Monday 11 July 2016

Upaya Hegemoni Global AS Dengan Konsep Pangkalan Militer “Lily Pads”

Upaya Hegemoni Global AS Dengan Konsep Pangkalan Militer “Lily Pads”


Pangkalan militer luar negeri sangat penting bagi strategi militer AS untuk menghegemoni dunia. Menurut laporan “Base Structure Report for the 2013 Fiscal Year” yang dirilis oleh Pentagon tahun 2014, pangkalan militer AS yang tersebar di seluruh dunia (kecuali Antartika) dan lautan dunia total ada 588 yang berada di 40 negara-nagara.

Sekitar 400.000 tentara AS di garison atau dimarkaskan dengan jumlah padat di pangkalan  militer ini di luar negeri, disertai 11 kapal induk yang berkeliaran di lautan seluruh dunia, semua ini berfungsi sebagai tumpuhan penting bagi strategi global AS, yang mendukung domain kekuasaan global AS yang terpancar dari Washungton DC.

Mengenang Anti Pangkalan Militer Asing Soekarno Tahun 1965


Menjelang dijatuhakan Soekarno oleh rezim militer Orba. Pada 17 Oktober tahun 1965 Soekarno menelenggarakan Koferensi International Anti Pangkal Militer (KIAPMA) di Hotel Indonesia Jakarta, yang dibuka oel Soekarno sendiri. Konferensi Internasional ini peyelenggaranya adalah Indonesia dan sasaran utamanya adalah Amerika Serikat.


Diantara 40 negara yang hadir dalam konferensi tersebut, Radio Republik Indonesia melaporkan bahwa Vietnam Utara, Jepang, Prancis, Tanzania dan Selandia Baru sebagai anggota Badan Eksekutif. Republik Rakyat Tiongkok tidak diizinkan untuk hadir karena pada waktu itu oleh rezim Orba diduga terlibat dalam upaya kudeta September yang mendukung PKI, yang pada saat itu dituduh oleh front anti komunis sebagai aktor kunci yang memicu upaya kudeta September 1965.

Sikap Soekarno yang kekeh dan melakukan serangan konfrontatif melawan pendirian pangkalan militer asing di kawasan Asia harus dibaca dalam konteks perjuangan yang tak kenal lelah dalam melawan dominasi negara-negara Barat yang menjajah negara-negara Asia dan Afrika selama berabad-abad.

Dilihat dari tren global saat ini yang melibatkan AS, negara-negara Eropa Barat, Rusia dan Tiongkok, masalah menghapuskan pangkalan militer asing sebagaimana dimaklumatkan oleh Soekarno Oktober 1965 masih menjadi inspirasi bagi mereka yang menentang kehadiran militer AS da sekutu-sekutunya di kawasan Asia. Sebagai inspirasi Soekarno berkata: “kita akan menang. Kita akan menghancurkan inperialisme dengan kekuatan gabungan kita. Kita harus menciptakan Perdamaian Dunia tanpa kejahatan imperialisme yang berasal dari kapitalisme.”

Terlepas dari kenyataan bahwa Soekarno tidak lagi menjabat sebagai Presiden Indonesia, tetapi kontribusi besarnya untuk Perdamaian Dunia serta pemberdayaan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif masih menjadi inspirasi bagi para pemangku kepentingan politik luar negeri di Indonesia dalam merespon kemungkinan hadirnya militer AS dan sekutunya di kwasan Asia, terutama di Asia Tenggara. ( dikutip:  Mengenang Presiden Soekarno dalam melawan pangkalan militer asing di Asia, sebuah inspirasi terhadap skema kerjasama militer AS di ASEAN. Oleh: Hendrajit: Direktur Ekseutif Future Institute). 

Kendala Anggaran dan Dana AS Mengubah Tata-letak Pangkalan Militernya

Pada kahir-akhir ini, tata-letak pangkalan militer AS di luar negeri diam-diam berubah. Beberapa pangkalan di Eropa telah ditutup, tapi menambah beberapa pangkalan di kawasan Asia-Pasifik. Tapi bagaimana AS mengatur posisi pangkalan militernya di Asia Pasifik?

Pada 15 April 2106, Latihan bersama Balikatan yang ke-32 antara militer AS dan Filipina berakhir. Tahun ini Latma ini selain bertema merebut kembali pulau yang diduduki lawan, pada akhir laithan juga menghasilkan kesepakatan Peningkatan Kerjasama Pertahanan “Enhanced Defense Cooperation Agreement/EDCA” (Perjanjian Kerjasama Peningkatan Pertahanan) yang akan ditingkat menjadi konstitusional.

Roland Shimbulan, Professor dari Departemen Ilmu Sosial di Universitas Flipina, di Manila mengatakan, untuk EDCA itu memungkinkan atas permintaan mereka, yang pada kenyataannya dengan izin dari pemerintah dan angkatan bersenjata Filipina, untuk menggunakan semua kamp militer di seluruh Filipina. Ini tampaknya akan memberi akses ke pasukan AS.

“EDCA” antara AS-Filipina ditanda-tangani pada 28 April 2014 untuk jangka waktu sepuluh tahun. Berdasakan perjanjian ini pemerintah Filipina  dengan aktif mengusulkan membuka delapan pangkalan militer kepada militer AS, untuk menyimpan senjata, amunisi dan peralatan lainnya.


Bagi AS, yang sedang mengejar untuk mempercepat strategi untuk “keseimbangan kembali Asia-Pasifik” ini sangat persis dengan yang dinginkan AS. Namun beberapa politisi dan masyarakat Filipina percaya bahwa ini melanggar konstitusi Filipina. Tapi pada 12 Januari 2016, kesepakatan ini dinyatakan konstitusional, dan membuka jalan bagi perjanjian ini untuk sepenuhnya dilaksanakan.
                                
Menhan AS Ashton Carter mengatakan bahwa kerjasama pertahanan nasional AS-Filipina diarahkan untuk Laut Tiongkok Selatan.

Menurut perjanjian tersebut, pada 21 Maret 2016, Filipina sepakat untuk membuka lima dari pangkalan militer mereka untuk digunakan militer AS, yang memungkinkan militer AS untuk merotasikan kapal perang dan pesawatnya untuk dimarkaskan di Filipina untuk melakukan bantuan kemanusiaan dan operasi keamanan maritim.

Lima pangkalan militer ini adalah Anonio Bastista di Palawan, sebelah barat Filipina; Pangkalan Udara Basa di utara ibukota Manila; Fort Magsaysay di kota Palayan di tengah Luzon; Pangkalan udara Lumbia di selatan Pulau Mindanao; dan Pangkalan Udara Mactan-Banito Ebuen terletak di tengah kota Cebu.

Tapi yang dianggap paling penting dari lima pangkalan ini, Pangkalan Udara Antonio Bastita yang terletak di pulau Palawan, yang dekat dengan Kepulauan Nansha (Spratly). Meskipun skala pangkalan udara ini tidak sebesar seperti Pangkalan Udara Clark, tapi akan merupakan satu-satunya pangkalan udara besar-besaran, setelah mengalami renovasi akan bisa didarati pesawat besar, dan akan memiliki makna strategis yang sangat jelas.


