tampaknya lily pads ini tidak stabil, akar mereka tidak ada, dan
berresiko bergerak dan terbalik setiap saat.
Sucahya
Tjoa
8 Juli
2016
Sumber:
Media TV dan Tulisan Dalam & Luar Negeri
No comments:
Post a Comment