Menurut pandangan pengamat militer, Palawan sangat dekat dengan Laut Tiongkok Selatan, jaraknya kurang dari 500 km dari pusat Kepulauan Nansha. Yang kedua, lokasinya difokuskan di bagian utara Luzon, dari lokasi ini jika angkatan udara terbang dari pangkalan udara tersebut di masa depan, maka militer AS yang memiliki pesawat pengintai strategis seperti R-7135 dan dari AL memiliki P-3C, EP-3 dan P-8A pesawat patroli anti-kapal selam bisa memantau garis pulau-pulau di sekitar Pulau Hainan, termasuk Kepulauan Xisha (Paracel Islands)

Jika dari Pangkalan Udara Kadena di Okinawa, akan menjadi 1.000 km lebih jauh bila di bandingkan dari Filipina, maka akan lebih ekonomis dan lebih cepat mencapai lokasi.  Kedua, dapat menghemat bahan bakar dan meningkatkan waktu operasi di udara lebih dari dua jam.

Tapi saat ini,lima pangkalan militer Filipian ini tidak termasuk yang sebesar Pangkalan Clark. Kerena itu banyak analis yang percaya Filipina akan membuka pangkalan militerya lebih banyak lagi kepada AS.

Secara historis, metode yang paling umum bagi militer AS dalam mengerahkan pasukan militernya di seluruh dunia meliputi:
Pertama, menciptakan turbulensi di daerah yang akan dituju, agar mempunyai alasan untuk menggelar pasukan di daerah tersebut.
Kedua, menyesuaikan jumlah pasukan dalam latihan-latihan tertentu di kawasan tertentu, melalui latihan militer bersama dan cara-cara lainnya, kemudian secara terbuka atau diam-diam menolak untuk meninggalkannya.
Ketiga, menggunakan kunjungan khusus untuk membuat kehadirannya di daerah tertentu.

Kini, sengketa Laut Tiongkok Selatan terlihat meningkat, dan militer AS tampaknya akan menggunakan alasan ini untuk secara bertahap meresapkan pasukannya ke Asia Tenggara dan Asia Timur, dan akan menjadikan diri sedapat mungkin menjadi  “pengawal di bagian garis belakang (beking)” dalam konflik tersebut.

Dari sini, kita dapat melihat bahwa latihan militer Filipiana-AS, dan dengan membukanya Filipina untuk pangkalan militernya kepada AS, ini bukannya suatu tindakan sederhana mereka secara bilateral, disini tersembunyi binih strategi umum, yang menjurus pada strategis mereka.

Pada 1 Juli 2015, Menhan AS Ashton Carter menjadi tuan rumah konferensi pers, pada saat itu Kepala Staf Gabungan Martin Demsey dengan resmi mengumumkan kepada publik AS tentangan laporan “Strategi Militer Nasional”, yang merupakan untuk pertama kalinya diperbarui sejak 2011.

Dalam laporan ini yang menjadi menarik perhatian media global ada yang menyatakan seperti berikut: “Hari ini, kemungkinan keterlibatan AS dalam perang antarnegara dengan kekuatan utama dinilai rendah tetapi sedang tumbuh”  Dalam laporan tersebut untuk penguatan jaringan global dengan sekutu dan mitra telah ditulis dalam satu bab.

Ini berati bahwa metode tempur AS di seluruh dunia akan mengalami perubahan besar-besaran. Ketika ditanya, bagaimana AS akan mengangani trans regioanl terororisme. Dempsey menyebutkan secara metafora dengan lily pads.

Dempsey mengatakan; “Apa yang kita coba lakukan dengan menggunakan metafora lily pads. Kita coba membangun jaringan. Lily pads tidak mengapung secara independen di atas air, tapi anda tahu, Jim. Mereka itu terhubung dengan arsitektur sub-permukaan. Dan kita mencoba membangun kerangka kerja, suatu perancah (scaffolding) untuk mengatasi masalah trans-regioanl.”

Strategi “Lily Pads” ini menjadi komponen penting dari strategi militer AS. AS akan membangun komponen-komponen kecil penting, lincah berbasis di luar negeri di bidang yang dibutuhkan secara diam-diam, yang perawatannya rendah, tapi modular selama masa perang, dalam rangka mendukung operasi militer AS. Dengan bergesernya strategi global Obama ke seluruh Asia, Pentagon berupaya untuk menyebarkan “bantalan lily/lily pads” di Asia-Pasifik.

“Burung pipit mungkin kecil, tetapi dengan perlengkapan yang komplek dan komplit akan mrnjadi lain.” Selama bertahun-tahun, dunia luar telah mengomentari tentang rencana militer AS untuk membuat “lily pads” (bantalan lili) ini. Dalam pandangan dunia luar, AS mendirikan banyak pangkalan skala kecil di wilayah yang luas seperti banyak kolam di Asia-Pasifik, dengan bantalan ini, memudahkan si “katak” (militer AS) untuk melompat ke salah satu target.


Rencana lily pads AS ini pertama kali terpikirkan oleh Donbald Rumsfeld selama pemerintahan Bush. Dia percaya bahwa AS harus mengganti pangkalan-pangkalan militer AS yang besar-besaran dengan yang kecil-kecil tapi fleksible atau lincah.

Setelah Perang Dingin berkahir, militer AS benar-benar menjadi yang paling kuat di dunia, tidak mempunyai lawan yang sebanding, sehingga sudah tidak dibutuhkan lagi pangkalana militer seperti masa lalu jika ingin berperang. Pada saat membangun pangkalan militer AS di Eropa, tujuannya sangat jelas diarahkan untuk militer Uni soviet dan Pakta Pertahanan Warsawa.

Setelah Perang Dingin sudah berakhir, kemana lagi AS bisa pergi berperang? Dimana musuh-musuhnya? Untuk sementara waktu sudah kehilangan lawan tanding. Sehingga untuk saat ini, AS rasa pangkalan militer di luar negeri mahal, dan menyia-nyiakan banyak uang dan tidak mempunyai efek dan tujuan yang jelas, maka perlu menarik pasukan keluar dengan tajam. Tetapi kemana dan bagaimana harus menempatkan mereka? Pada saat terjadi benar mereka ditarik keluar?

Maka terpikirlah rencana lily pads. Lily Pad cukup kecil tetapi menyebar luas. AS menarik diri dari pangkalan besar yang memarkaskan pasukan (garnisun) besar disana, tapi sekarang bisa memiliki garnisun kecil untuk digunakan secara normal, tetapi ketika mereka dibutuhkan, garnisun bisa diperluas dengan cepat.

Itulah yang terpikir oleh AS. Setelah serangan teroris 9-11 terjadi, pemerintah Bush mempercepat rencana lily pads dengan menggunakan alasan kontraterorisme. Dia berharap pangkalan kecil dapat membuat batu loncatan yang fleksibel, pasukan tempur yang dapat dirotasi di banyak tempat, dan titik-titik untuk pemasokan militer tempur AS di seluruh dunia.

Bahkan selama pemerintahan Obama, kebijakan penyesuaian untuk pangkalan militer di luar negeri masih diperpanjang.

Upaya AS Menekan Dan Memblokade Tiongkok

Dengan mengimplementasikan strategi “Menyeimbangkan Kembali Asia-Pasifik,” AS percaya dalam situasi saat ini, dengan mengerahkan 60% kekuatan dan senjata militer untuk mata rantai pertama dan kedua, itu masih akan sulit untuk secara efektif menekan dan memblokade Tiongkok. 

Karena itu, kawasan Asia-Pasifik menjadi fokus dari dari strategi bantalan lily pad untuk diletakkan disini oleh Pentagon.”Dengan basis lokal pada intinya, dan pangkalan luar negeri di garis depan, menggabungkan dua garis, dengan konfigurasi multi-tier. (berjenjang)”

Model ini yang digunakan AS untuk menciptakan sistim pangkalan militer. Mengingat pentingnya dari Asia-Pasifik, dan apa yang yang mereka sebut sebut “ancaman Tiongkok”. AS memiliki jumlah paling banyak pangkalan militer di Asia-Pasifik, kedua di Eropa yang mencakup 42% dari total basis di luar negeri.


Yang pada dasarnya memiliki “tiga garis konfigurasi” : Garis pertama, terdiri dari empat pangkalan di empat bidang, Alaska, Asia, Timur Laut, Asia Tenggara dan Samudra Hindia, yang mengontrol rute strategis secara signifikan rute udara, selat dan perairan.

Garis kedua, terdiri dari dua basis kelompok/cluster di Guam, Australia, Selandia baru. Ini lini pertama pendukung basis dan basis transfer untuk transportasi laut dan udara, serta basis pengintaian penting.

Garis ketiga, terdiri dari cluster basis Pulau Hawaii, dimana USPACOM / Komando Pasifik berkantor pusat. Ini menjadi dukungan belakang untuk operasi tempur di Asia-Pasifik, dan untuk menjaga pertahanan untuk wilayah tanah air AS. Ini adalah yang terkenal dengan distribusi panjang tiga mata rantai pulau.

Tiga jalur penyebaran dan pergelaran ini untuk mengontrol Asia-Pasifik. Selain itu ketika ada pertemuran di Eurasia, bisa dengan cepat menggunakan mata rantai jaringan pangkalan dasar seluruhnya untuk mengerahkan seluruh pasukan ke garis depan.

Dengan mendorong strategi AS untuk “kembali ke Asia-Pasifik”, AS juga mengusulkan “Konsep Bertempur Baru.”

Pada bulan Pebruari 2010, Dephan AS merilis “Quadrennial Defense Review,” (Review Pertananan Untuk Empat Tahunan) yang menyebutkan pengembangan “Sea Air Battle”(Pertempuran Laut Udara) untuk pertama kalinya. Doktrin Pertempuran Laut Udara terutama dirancang untuk Angkatan Laut dan Angkatan Udara, yang akan melakukan misi dengan semua sekutu dalam pertempuran dengan memanfaatkan keunggulan informasi dengan serangan pemboman presisi dengan skala besar dengan sekutu.

Setelah Perang Dingin selesai, militer AS juga memiliki konsep untuk mengembangkan pergelaran dengan jaringan yang fleksibel. Jaringan ini dipilih karena untuk konsep pertempuran Laut Udara, dan banyak pengamat militer yang  mengetahui ini terutama ditujukan untuk rudal Tiongkok. Mereka sangat mempengaruhi semua mata rantai pangkalan pulau pertama, kelompok kapal induk di Samudra Pasifik Barat.

Pada titik ini, AS harus mengatasi masalah ini, melakukan penyesuaian, desentralisasi dari mata rantai jaringan pangkalan di pulau pertama, karena untuk fokus pada sejumlah besar tentara di sutau tempat tertentu, andaikata mereka hancur maka semuanya akan hancur. Sehingga dicoba sebisa mungkin tidak menaruh telur dalam satu keranjang yang sama, sehingga jika satu atau dua hancur tidak masalah karena yang lain masih bisa mendukungnya.

Pangkalan militer mendukung kekuatan militer, merupakan ekspresi dari strategi pertahanan dan keamanan suatu negara. Ketika strategi keamanan dan pertahanan berubah, maka pengerahan dan pergelaran pasukan dan tata-letak pangkalan juga perlu dirubah dalam rangka untuk memastikan tujuan dari strategis tercapai.

Dalam beberapa tahun terakhir, dengan situasi fiskal pemerintah AS diperketat, dan pengurangan dari anggaran militer, militer AS telah melakukan reformasi pangkalan tua untuk menjadi “lebih kecil”, lebih efisien dengan sistim “lily pads”, sementara itu juga sudah mulai menggunakan kembali pangkalan-pangkalan masa lalu untuk memastikan keseimbangan antara kebutuhan strategis dan dengan pengurangan anggaran.

Lalu perubahan apa yang terjadi bagi AS di Asia-Pasifik? Dan bagaimana “renovasi lily pads” ini akan dilakukan?

Sejarah AS mendirikan pangkalan milier di luar negeri dapat ditelusuri kembali dari 100 tahun yang lalu. Yaitu setelah Perang Spanyol-Amerika pada tahun 1898, AS yang tadinya melakukan isolasionisme mulai membuka diri terhadap dunia luar.

Setelah menang perang dengan Spanyol, AS mendirikan pangkalan angkatan laut di Filipina dan Kuba. Setelah pecah P.D. II, AS mempercepat pembangunan sistim pengkalan militer global. Di kawasan Asia-Pasifik, AS memperoleh serangkaian basis di Guam, Saipan, Tinian dan Okinawa.

Pergelaran militer umumnya dalam dua jenis negara: Salah satu jenis adalah negara yang kalah dalam P.D. II seperti Jepang, Jerman dan Italia, karena perang dimulai dari mereka karena itu pasukannya dikerahkan di negara-negara ini, dan setelah itu tidak ditarik kembali keluar.

Jenis lain adalah karena sekutu AS, seperti Australia, dan Filipina pertama menempat pasukannya disana kemudian menjadi sekutunya. Beberapa lebih komprehensif lagi, pangkalan militer besar dikerahkan di negara-negara sekutunya, tetapi sering dirotasi antar negara-negara lain.

Setelah P.D. II, militer AS membentuk sistem dasar terutama difokuskan di sekitar tiga basis. Cluster Asia Timur yang berpusat di Pangkalan Yokosuka, Jepang, Cluster Asia Tenggara yang berpusat di sekitar Pangkalan AL Subic Bay, Filipina, dan cluster Mickronesia yang berpusat di sekitar Guam.


Kini, tiga kelompok dasar utama ini masih daerah dimana militer AS mengfokuskan untuk direnovasi.


Cluster Timur Laut terdiri dari cluster pangkalan AS di Jepang dan Republik Korea (Korsel). Dua kelompok pangkalan mengontrol Selat La Perouse dan Selat Tsushima, dan bisa mendukung pasukan tempur darat militer AS di Semananjung Korea serta mendukung militer AS dalam pertempuran maritim di Barat-laut Samudra Pasifik, yang akan menjadi link utama dari mata rantai militer AS.

Karena Korsel (ROK) pada dasarnya tidak termasuk bagian dari operasi militer di luar Semenanjung Korea, maka cluster pangkalan AS di Jepang sebenarnya yang menjadi inti dari pangkalan militer AS di Asia Timur Laut.

Sejak P.D. II, militer AS telah menggunakan pangkalan di Jepang untuk menyerang tiga kali peperangan dalam Perang Korea, Perang Vietnam, dan Perang Teluk.


Menurut Dephan AS dalam laporan struktur pangkalan tahun fiskal 2011 “Base Structure Report for the 2011 Fiscal Year,” militer AS memiliki 108 pangkalan dan fasilitas militer di Jepang, dengan lebih dari 30 berukuran menengah dan besar, termasuk Pangkalan AU Yokota, Pangkalan AU Misawa, Pangkalan AU Kadena, Pangkalan Angkatan Laut Yokosuka, Pangkalan AL Sasebo, Camp. Zama Barrak, dan Air Station Korp. Marinir Futenma (Marine Corps Air Station).


Markas Armada ke-7 dan Pasukan Bela Diri Jepang (JSDF) dan AL-AS di Yokosuka, Jepang. Disini ditempatkan kapal induk satu-satunya di kawasan Asia-Pasifik. Di pangkalan Okinawa dan Kadena ditempatkan pesawat pembom strategis AS dan pesawat pengintai dan pemantau strategis AS dan pesawat pengindentifikasi  strategis AS seperti R-7135 dan SR-71 untuk digunakan dan terbang dari sini. Serta pesawat AL-AS EP-3 dan Pesawat P-3C yang sering melakukan pengintaian di Selatan dan Timur Laut, yang juga pesawat terbang yang mereka miliki dari Pangkalan Okinawa dan ini termasuk cluster Pangkalan Okinawa.

AD, AL, AU dan Korps Marinir AS semua ditempatkan disini, jadi Okinawa merupakan tempat berpijak. Di masa lalu, itu bisa mengendalikan Tiongkok dan bekas Uni Soviet  dari Jepang, terus turun ke selatan ke Cam Ranh Bay.

Guam merupakan salah satu yang terbesar, pulau yang paling padat penduduknya di Kepulauan Mariana di Samudara Barat Pasifik. Pulau sempit dan panjang seperti bentuk kacang raksasa. Pulau ini luasnya 549 km2 , sepertiga dari total area digunakan untuk fasilitas militer.

Lokasi Guam yang strategis sangat penting. Tempat ini jadi penting dan menjadi benteng udara dari Samudra Pasifik Barat, berjarak 2.500 km dari Taiwan, 2.400 km dari Okinawa, 3.600 km  dari Beijing, dan sekitar 5.300 km dari Hawaii, AS, menjadi titik dukungan strategis penting bagi militer AS di kawasan Asia-Pasifik.

Guam termasuk teritori AS. Wilayah yang paling dekat dengan Tiongkok. Guam terlihat seperti sebuah pulau kecil di peta, tetapi  merupakan pangkalan militer utama militer AS. Pelabuhan Apra merupakan Pangkalan AL besar-besaran AS, kapal selam AS sering datang ke dermaga sini, kapal induk juga bisa bersandar di sini, merupakan pangkalan militer yang sangat besar.

Pangkalan AU-AS Andersen ditempat banyak pesawat jet tempur canggih untuk dikerahkan di kawasan Pasifik Barat, seperti pesawat pembom B-1 dan B-2 dan Jet tempur F-22 semua dikerahkan di pangkalan udara Andersen secara jangka panjang.

Beberapa tahun lalu, AS telah mengerahkan UAVs (drone) Global Hawk di Guam, untuk misi pengintaian dan pemantauan sekitar Samudra Pasifik Barat termasuk seluruh Indonesia dan Tiongkok.

Suatu berita yang lebih penting sejak awal tahun 2014, dalam menganggapi kegiatan militer Tiongkok, AS mengumumkan mengerahkan Kapal Selam penyerang bertentaga nuklir klass Los Angeles di Guam, yang menjadi kapal selam yang ke-4 yang dikerahkan di sini.


“Daily Telegraph” Inggris pernah melaporkan bahwa AS berniat untuk berinvestasi dalam jumlah besar di Guam untuk membuat pangkalan militer super, “untuk menekan pertumbuhan militer Tiongkok”. Mereka juga mengungkapkan ini akan menjadi upaya AS paling besar yang akan diinvestasikan dalam sejarah pangkalan militer sejak P.D. II.

Selain itu AL-AS membangun sebuah stasiun kontrol bawah tanah di Guam, yang menggunakan kabel di dasar laut dan metode telekominikasi satelit untuk menjamin kelancaran komunikasi dengan kapal perang di Pasifik Barat dan Samudra Hindia, untuk memastikan Pentagon dan USPACOM dapat selalu melakukan perintah komando operasi.

AS telah mengubah Guam menjadi pangkalan skala besar yang komprehensif yang dapat melakukan intervensi militer di Samudra Pasifik Barat. Yang membias dari inti pusatnya memancar keluar terhadap pangkalan-pangkalan lainnya.

Pelabuhan Pangkalan AL Apra telah dinormalisasikan untuk pengerahan kapal selam-kapal selam , seperti Kapal selam klass Virginia yang mereka tempatkan disana, untuk melakukan misi mengontrol wilayah Pasifik Barat di bawah air. Juga kapal induk AS sering berlabuh di Guam.

Misalnya, ketika kapal induk-kapal induk  di Hawaii tiba di Guam, mereka akan mendapatkan tambahan logistik dasar, dan kemudian mereka bisa berlayar melewati Selat Malaka ke Samudra Hindia bagian utara. Selain itu, di Pangkalan AU Andersen ada banyak jet tempur canggih, dan jet-jet ini sangat mobil sekali.

Sebagai contaoh F-22, setiap tahun selama beberapa bulan terbang dari AS ke Pangkalan Udara Andersen, dimana setelah dikerahkan sementara waktu, mereka pergi ke pangkalan lain seperti Pangkalan Udara Yosuka, Misawa atau Kadena.

Kadang bila diperlukan mereka akan menyebar ke Osan dan Gunsan Pangklan di Kosel. Secara umum, penyebaran AS di Pasifik Barat meliputi penyebaran yang sangat fleksibel.

Mereka menggunakan sejumlah peralatan  canggih  untuk memantau dan mempelajari situasi lapangan dan lingkungan yang normal di tempat-tempat ini, sehingga jika terjadi perang di tempat-tempat ini, dan mengirim perlatan ditempat-tempat ini, sudah tidak asing lagi dan akan sangat akrab dengan kondisi tempat-tempat ini.

Dalam rangka melawan rudal Tiongkok, AS memulai dengan “rencana lily pads’ di Pulau Saipan dan Pulau Tinian, kira-kira berjarak 200 km dari Guam, AS merenovasi fasilitas militernya. Dengan dasar tersebut, ketika konflik pecah, pangkalan militer di pulau-pulau kecil ini dapat menyediakan peralatan dan bahan-bahan persiapan untuk operasi intervensi milter AS secara global dan memungkinkan AS untuk dengan cepat mendekati target negara dimanapun.


Pada abad lalu ketika pada Perang Amerika –Spanyol dan Perang Dingin Pangkalan AL Subic Bay dan Pangkalan Udara Clark  berjarak 40 km merupakan inti dari cluster pangkalan militer AS di Asia Tenggara.

Faktor Strategis AS Enggan Meninggalkan Subic Bay Filipina

Seorang mantan senator Flilipina suatu waktu pernah mengatakan: “Jika anda pernah ke Subic Bay, Anda akan tahu mengapa AS tidak bersedia meninggalkan Filipina.”

Subic Bay terletak di barat daya Luzon, sebuah daerah yang strategis penting dari Filipina, terletak di jantung Asia Tenggara, berbatasan dengan Laut Tiongkok Selatan di seblah Barat, berjarak 130 NM dari Pulau Huangyan dari Kepulauan Nanasha atau Spratley.

Subic Bay sebuah pelabuhan alami yang lebar dan dalam, pelabuhan dengan panjang 14 km, dan 8 sampai 13 km lebarnya, dengan kedalam laut  2.045 m. Ini menjadi dermaga yang terdalam di dunia, sehingga kapal perang bertenaga nuklir, kapal kontainer, dan kapal tanker minyak bisa bersandar di dermaga pelabuhan ini. Teluk ini juga dikelilingi oleh pegunungan hijau di tiga sisi. Setiap musim angin topan, ketika angin dan gelombang besar menerjang Samudara Pasifik, perairan Subic selalu berada dalam kedaan tenang.


Pangkalan Subic Bay pernah menjadi pangkalan militer terdepan yang paling penting bagi Armada ke-7 AS, dan menjadi pangkalan terbersar luar negeri AS. Alasan lain bagi AS sangat menghagai tempat ini karena terletak di tengah lokasi Samudra Pasifik.

Kapal-kapal perang AS yang berlabuh di Subic ini bisa meng-respon degnan cepat terhadap krisis dan insiden yang tiba-tiba terjadi di Semenanjung Korea yang berada di utata Oceania bagian selatan, sampai ke Timteng bagian Barat. Di perairan ini, AL-AS juga mengumumkan bahwa mereka akan mengontrol 8 sampai 16 jalur sempit (bottle neck) yaitu: Selat Korea, Selat Malaka, Selat Makassar, Terusan Suez, Selat Mandeb, Teluk Persia, Selat Hormuz dan Teluk Alaska.


Namun keadaan sekarang sudah berubah dengan berlalunya waktu. Setelah Perang Dingin “Tumpuan Kaki Tiga” dari tiga kelompok utama mulai miring. Demikian kiasan para analis militer dunia luar.

Pada bulan September 1991, Senat Filipina menolak untuk memperpanjang sewa  untuk AS, dan AS harus menarik keluar tentaranya dari Pangkalan Clark dan Teluk Subic masing-masing pada tahun 1991 dan 1992, mengakhiri 94 tahun kehadiran militer AS di Filipina.

Setelah tahun 1990an, setelah Perang Dingin negara-negara ini menuntut agar militer AS menarik keluar. Korsel (ROK) juga menuntut agar militer AS ditarik keluar. Jadi jelas, dengan keluarnya AS dari Subic Bay dan Clark di Filipina karena Perang Dingin sudah berakhir, dan selanjut mantan Uni Soviet menarik diri dari Cam Ranh Bay, jadi tidak ada alasan bagi AS untuk tetap tinggal di Clark dan Subic.  Maka 1992 terpaksa meninggalkan tempat ini.

Namun, kerajsama militer AS-Filipina tidak berakhir walaupun militer AS menginggalkan Filipina. Dua negara ini tetap mempertahankan kerjasama militer dengan erat berdasarkan “ Mutual Defense Treaty” yang mereka tandatangani tahun 1951, dengan berbagai latihan militer bersama, dimana latihan militer “Balikatan” merupakan latihan militer bersama yang paling besar.

Pada saat yang sama, Amerika tidak pernah melupakan pangkalan AL dan AU yang fantastis di Filipina. Sebenarnya setelah 9-11 tahun 2001, untuk kebutuhan kontrateororisme, Filipina sekali lagi memperbolehkan militer AS untuk menggunakan Pangkalan Udara Clark, sebagai bandara penting bagi militer AS untuk digunakan untuk kepentingannya di Asia Tenggara.
(Mudah-mudahan group teroris di Filipina Selatan tidak setengah sengaja dibiarkan agar punya alasan untuk tujuan ini, dan juga penculikan saudara-saudara kita oleh Abu Sayyaf akhir-akhir ini. Demikian juga dengan gojang ganjingnya situasi Laut Tiongkok Selatan yang sengaja di provoksai untuk kepentingan  hegemonis AS). (Mudah-mudahan juga tidak ada benang merah antara penculikan ini dengan penghambatan penumpasan kelompok teroris Santosa di Poso bagi kita.)

Pangkalan Udara Clark memiliki satu-satunya landasan pacu yang berkualitas tinggi yang mampu didarati pesawat ruang angkasa ulang-alik  bagi AS di luar negara AS sendiri, landasan pacunya terbuat dari beton berkwalitas tinggi.

Pada akhir April 2014, selama tur Obama ke empat negara di Asia, AS dan Filipina menandatangani “Perjanjian Kerjasama Peningkatan Pertahanan (EDCA)” perjanjian kerangka kerja, yang memungkinkan AS untuk mengarnisunkan sekali lagi di Pangkalan AU & AL di Filipina.

Setelah latihan militer bersama Filipina-AS berakhir, AS meninggalkan sekitar 300 tentara bersama dengan militer Filipina untuk melanjutkan mengambil bagian dalam aktivitas terbang-lintas dan patroli maritim di Laut Tiongkok Selatan.

Ini termasuk sebuah gugus tugas AU yang akan dimarkaskan di Pangkalan Udara Clark untuk mengaambil bagian aktivitas terbang-lintas di Laut Tiongkok Selatan.


Dalam gugus tugas ini meliputi lima pesawat penyerang A-10 Thunderbolt, tiga Helikopter search & rescue HH-60  dan satu pesawat tempur MC-130H atau pesawat operasi khusus.

AS juga akan secara teratur akan mengirim satuan tugas ke Filipina. Kelompok personil militer lain terkait akan menginap di markas Angkatan Bersenjata Filipina, untuk mengambil bagian dalam meningkatkan komando dan kemampuan perang Filipina.

Menhan AS, Ashton Carter menyatakan tindakan ini akan lebih memperkuat aliansi AS-Filipina.

Memang untuk isu Luat Tiongkok Selatan, pemerintahan Benigno Aquino III dan pemerintah AS telah terlihat ingin mengeroyok untuk menekan Tiongkok. Filipina bersedia untuk membiarkan AS menggunakan pangkalan militernya, pada saat yang sama mempunyai renana dibalik itu untuk melihat apakah akan mendapat dukungan ekonomi dari AS.

Tetapi AS sedang mengalami masalah keuangan, sehingga memilih lima dari delapan pangkalan di Filipina yang tersedia. Dan itupun tidak bersedia untuk menggunakan beberapa pangkalan yang lebih tua yang sudah bobrok. Lebih ingin menggunakan pangkalan, dan orang-orangnya, dan bahkan untuk negara-negara miskin seperti Filipina sekalipun, AS tidak mau memberi jumlah besar kekayaannya seperti sebelumnya, atau memberi ratusan kapal perangnya.

Sekarang, jika Filipina ingin membeli kapal perang bekas, AS masih akan menjualnya, karena sedang membutuhkan uang. Jadi pengamat melihat bahwa AS kembali ke Asia-Pasifik pertama tidak lain secara politik dan strategis untuk menekan kebangkitan Tiongkok, dan untuk memastikan AS masih tetap dalam posisi dominan. Kedua, secara ekonomi ingin berbagi keuntungan ekonomi dengan cepatnya pembangunan ekonomi di Asia-Pasifik dalam rangka menciptakan beberapa peluang kegiatan untuk AS. Ketiga, secara historis kenyataan tidak dapat diabaikan, AS menyukai mendapat keuntungan dari perang.

Selain itu, pada tahun-tahun terakhir iniAS telah membuat Pangkalan AL Changi di Singapura terlihat lebih posisinya semakin strategis. Setelah militer AS ditarik dari Filipina, AS mulai mencari basis baru dalam rangka untuk menebus hilangnya link dalam mata rantai pulau pertama, dan untuk mengembalikan keseimbangan di kawasan Pasifik Barat.

Memanfaatkan Pangkalan AL Changi Singapura

Pangkalan AL Changi digunakan untuk dijadikan pangkalan AL Singapura sendiri, tapi setelah itu diperluas. Sehingga memiliki dua fungsi: satu untuk melayani sebagai pelabuhan pelayanan ketika kapal induk AS datang berlabuh, untuk memasok kebutuhan logistik dan perbaikan bila ada, selain itu untuk kepentingan kebutuhan para perwira dan prajurit untuk pergi ke pantai beristirahat selama beberapa hari.

Tapi fungsi yang utama adalah untuk mengubah Pangkalan AL Changi menjadi pangkalan utama, dan untuk menormalisasi pengerahan kapal perang AS.


AL-AS dapat menggunakan Pangkalan AL Changi untuk dengan mudah menghubungkan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia melalui Laut Tiongkok Selatan dan Laut Andaman untuk dapat berlayar ke Samudra Hindia dan Laut Arabia di barat untuk memperkuat pasukan mereka yang ditempatkan di Teluk Persia, sementara juga dapat memantau dan mengendalikan situasi di sekitar Laut Tiongkok Selatan dan Selat Taiwan di timur. Menjadikan pangkalan ini lebih melengkapi mata rantai militer AS dari pangkalan di Jepang, Korsel, Okinawa, Taiwan, Filipina dan Singapura.

Pada 1 Maret 2013, militer AS untuk pertama kali USS Freedom kapal tempur khusus pesisir (LCS/Littoral Combat Ship) menjadikan pangkalan AL Changi, untuk dimulai penyebaran periode panjang selama delapan bulan pertama untuk perairan Laut Tiongkok Selatan. Dan berdasarkan rencana AL-AS akan mengerahkan total sebanyak 4 LCSs yang akan digelar di Singapura.


Sesuai dengan penamaannya, kapal tempur pesisir (LCS) adalah kapal yang cocok untuk melaksanakan misi tempur di zona littoral (daerah pantai) dekat pantai.

Sejak tahun 2000, AL-AS percaya bahwa ancaman utama tidak lagi akan datang dari laut, tapi akan dari zona pesisir dekat dengan daratan. Maka penyebarkan dan mengerahkan LCSs  di Pangkalan AL Changi telah dilihat sebagai tindakan penting bagi AS untuk kembali ke kawasan Asia-Pasifik.

Saat ini, AS tidak hanya menyiapkan Pangkalan AL Changi, juga coba bernegosiasi membangun pangkalan dan infrastruktur militer baru di Malaysia, Indonesia, Thailand, Brunei, Vietnam, dan Filipina, serta penyewaan Bandara Internasional U-Tapao, pelabuhan Jakarta dan Surabya, dan pelabuhan Kota Kinabalu di Malaysia.

Tapi khusus di Indonesia akan sangat terbentur sentimen nasionalisme Indonesia, selama rezim Indonesia tidak dipegang oleh rezim penjual Nusa & Bangsa yang sangat pro AS dan Barat.

Mengingat dokrin Soekarno untuk geopolitik di Asia Tenggara dan KIAPMA (Konferensi Anti Pangkalan Militer Asing) yang diadakan 1965. Meskipun Soekarno telah dijatuh oleh rezim Orba, tapi rezim militer Soeharto walaupun longgar terhadap konsesi SDA, tapi untuk  soal Nasionalisme Soeharto terlihat lebih kolot dan konservatif ketimbang Soekarno.

Hal ini bisa dilihat ketika ada desakan dari AS agar Indoensia masuk dalam Pakta Militer Asia Tenggara, Soeharto mendiamkan pengajuan proposal Pakta Militer itu. Tampaknya Soeharto khawatir ikut campurnya pangkalan militer asing akan menjadikan kawasan Asia Tenggara tidak stabil.

Pada tahun 1969, ketika LB Moerdani mengadakan lobi-lobi di Malaysia, perwira andalan Soeharto Ali Murtopo melanjutkan jalur lobi yang sudah dibentuk sejak 1967, lobi LB Moerdani ini meluas ke berbagai negara yang ditanggapi secara positif permintaan Soeharto untuk menjadikan Asia Tenggara sebagai zona aman.

Maka permintaan AS untuk membuka fasilitas dan pangkalan militer di wilayah Indonesia akan tidak mudah. Lebih lagi pada era reformasi kini, dengan munculnya garis Soekarno dalam perpolotikan Indonesia hal ini bahkan akan mempersulit lagi bagi AS.

Dengan munculnya kekuatan garis Soekarnois dalam menentukan keputusan konsesi-konsesi atas kontrak pertambangan sudah muncul berbagai gerakan politik, ormas  dan masuk ke dalam jaringan kekuatan oposisi, pembicraan-pembicaraan soal perebutan konsesi yang merugikan Indonesia dalam kontrak-kontrak energi seperti minyak dan gas telah mejadi permainan politik penting di Indonesia selama ini dengan “mafia minyak Petralnya” yang akhirnya juga bisa dibubarkan, bahkan dua stasiun besar di Indonesia; TV One dan Metro TV secara lugas menyampaikan debat-debat soal perebutan konsesi kontrak energi yang dinilai merugikan dan mencaplok kedaulatan bangsa Indonesia. Bais pemikiran mereka adalah keputusan Presiden Soekarno tahun 1960, usulan Chaerul Saleh Juni 1960 dan Keputusan MPRS soal kontrak energi tahun 1960.

Bla garis Soekarno memenangkan politik di Indonesia bukan tak mungkin garis Soekarno akabn menghidupkan kembali – garis geopolitik; Jakarta-Beijing mengingat bahwa dalam cakupan wilayah garis ini tersimpan kekayaan alam dan kekayaan jumlah manusia yang amat luar biasa, dua kekayaan inilah yang membentuk: Pasar.


AS akan keblingsatan bila garis Soekarno mengajukan usulan penghapusan konsesi padahal sudah berapa trilyun USD, AS telah menikmati kekayaan alam Indonesia seperti ucapan Nixon saat menggambarkan kejatuhan Soekarno dan hancurnya komunisme di Indonesia “Indonesia adalah hadiah terbesar (the great prize) di kawasan Asia Tengggara.” (bagi AS).


Pangkalan Militer AS Di Dunia

 

Menurut laporan AS tahun 2013, di kawasan Asia-Pasifik ada hampir 600 pangkalan di lebih dari 30 negara. Ada tiga jenis pangkalan: Salah satu jenis adalah pangkalan permanen, yang memiliki fasilitas yang cukup lengkap, termasuk fasilitas pendukung, personil, gudang senjata dan amunisi, pokoknya lengkap. Sebagai contoh, Pangkalan Kadena, Okinawa, Yosuka, dan Pangkalan Guam semua ini sebagai pangkalan inti.

 

Jenis kedua, pangkalan tempur garis depan, terutama harus memiliki sejumlah personel, termasuk orang-orang yang secara permanen diasramakan di sana dan cukup logistik secara skala kecil dan kekuatan dukungan teknis dan gudang amunisi. Seperti Pangkalan AL Changi di Singapura dan pangkalan masa depan yang akan digunakan di Filipina.

 

Jenis yang ketiga, yang bisa menjadi sebagai titik kooperatif keamanan, dimana mereka bisa bekerjasama. Artinya tidak ada kekuatan aktif di daerah itu, tapi mungkin mengirimkan beberapa senjata dengan kontraktor lokal untuk mengelolanya.

 

Di masa yang akan datang AS akan mencari di negara-negara Asteng, termasuk Malaysia, Indonesia dan Brunei untuk menemukan beberapa poin keamanan kooperasi yang kooperatif.

 

Perwujudan umum dari ini adalah setelah Perang Dingin, terutama dalam bebebrapa tahun terakhir ini, militer AS tidak ingin berinvestasi terlalu banyak energi dalam mempertahankan pangkalan militer di luar negeri.

 

Dalam rangka menerapkan strategi untuk menyeimbangkan kemabli Asia-Pasifik, pemerintah Obama telah mempercepat penanaman “lily pads” di kawasan tersebut untuk menggeser kops laut, pasukan khusus, jet tempur dan kapal perang yang awalnya ditempatkan di Eropa untuk kawasan Asia-Pasifik.

 

Militer AS juga mencari lebih banyak lagi “lily pads” sepanjang Laut Jepang, Semenanjung Korea, Kepulauan Liuqiu, Guam, Filipina, Timor Leste, Australia, Selandia Baru, Vietnam, Singapura, Malaysia, Thailand, Myanmar dan India.

 

Dari sejumlah upaya ini, penyebaran militer di Australia adalah yang paling penting.

 

Pada 9 Maret situs “Diplomat” yang berbasis di Jepang melaporkan bahwa AS dan Australia sedang melakukan negosiasi mengenai penyebaran pesawat pembom B-1B dan Jet pengisian bahan bakar udara ke pangkalan utara Australia, negosiasi ini terutama diskusi tentang pesawat pembom AS yang akan dirotasikan di Pangkalan RAAF Darwin dan Pangkalan RAAF Tindal di Australia Utara.

 

Secara geografis, pangkalan Darwin dan Tindal di Australia Utara yang berjarak 4.500 km dengan daratan Tiongkok, dan sekitar 3.000 km dengan Laut Tiongkok Selatan. Berdasarkan kecepatan penerbangan 1 Mach (1ma=1224kph) maka B-1B ketika mencapai kecepatan menembus pertahanan (barrier suara) di tinggian rendah, akan mampu mencapai Laut Tiongkok Selatan sekitar 3 jam dan bisa mendekati Asia Timur tidak lebih dari 4 jam.

 

Ini jauh lebih dekat daripada dibandingkan jika terbang dari AS. Tapi tidak semua semua militer AS dikerahkan ke Australia.

 

Pada 15 Maret 2011, Presiden Obama mengumumkan ketika  melakukan kunjungan ke Australia yang dimulai pada tahun 2012, AS akan mengerahkan 200-250 prajurit korps marinir di Australia Utara, dan 2016 akan membangun pusat komando korps marinir 2.500 orang.

 

Pada bulan Agustus 2014, kemudian Menhan AS Chuck Hagel dan Menlu AS John Kerry bersama-sama mengunjungi Australia, dimana mereka menandatangani serangkaian perjanjian kerjasama militer dengan Australia.

 

Apa yang paling menarik perhatian adalah militer AS merencanakan untuk mendirikan pangkalan Darwin sebagai pangkalan militer AS permanen, dan berusaha untuk meningkatkan skala tentara korps laut untuk digunakan pada rotasi (diasramakan) disana.

 

Teluk Darwin terletak di utara Australia, berada sekitar 2.500 km dari Laut Tiongkok Selatan. Dalam hal ini bisa mengontrol Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Makssar, dan Selat Sunda, sedang di selatan, itu bisa masuk ke jantung Australia.

 

Jika jet tempur AS terbang dari sekitar Darwin, jangkauannya akan lebih dari cukup untuk mencapai Laut Tiongkok Selatan. Selama P.D. II Darwin merupakan pangkalan militer penting bagi sekutu. Selama perang dingin, Australia dielu-elukan oleh Barat sebagai “jangkar selatan” yang mendukung eksistensi AS ke kawasan Pasifik Barat. Saat ini, nilai “jangkar” ini sedang digunakan sekali lagi oleh AS.

 

Uraian Berdasarkan ahli Strategi Militer dunia Luar

 

Jepang, Guam dan cluster pangkalan Selandia Baru menjadi yang cukup penting, kerena tata-letak dari medan tempur, dapat dianggap sebagai tiga “jangkar”. Untuk menstabilkan medan Asia-Pasifik, dapat dipercaya bahwa Guam adalah jangkar utama.

 

Kemudian pangkalan Jepang utara, dipercaya ini adalah “jangkar” untuk menstabilkan medan tempur di utara. Dan ada satu sisi yang bebas. Dalam rangka menstabilkan medan tempur Asia-Pasifik, maka hal itu tergantung Australia ke selatan.

 

Militer AS selalu menggunakan sistem rotasi ubtuk garnisun di utara Australia bukannya menempatkan jangka panjang, seperti yang dilakukan di Jepang. Rotasi maksudnya setiap kekuatan pasukan atau kapal yang diasramakan di daerah tententu selama tiga sampai enam bulan dipindahkan.

 

Hal ini dilakukan untuk menghindari serangkaian masalah biaya, seperti keluarga personil yang dikerahkan, dan dapat membuat lebih banyak pasukan jadi akrab dengan situasi setempat. Jika AS dengan proposal dari pangkalan militer baru di Filipina karena mencari “rute lebih dekat,” untuk “taruhan lebih aman”  maka pangkalan di Darwin Australia, justru karena jauh.

 

Dalam beberapa tahun terkahir, AS merasa menyebaran dan mengerahan jarak jauh telah secara bertahap tertembus dengan kemampuan rudal jarakan jauh Tiongkok pada mata rantai pulau pertama, dan menimbulkan ancaman terhadap pangkalan militer AS di pulau mata rantai pertama.

 

Maka, AS mulai memperkuat pembentukkan matai rantai pulau kedua, dan Australia menjadi target ideal bagi AS untuk pasukan garnisun di garis depan baru ini.

 

AS mengeluarkan laporan tentang “Militer Kekuatan RRT” setiap tahun, dan hal yang paling sangat disebutkan dalam laporan ini adalah Rudal Dong Feng 21D, serta Dong Feng 26 yang memiliki jangkau lebih jauh dari Dong Feng 21D.

 

Pada titik ini, AS merasa bahwa ketika kapal induk atau seluruh gugus tugasnya lebih mendekat ke pantai Tiongkok, maka mereka merasa lebih berbahaya, sehingga mereka labih baik menarik mereka lebih jauh.

 

Pangkalan militer AS di mata rantai pulau pertama, terkonsentrasi di Jepang, dan pangkalan di Jepang terkonsentrasi di Okinawa. Berdasarkan rencana militer AS untuk mengatur ulang garnisun di kawasan Asia-Pasifik, 12.000 dari 18.000 tentara yang ditempatkan di Okinawa akan ditarik keluar, dan didistribusikan ke Hawaii, Guam dan Darwin.

 

Di masa depan, jumlah tentara AS yang ditempatkan di Okinawa mungkin jauh lebih sedikit hingga pada jumlah ribuan saja. Relatif, jumlah marinir AS yang ditempatkan di bagian utara Australia akan mencapai hampir 3.000, dan ketika mempertimbangkan personil untuk pembom strategis dan kapal perang, jumlah personel militer AS yang ditempatkan ditempatkan di bagian utara Australia mungkin akan menyamai atau mendekati dengan jumlah yang ditempatkan di Okinawa.

 

Jadi, apakah Australia akan menjadi Jepang kedua diagram militer AS untuk menyesuaikan pangkalan militer di Asia-Pasifik? Banyak analis yang tidak percaya bahwa Australia akan dibentuk oleh AS seperti Jepang.

 

Satu hal adalah militer AS tidak memiliki kebutuhan besar seperti itu, dan kondisinya sudah lain, yang penting meskipun Asutralia memungkin marinir AS berada di sana, tapi Australia tidak ingin menjadi begitu ketat terikat dengan militer AS, situasi Australia mungkin sangat baik menjadi sedikit berbeda dari Jepang.

 

Tiongkok dan Australia mempunyai hubungan ekonomi dan perdagangan yang sangat dekat, dan pada kenyataanya, Australia telah menyatakan beberapa kali bahwa mereka tidak ingin memihak pada salah satu sisi antara AS dan Tiongkok atas pertimbangan yang cukup realistis. Jadi Australia tidak akan mengikuti seperti sedekat Jepang dengan AS.

 

Jepang berperilaku sangat positif, dan sangat bersedia untuk menjadi pion AS untuk menekan Tiongkok, tetapi sebagai sekutu AS juga telah mengambil beberapa sikap, dan AS telah berulang kali meminta agar meningkatkan anggaran pertahanan dalam rangka untuk mengambil beberapa beban pertahanan mereka, dan tidak lagi menebeng terus secara gratis kepada AS.

 

Jadi saat ini, untuk isu-isu pangkalan militer AS di Australia, kedua belah pihak AS-Australia ada sisi kerjasama dan ada sisi memperjuangkan kepentingannya sendiri.

 

Pada kenyataannya, dalam bebebrapa tahun terkahir, AS telah mempromosikan situasi Asia Timur Laut, dan mensensasioninilkan isu Laut Tiongkok Selatan agar mendapat sekutu dan mitra di Asia-Pasifik dan memperluas kehadiran militernya di kawasan tersebut, namun belum memperoleh banyak pendukung.

 

“Reformasi lily pads” telah dipromosikan AS di pangkalan militer di Asia-Pasifik juga memiliki beberapa variabel.

 

Pada 9 Mei 2016, hasil pemilu Filipina telah dimenangkan oleh Rogdrigno Duterte sebagai Presiden, yang sebelumnya telah 25 tahun menjadi mayor di kota Davao di Pulau Mindanao, Selatan Filipina, dia akan menjabat sebagai presiden Filipina selama periode untuk 6 tahun (pemilu diadakan setiap 6 tahunan).

 

Jadi apakah Filipina akan terus membuka pangkalan militernya untuk militer AS dan apakah “EDCA” akan dilaksanakan, itu tergantung pada keputusan presiden baru.

 


Richard Javad Heydarian, Asisten Professor dari De La Salle University mengatakan: “Ini karena Aquino segera akan berakhir (sudah berakhir 31 Juni 2106 lalu), dan karena ini (EDCA) adalah kesepakatan eksekutif, maka itu diserahkan kepada presiden baru untuk bernegosiasi tentang hal itu, dan ini adalah hak prerogatif dari siapapun yang menjadi presiden baru...”





Pada kenyataan di Filipina banyak terjadi demo protes atas “EDCA” ini. Yang menghendaki AS untuk keluar dari Filipiana. Banyak warga Filipina tidak suka kembalinya tentara AS di negara itu, serta kekejaman yang datang bersama itu. Mereka menyerukan pencabutan perjanjian yang tidak seimbang serupa seperti “Visiting Force Agreement” dan  “Mutual Defense Treaty.”


Sebenarnya banyak faktor yang menghambat untuk pangkalan militer AS ini. Alasan penting bahwa negara-negara yang memberi pangkalan kepada AS karena berdasarkan penilaian terhadap situasi keamanan, jika situasi menjadi semakin tegang, mereka merasa tidak cukup kuat, sehingga sebagai negara kecil atau bahkan sebagai kekuatan menengah, sering berpikir untuk membiarkan kekuatan utama untuk datang masuk untuk “melindungi” mereka.


Tetapi begitu situasi keamanan baik, mereka tidak merasa seperti ada kebutuhan. Meskipun AS telah membangun begitu banyak pangkalan di Jepang dan Filipina, dalam kenyataannya, negara-negara ini selalau memiliki oposisi utama terhadap pangkalan militer AS.

Setelah Perang Dingin, banyak protes dari warga negara dimana pangkalan AS berada untuk minta AS keluar dari negara-negara mereka, masyarakat umum turun ke jalan dengan spanduk, protes keras. Selama latihan bersama AS-Filipina Balikatan baru-baru ini, juga banyak demo protes minta AS keluar dari negaranya.

Bagi mereka ini adalah bentuk pemikiran Perang Dingin dan menginginkan menggunakan pangkalan di negara-negara ini sebagai basis di waktu perang, sebab jika memang terjadi perang yang diserang pasti mereka. Masalahnya jika kapal perang atau pesawat tempur AS berpusat di pangkalan ini untuk menyerang suatu negara lain, negara yang diserang pasti akan menyerang balik pangkalan udara atau laut tersebut untuk menjadi target. Sedang AS akan sangat terhindar dari serangan balasan tersebut karena jaraknya yang jauh.

Selain dipengaruhi  oleh pemerintah mereka sendiri dan opini publik, banyak negara Asia-Pasifik yang membuka pangkalan militer dengan AS tidak senang dengan permintaan AS untuk menanggung biaya operasi sendiri, dan telah menyatakan ragu bahwa itu kemungkinannya akan berpengaruh terhadap perdagangan dan kemitraan hubungan dengan Tiongkok.

AS telah secara aktif berusaha agar negara-negara Asia-Pasifik untuk mengambil bagian dari “rencana lily pads” dalam rangka untuk menyebarkan pangkalan militer di seluruh dunia, tapi tampaknya lily pads ini tidak stabil, akar mereka tidak ada, dan berresiko bergerak dan terbalik setiap saat.

Sucahya Tjoa
8 Juli 2016

Sumber: Media TV dan Tulisan Dalam & Luar Negeri

Menguak Strategi Militer Nasional Amerika Serikat 2015 (5)

 “Provokasi” Obama di Masa Akhir Jabatannya: Gojang-gajing Laut Timur & Laut Tiongkok Selatan


No comments:

Post a Comment